Para Pebisnis Kritik Pembatasan Visa bagi Mahasiswa Asing di Inggris

Langkah-langkah tersebut termasuk mencegah mahasiswa luar negeri membawa anggota keluarga mereka
Ilustrasi - Paspor Inggris dan uang kertas euro terlihat dalam foto yang diambil pada 11/12/2020. (Foto: voaindonesia.com/REUTERS/John Sibley)

TAGAR.id – Para pemimpin bisnis pada Kamis (16/5/2024) mengingatkan, pengetatan kebijakan imigrasi yang diberlakukan pemerintah Inggris terhadap mahasiswa asing berisiko melemahkan sektor pendidikan tinggi dan bisa berdampak pada perekrutan dan investasi.

Perdana Menteri (PM) Inggris, Rishi Sunak, dan Partai Konservatifnya yang tengah berkuasa menerapkan sejumlah langkah untuk menekan tingkat migrasi yang mencapai rekor tertinggi di negara itu—isu penting yang berperan besar dalam pemilu Inggris mendatang.

Langkah-langkah tersebut termasuk mencegah mahasiswa luar negeri membawa anggota keluarga mereka dan larangan untuk berpindah dari visa pelajar ke visa kerja setelah masa studi mereka berakhir.

PM Inggris Rishi Sunak tiba di spanyolPM Inggris, Rishi Sunak, tiba untuk menghadiri KTT Komunitas Politik Eropa di Palacio de Congreso di Granada, Spanyol selatan pada 5 Oktober 2023. (Foto: voaindonesia.com/AFP)

Universitas-universitas di Inggris, yang pendanaannya bergantung pada biaya kuliah yang lebih besar dari mahasiswa asing, sangat kritis terhadap kebijakan tersebut, dan memperingatkan akan adanya penurunan jumlah pendaftar.

Perusahaan-perusahaan multinasional yang telah berinvestasi di Inggris juga menyatakan kebijakan migrasi pemerintah Inggris itu berisiko memperlemah penelitian dan inovasi mutakhir, serta sumber daya manusia yang mereka andalkan untuk merekrut karyawan.

“Kami sangat prihatin dengan laporan-laporan soal kesenjangan dalam pendanaan penelitian dan pengajaran yang semakin besar, serta penurunan jumlah pendaftaran mahasiswa internasional yang tajam, sebagai akibat dari kebijakan pemerintah,” tulis mereka dalam sebuah surat terbuka.

“Hal ini tidak hanya berisiko mengurangi kontribusi positif mahasiswa internasional terhadap pengembangan keahlian, tenaga kerja masa depan, dan pengaruh internasional, tapi juga mengurangi ketersediaan dana bagi universitas untuk menyokong program-program yang lebih luas, termasuk penelitian dan kolaborasi dengan industri.”

“Seiring berjalannya waktu, tekanan finansial dapat melemahkan salah satu kekuatan strategis terbesar Inggris, dengan implikasi yang luas bagi bisnis, serta ekonomi dan masyarakat yang lebih luas,” tambah mereka.

Para eksekutif senior di perusahaan-perusahaan raksasa Jerman seperti Siemens, perusahaan pertahanan Prancis, Thales, perusahaan tambang Anglo American dan Rio Tinto, perusahaan listrik Severn Trent, serta perusahaan energi EDF dan Neptunus, ikut menandatangani surat tersebut.

Perubahan pada skema visa pascasarjana tidak boleh diterapkan “tanpa adanya tinjauan terperinci dan menyeluruh terhadap konsekuensinya,” tambah mereka.

Minggu ini, badan penasihat migrasi pemerintah Inggris merekomendasikan untuk mempertahankan skema yang memungkinkan mahasiswa asing untuk tinggal dan bekerja di Inggris hingga dua tahun setelah lulus.

Namun, Sunak mendapat tekanan dari kelompok sayap kanan dalam partai Konservatifnya, yang menyampaikan bahwa visa pelajar digunakan sebagai “jalur gelap” untuk mendapatkan pekerjaan di Inggris, terutama untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.

Pemerintah Inggris bulan lalu mengatakan bahwa telah terjadi penurunan jumlah anggota keluarga yang mendampingi mahasiswa ke Inggris dalam tiga bulan pertama tahun ini, yaitu sebanyak hampir 80%.

Permohonan visa mahasiswa luar negeri ke Inggris pada periode yang sama turun lebih dari 26.000 orang, dibandingkan tahun 2023. (br/ns)/voaindonesia.com. []

Berita terkait
Mahasiswa Non Muslim Inggris Lindungi Jamaah Sholat Jumat
Mahasiswa Muslim Universitas East Anglia (UEA), Inggris yang sedang sholat Jum’at, pekan lalu mendapat perlindungan dari solidaritas mahasiswa non-Muslim.