Jakarta – Pakar keamanan siber dari lembaga CISSReC Pratama Persadha mengatakan jika pencurian data dan ransomware akan terus terjadi di tahun 2022. Namun, menurutnya kejahatan cyber pada tahun 2022 akan lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Menurut Pratama, alasan pencurian data dan ransomware akan tetap tren di tahun depan adalah tingginya permintaan data dalam jumlah masif. Data tersebut akan digunakan oleh berbagai pihak baik untuk kegiatan secara legal maupun ilegal.
Indonesia sendiri diketahui memiliki jumlah pengguna internet yang mencapai 200 juta pengguna. Angka tersebut memanglah tinggi namun disisi lain, pemerintah Indonesia belum serius mengatasi permasalahan kejahatan siber seperti ini.
- Baca Juga: Telkomsel Gandeng Lookout Hadirkan Solusi Keamanan Siber
- Baca Juga: Jepang dan Vietnam Pertimbangkan Pertahanan Siber Hadapi China
“Pencurian data atau serangan siber memang sangat sulit dicegah. Namun itu semua bisa ditekan dengan pendekatan hukum lewat UU, juga pendekatan SDM dan teknologi. UU Perlindungan Data Pribadi menjadi pembahasan pemberitaan selama 2020-2021 karena begitu banyak kebocoran data dan masyarakat tidak bisa apa-apa karena tidak ada instrumen yang melindungi,” kata Pakar Keamanan siber dari lembaga CISSReC Pratama Persadha dalam keterangan pers, Jumat, 24 Desember 2021.
Diketahui dari laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) jika kejahatan siber yang tercatat sampai Oktober 2021 mencapai angka satu miliar. Angka tersebut dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan kejahatan pada tahun 2020 dan berkali lipat dibandingkan 2019.
Sebetulnya masalah kejahatan siber bukan hanya dialami oleh Indonesia saja, permasalahan ini merupakan ancaman global yang dialami seluruh negara.
Selain itu kerugian yang diakibatkan oleh kejahatan siber juga tak sedikit karena menurut data kerugian akibat kejahatan siber di tahun 2021 mencapai angka 4,24 juta dolar AS atau Rp 60,1 miliar.
Mengingat tingginya angka kejahatan siber, Pratama mengatakan jika beberapa industri kritis terpaksa membayar penjahat tersebut untuk melindungi data perusahaan mereka. Selain perusahaan, beberapa institusi mungkin akan melakukan hal serupa sebagai suatu pencegahan kehilangan data pentingnya.
“Padahal RUU PDP sudah prolegnas pada tahun 2021, tapi hingga saat ini masih belum nampak untuk disahkan. Kendalanya yaitu karena RUU PDP saat ini adalah di Komisi PDP itu sendiri, belum ada kesepakatan antara DPR dan Kominfo," ujarnya.
- Baca Juga: Serangan Siber Ransomware Landa Kalangan Bisnis di Seluruh Dunia
- Baca Juga: Ombudsman RI Gandeng BSSN Bentuk Tim Darurat Insiden Siber
Selain itu Pratama juga membahas isu Metaverse dimana pemerintah harus memberikan regulasi dan pengawasannya terlebih memberikan perlindungan kepada masyarakat. Menurutnya Metaverse berpotensi mengganggu perekonomian negara karena transaksi yang terjadi didalamnya tanpa sepengetahuan negara.
"Ini kan seperti tanah tapi di wilayah siber. Bagaimana regulasinya, apakah kita siap atau tidak, masih ada waktu 1-2 tahun untuk negara siap menghadapi ini, Bila negara tidak siap, maka masyarakat akan secara otodidak dan otomatis masuk tanpa bekal apapun. Ini berbahaya karena bisa menyedot potensi ekonomi kita, transaksi terjadi di metaverse misalnya tanpa melewati negara," ujarnya.
(Dimas Rafika)