Pandemi Sokong Omzet Penjual Jamu Gendong di Jakarta

Pandemi yang melanda Indonesia ternyata menyokong peningkatan omzet penjualan jamu gendong, karena jamu dianggap meningkatkan daya tahan tubuh.
Emak Eko, 65 tahun, seorang penjual jamu gendong keliling sedang menuangkan jamu untuk pelanggannya, Selasa, 15 Desember 2020. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Jakarta - Wanita berpenutup kepala ungu itu sama sekali tak tampak terbebani oleh bakul yang dipikul di punggungnya. Padahal bakul yang digendongnya berisi tujuh botol jamu dari berbagai rempah dan satu termos kecil berwarna hijau.

Bakul kuning yang terbuat dari anyaman bambu bertulis “Air Mancur Lebih Manjur” dalam gendongannya seperti menjadi penopang untuk menghidupi keluarga kecilnya.

Kabut uap tipis mengepul saat Mak Eko, perempuan itu, menuangkan cairan panas penghangat tubuh ke dalam gelas untuk konsumennya. Tangan mungilnya yang berwarna kuning akibat memarut kunyit cekatan menutup dan membuka tutup botol tersebut.

Wanita berumur 65 tahun tersebut sudah hampir 40 tahun menjual jamu di Jakarta. Dia dan keluarga kecilnya bermigrasi dari kampung halamannya di Wonogiri, Jawa Tengah sejak tahun 1975.

Saat pertama kali menjual, harga jamunya berkisar Rp 200 hingga Rp 500 per gelasnya.

Saya jualan jamu pertama kali 200 perak. Dulu segelas yang kamu minum harganya gopek sekarang kan harganya sudah tiga ribu.

Berkah Pandemi

Saat ini Emak Eko memiliki dua anak, dua cucu, dan dua cicit. Semua anggota keluarganya bermukim di Jakarta kecuali anak bungsunya yang tinggal di Palembang bersama sang istri.

Dari semua anggota keluarganya, hanya Mak Eko yang berjualan jamu. Dia mulai berjualan jamu atas inisiatifnya sendiri, bukan pekerjaan yang diturunkan oleh orang tua dan tidak menurunkan kepada anak-anaknya untuk berbisnis jamu ini.

Cerita Penjual Jamu Gendong 2Seorang pelanggan jamu butan Emak Eko sedang meminum jamu racikannya. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Setiap hari Emak Eko berkeliling menjajakan jamu dari rumahnya di kawasan Batu Ampar, Condet, Jakarta. Emak Eko mengaku pernah mendapatkan bantuan gerobak dorong untuk menjual jamu. Tapi dia memilih untuk tidak menggunakan gerobak maupun sepeda, dia tetap berjalan kaki saat menjual

“Dapat, tapi aku nggak bisa dorong karena berat apalagi saat tanjakan, terus bawaannya juga banyak. Enakan gendong sih, karena kan sekali keliling jamu yang dibawa hanya sedikit jadi di bakul saja,” ceritanya.

Setiap pagi Emak Eko berangkat menjual mulai pukul 06.00, dan pulang pada pukul 08.00. Biasanya dia menjual di sekitar Gang Setiawan, Cililitan.

Sore harinya dia kembali berjualan mulai pukul 15.30 hingga Magrib, tapi dengan rute yang berbeda, yakni berkeliling di pinggir jalan sekitar Kramat Jati.

Menurutnya menjual pagi atau sore sama saja, sebab sebagian besar pembelinya sudah menjadi pelanggan.

Meski demikian, Emak Eko mengaku pendapatannya dari menjual jamu tak menentu, karena saat sampai di rumah jarang ia hitung. Kira-kira sekali keliling jika jamunya habis dan ludes dapat 100-150 ribu. Total pagi dan sore kurang lebih mencapai Rp 300.000.

“Lakunya mah sama aja, alhamdulillah pulang Magrib sudah habis,” tuturnya saat ditemui sore itu, Selasa, 15 Desember 2020.

Pandemi Covid-19 saat ini menurutnya justru berpengaruh positif terhadap penjualan jamu gendong miliknya. Omzet penjualannya justru meningkat. Mak Eko menduga hal itu karena banyak masyarakat yang memercayai jamu adalah minuman yang bagus untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Jamu juga menjadi tren obat herbal di masyarakat.

Cerita Penjual Jamu Gendong 3Bakul berisi botol-botol jamu milik Emak Eko. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Meski mengalami peningkatan penjualan, dia mengaku saat awal pandemi, harga rempah naik hingga cukup signifikan. Bahkan hingga Selasa, 15 Desember 2020 harga rempah untuk pembuatan jamu masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga normal.

“Sekarang pun harga jahe masih mahal Rp 70.000 per kilogramnya,” jelas Emak Eko yang biasa dipanggil Yayu.

Namun dia tidak memanfaatkan momentum peningkatan penjualan itu dengan memroduksi jamu lebih banyak dari biasanya. Emak Eko membuat jamu hanya untuk dijualnya sendiri, tidak membuat untuk dijualkan lagi oleh penjual jamu lainnya. Jamu yang paling laku saat awal pandemi adalah kunyit asam.

“Awal pandemi banyak pelangganku minta buatin kunyit asam sebotol aqua. Pesan hari ini besok diantar sekalian saya keliling,” paparnya.

Penggunaan bahan-bahan pembuatan jamu seperti jahe, kencur, kunyit dalam sehari tidak pernah dihitungnya. “Kurang tau aku, tidak pernah ditimbang dulu. Kalau ada banyak parut secukupnya dan seadanya saja, sing penting sudah cukup.”

Murni Bahan Alami

Jamu yang dibuat oleh Emak Eko seluruhnya menggunakan bahan-bahan alami. Dia mengaku sama sekali tidak menggunakan bahan-bahan instan atau bahan kimia berbahaya. Warna kuning pada telapak dan punggung tangannya menjadi saksi bahwa dia memarut sendiri bahan-bahan seperti kunyit dll.

Untuk membuat jamu, Emak Eko membutuhkan waktu hingga tiga jam. Mulai dari mempersiapkan bahan, memarut, merebus, dan menyaring.

Dia mencontohkan, pembuatan jamu beras kencur prosesnya dimulai dari beras yang telah dicuci, direndam selama 3 jam. Lalu disangrai terlebih dahulu sebelum dihaluskan. Lalu campurkan larutan gula dan kencur tersebut yang telah didihkan dengan beras yang telah dihaluskan.

Bahan membuat jamu pahitan antara lain sambiloto, brotowali, temulawak, daun meniran, babakan pule, temu ireng dan lainnya. Sementara, jamu berbahan kunyit ada dua jenis, yaitu kunyit asam dan kunyit tawar. Bahannya antara lain kunyit, asam kawak, gula merah, jeruk nipis tua, garam dan gula.

Untuk jamu jahe bahan yang digunakan adalah jahe, sereh, dan gula. Sedangkan sirih hanya dengan merebus biasa. “Gampang kalau sirih mah, cuci bersih lalu rebus” ujarnya.

Mak Eko bukan hanya menjual jamu buatannya sendiri. Dia juga menjual jamu dalam kemasan saset buatan pabrik. Biasanya dia membeli jamu kemasan saset tersebut di toko jamu daerah Kampung Gedong. Sekotak jamu saset dibandrol dengan harga Rp 20.000 hingga Rp 50.000, isinya 10 saset jamu beraneka rasa dan varian.

Cerita Penjual Jamu Gendong 4Emak Eko melangkah menyusuri jalanan untuk menjajakan jamu buatannya. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Mengenai suka duka berjualan jamu, Emak Eko mengaku sudah banyak mengalami suka maupun duka, tapi satu yang paling berkesan. Dia pernah terserempet sepeda motor saat berkeliling di pinggir jalan raya. Saat itu ember airnya jatuh dan lepas. Kerugiannya pun tidak ada tapi pengendara tersebut mengganti rugi,

“Pernah dikasih duit tapi untungnya gelas di dalam ember tersebut tidak ada yang pecah. Itu sih sekali kejadian yang saya ingat,” ceritanya.

Sedangkan suka dalam berjualan jamu selama hampir 40 tahun, yang paling membekas dalam ingatannya adalah saat ulang tahun Taman Mini Indonesia Indah (TMII) beberapa puluh tahun lalu. Saat itu Soeharto masih menjadi Presiden RI.

Salah satu rangkaian acara dalam perayaan ulang tahun tersebut adalah pentas jamu gendong. Dia diundang menghadiri kegiatan itu.

“Dulu banget, sekarang mah enggak pernah. Udah masuknya gratis kita para penjual juga dikasih duit dan makanan,” kata Emak Eko mengenang dengan penuh semangat.

Waktu itu ia dibayar 50 ribu yang pada saat itu termasuk nominal yang besar, dia juga diberi kain gendong, kain baju, baju, payung, perlengkapan untuk menjual jamu, hingga bedak oleh Soeharto. “Pokoknya komplit deh, pak Soeharto sudah nggak ada ya sudah, saat zamannya beliau saja.”

Selain berjualan jamu, ia dan keluarganya juga berjualan bakso di pertigaan Gg H Hamzah. Suaminya, yang biasa disapa Pak Eko pertama kali berjualan bakso mulai tahun 1984. “Saya ingat sekali saat Cilandak meledak, kira-kira saat itulah pertama kali kita usaha bakso.”

Suaminya mulai bekerja membuat bakso sejak pukul 02.00 dinihari. Biasanya saat waktu subuh tiba bakso yang dibuatnya sudah jadi. Dia menjual mulai pukul 09.00 hingga sore. Saat pembeli sedang banyak, biasanya sebelum pukul 12.00 baksonya sudah habis. “Kemarin ba’da Zuhur sudah laku dan ludes semua. Namanya jualan pasti ada pasang surutnya, kadang ramai dan kadang sepi,” ucapnya.

(Sarah Rahmadhani Syifa)

Berita terkait
Perajin Genteng Keripik Tradisional Masih Bertahan di Bantul
Seorang perajin genteng keripik yang digarap dengan cara tradisional di Bantul, Yogyakarta, masih bertahan meski bersaing dengan genteng pres.
Doni Monardo pada Jam Makan Siang di Graha BNPB
Makan siang di Graha BNPB, olahan serba sagu terhidang di meja: briyani, kabsa, liwet, uduk Papua, sagu goreng. Doni Monardo minta piring besar.
Tahu Putih Ubah Jalan Hidup Mantan Anak Nakal di Bogor
Seorang pengusaha pembuatan tahu di Bogor mengaku sempat mengalami fase nakal dalam perjalanan hidupnya, tapi usaha tahu membuat berhenti nakal.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.