Penanggulangan HIV/AIDS Hanya di Hilir Bisa Bikin Indonesia Jadi Afrika Kedua

Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia hanya dijalankan di hilir, sementara di hulu yaitu sumber infeksi HIV baru tidak ada program penanggulangan
Ilustrasi (Sumber: blogs.lshtm.ac.uk)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 1 Desember 2023. Redaksi.

TAGAR.id – Hari ini, 1 Desember 2023, diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia dengan tema besar 'Let Communities Lead' atau 'Biarkan Komunitas Memimpin' sebagai bagian dari upaya untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS.

Celakanya, narasi terkait dengan kasus HIV/AIDS di berbagai daerah di Tanah Air belakangan ini dibalut dengan norma dan moral yaitu mengedepankan orasi moral yang tidak objektif terkait dengan penyebaran HIV/AIDS yaitu mengkambinghitamkan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender).

Padahal, secara empiris kasus HIV/AIDS pada gay, dalam hal ini LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki), ada di terminal terkhir epidemi karena LSL tidak mempunyai istri. Bandingkan dengan laki-laki heteroseksual yang mengidap HIV/AIDS. Mereka akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya secara horizontal.

Matriks penyebaran HIV oleh gay dan nongayMatriks: Penyebaran HIV/AIDS Melalui Laki-laki Heteroseksual/Biseksul Dibanding Gay dan Pelajar. (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Jika istri tertular, maka ada pula risiko penularan vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya terutama ketika persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Bahkan, ada laki-laki yang beristri sah lebih dari satu. Selain itu ada juga yang mempunyai selingkuhan dan jadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) atau cewek prostitusi online.

Data Kemenkes menunjukkan sampai akhir 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan PSK, sehingga pria menjadi kelompok paling berisiko tinggi untuk menyebarkan HIV/AIDS. Dari 6,7 juta pria pelanggan PSK itu 4,9 di antaranya mempunyai istri (bali.antaranews.com, 9/4/2013).

Itu artinya penyebaran HIV/AIDS oleh laki-laki heteroseksual yang mengidap HIV/AIDS akan masif di masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART) sehingga penyebaran HIV/AIDS tidak disadari.

kasus kumulatif AIDS per provinsi 1987 sampai Mar 2023TABEL: Peringkat provinsi berdasarkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS 1987-Maret 2023 (Foto: Dok Pribadi/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Laporan Kemenkes melalui sihakemkes.go.id juga menunjukkan dari 672.266 kasus HIV-positif (terdiri atas 522.687 HIV dan 149.579 AIDS) yang dilaporkan dari tahun 1987 – Maret 2023 transmisi yaitu faktor risiko penularan terjadi melalui:

  • heteroseksual (28,7%)
  • homoseksual (19,5%)

Begitu juga dengan kasus AIDS yang dilaporkan dari tahun 1987 – Maret 2023 yaitu sebanyak 149.579 dengan faktor risiko atau transmisi melalui:

  • heteroseksual (66,5%)
  • homoseksual (10,4%)

Yang perlu diingat jumlah kasus HIV+ dan AIDS yang dilaporkan tidak menggambar kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

fenomena gunung esFenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Selain itu tidak semua daerah melakukan deteksi HIV/AIDS melalui tes HIV. Laporan sihakemkes.go.id menunjukkan pada periode Januari-Maret 2023 jumlah warga yang tes HIV sebanyak 1.230.023. Hasilnya, 13.279 HIV-positif (1,08%).

Warga yang tes HIV di Jawa Barat 216.420 (terbanyak) dengan hasil 2.417 HIV-positif (1,12%). Dari jumlah ini yang menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ART) sebanyak 1.648. Sedangkan di Maluku Utara warga yang tes HIV sebanyak 4.905 (terkecil) dengan hasil 109 HIV-positif (2,22%). Yang ikut ART sebanyak 71.

Kondisi lain yang bikin penanggulangan HIV/AIDS carut-marut di Indonesia adalah narasi-narasi dalam berita dan artikel HIV/AIDS di media massa (koran, majalah, radio dan TV) serta media sosial (portal berita) yang mem-blow-up LGBT justru tidak akurat dengan sifat misleading (menyesatkan).

Bahkan, mengaitkan lesbian dalam LGBT dalam penyebaran HIV/AIDS adalah hoaks (informasi bohong) karena seks pada lesbian bukan faktor risiko transmisi HIV/AIDS. Hal ini karena seks pada lesbian bukan seks penetrasi.

Biarpun epidemi HIV/AIDS secara global sudah berlangsung sejak tahun 1981, tapi Pemeritah Indonesia baru mengakui epidemi HIV/AIDS ada di Indonesia pada tahun 1987, tapi sejauh ini banyak kalangan di Tanah Air yang belum atau tidak mau memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Buktinya, materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan ‘seks bebas’ (terminologi ngawur bin ngaco), seks menyimpang, zina, pelacuran dan LGBT.

Baca juga: Indonesia Tetap Ngotot Sebut Seks Bebas Sebagai Penyebab Penularan HIV/AIDS

Padahal, secara empiris penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, seks menyimpang, zina, pelacuran dan LGBT), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta medis!

matriks hubungan seksMatriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Celakanya, program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dengan pijakan peraturan daerah (Perda) hanya mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.

Dari lima program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand nomor lima (ekor) adalah ‘program wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di tempat-tempat pelacuran dan rumah bordir.

Langkah itu dilakukan Thailand setelah meningkatkan pemahaman warga dengan melibatkan media massa, ketika itu tahun 1990-an belum ada media sosial, (koran, majalah, radio dan TV) secara simultan dengan skala nasional.

Baca juga: Menyoal Peran Aktif Pers Nasional Menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia

Di Indonesia penggunaan kondom jadi program utama penanggulangan HIV/AIDS melalui Perda dengan kondisi tingkat pemahaman masyarakat terkait dengan cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS sangat rendah. Maka, terjadi penolakan dari banyak kalangan terkait dengan sosialisasi kondom untuk hubungan seksual berisiko.

Belakangan penanggulangan HIV/AIDS juga hanya terjadi di hilir, yaitu melakukan tes HIV terhadap kalangan tertentu melalui penjangkauan dan ibu hamil. Celakanya, suami ibu hamil yang terdeteksi HIV-positif tidak semerta menjalani tes HIV sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Matrik penanggulangan AIDS di hilirMatriks: Penyebaran HIV/AIDS Melalui Laki-laki Heteroseksual/Biseksul Dibanding Gay dan Pelajar. (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Selain itu ada pula PITC (Provider Initiated Testing and Counseling) yaitu pengamatan di layakan kesehatan oleh dokter terhadap pasien dengan penyakit yang terkait infeksi HIV dianjurkan menjalani voluntary counseling and testing (VCT) yaitu konseling untuk menjalani tes HIV secara sukarela.

Temuan kasus HIV/AIDS akhirnya terjadi secara pasif yaitu menunggu warga berobat dengan penyakit-penyakit yang didiagnosis terkait dengan infeksi HIV di layanan kesehatan.

Ada juga temuan kasus yang dibawa oleh penjangkau, tapi ini sekarang sangat terbatas karena sejak Indonesia masuk negara G20 tidak boleh lagi menerima grant atau hibah dari lembaga donor asing. Padahal, sebelumnya penjangkuan jadi ujung tombak penemuan kasus HIV/AIDS di masyakarat.

Maka, dengan program penanggulangan yang hanya di ranah orasi moral omong kosong Indonesia bisa bebas infeksi HIV baru di tahun 2030.

Baca juga: Omong Kosong Penularan HIV Baru di Indonesia Bisa Dihentikan pada Tahun 2030

Itu artinya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia tanpa langkah konkret di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK, sekarang adalah PSK tidak langsung yaitu prostitusi online melalui media sosial.

Soalnya, sekarang pelacuran sudah pindah dari jalanan dan lokalisasi ke media soaial.

Baca juga: Pelacuran dari Lokalisasi dan Jalanan Pindah ke Media Sosial

Maka, penanggulangan dengan ‘program wajib kondom’ bagi laki-laki yang melakukan perilaku seksual berisiko tidak bisa dijangkau.

Matrik perilaku seksual berisiko tidak terjangkau

Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)


Maka, insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang pada gilirannya laki-laki yang tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’ yang bisa saja bagaikan ‘Afrika Kedua’ yang kelak akan tercatat dalam sejarah penyakit di Indonesia. []

 adalah Redaktur di  adalah Redaktur di *  adalah Redaktur di * Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Omong Kosong Penularan HIV Baru di Indonesia Bisa Dihentikan pada Tahun 2030
Epidemi HIV/AIDS memasuki tahun ke-36 tapi insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang disebut-sebut bisa dihentikan 2030 tanpa program konkret
0
Penanggulangan HIV/AIDS Hanya di Hilir Bisa Bikin Indonesia Jadi Afrika Kedua
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia hanya dijalankan di hilir, sementara di hulu yaitu sumber infeksi HIV baru tidak ada program penanggulangan