Medan - Satwa dilindungi dan flora yang hidup dan tumbuh di kawasan bentang alam Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumut, kini menghadapi ancaman besar. Salah satunya, satwa otentik yang paling langka di dunia, yaitu Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) kini terancam akan punah.
"Total habitat alami Batang Toru diperkirakan seluas 150.000 hektare. Ekosistem Batang Toru adalah habitat terakhir untuk Orangutan Tapanuli yang khas dari sisi genetika dan telah ditetapkan sebagai spesies baru," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumut, Dana Prima Tarigan, belum lama ini.
Bentang alam Batang Toru sendiri memiliki luas 168.658 hektare termasuk di dalamnya Hutan Lindung Sibolga, Cagar Alam Sibual Buali dan Cagar Alam Dolok Sipirok. Cakupan hutan Batang Toru terbagi dalam dua blok meliputi Blok Hutan Batang Toru Barat dan Biok Hutan Batang Toru Timur, sebelah Selatan Danau Toba.
Selain orangutan Tapanuli, juga terdapat dua satwa mamalia langka iain yang tergolong terancam punah (critically endangered), yaitu harimau dan tringgiiing. Ada lagi empat jenis yang masuk kategori endangered, yaitu tapir, siamang, gibbon, lutung; 11 jenis kategori rentan, yaitu kambing hutan, beruang madu, kucing mas dan kucing batu. Semua satwa itu menghuni ekosistem Batang Toru.
Dari sisi flora, ekosistem Batang Toru juga sangat kaya karena merupakan habitat spesies langka dan dilindungi, seperti kantong semar (Ramesiadan Nepenthes), ratusan jenis anggrek, serta berbagai jenis pohon.
Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumut, Roy Lumbangaol, menambahkan saat ini ancaman yang sedang terjadi terhadap ekosistem Batang Toru diakibatkan eksplorasi yang dilakukan korporasi di kawasan tersebut, yaitu izin usaha pertambangan kontrak karya PT Aginresources.
Belum lagi, ekspansi perkebunanan kelapa sawit yang sudah mulai mengarah ke hutan Batang Toru yang saat ini seluas 113.464 hektare, serta dampak ikutan pembangunan PLTA Batang Toru oleh PT NSHE (North Sumatera Hydro Energy).
"Dengan dibukannya akses jalan akan mengancam habitat satwa dan mengarah pada pembukaan hutan secara ilegal," jelas Roy kepada Tagar, Selasa, 3 September 2019.
Selain mengancam hilangnya habitat satwa penting dan dilindungi, kondisi ini juga akan rentan menimbulkan terjadinya konfiik satwa dan manusia di sekitar hutan, hilangnya hak-hak masyarakat lokal atas sumber daya air wilayah kelola rakyat dan pemenuhan tradisi dan spiritualitas masyarakat. []