Kenalkan Spesies Baru, Orangutan Tapanuli, Keriting dan Pemalu

Orangutan Tapanuli ini merupakan spesies pertama kera besar yang baru ditemukan selama hampir satu abad.
Orangutan Tapanuli (Pngo Tapanuliensis) (Foto: national Geographic/Tim Laman)

Jakarta, (Tagar 3/11/2017) - Kabar gembira datang dari Tapanuli, Sumatera Utara. Telah ditemukan satu spesies baru orangutan dan diberi nama Orangutan Tapanuli dengan nama latin Pongo Tapanuliensis.

Orangutan Tapanuli ini merupakan spesies orangutan ketiga di Indonesia setelah Orangutan Sumatera (Pongo Pygmaeus) dan Orangutan Kalimantan (Pongo abelii).

Mengutip BBC, Orangutan Tapanuli ini merupakan spesies pertama kera besar yang baru ditemukan selama hampir satu abad.

Dalam hasil riset yang diterbitkan di jurnal Current Biology, tim -yang terdiri dari para peneliti Universitas Zurich, Universitas John Moores Liverpool, dan Sumatran Orangutan Conservation Programme- mengatakan tinggal 800 ekor yang ada sehingga menjadikannya sebagai spesies kera yang kelangsungannya paling terancam di dunia.

Dalam studi awalnya, para peneliti mengambil DNA dari orangutan itu yang memperlihatkan 'keanehan' dibandingkan dengan orangutan lain di Sumatra.

Jadi para ilmuwan melakukan penyelidikan yang seksama dengan merekonstruksi sejarah evolusioner satwa itu dengan menggunakan kode genetikanya.

Para ilmuwan yang selama beberapa tahun bingung dengan 'keanehan genetika' dari populasi kecil orangutan di Pulau Sumatra akhirnya menyimpulkan bahwa mereka merupakan spesies baru.

[caption id="attachment_27026" align="aligncenter" width="712"]orangutan tapanuli (pongo tapanuliensis) Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) (Foto: Tim Laman)[/caption]

Orangutan yang sempat menimbulkan pertanyaan itu dilaporkan keberadaannya setelah satu ekspedisi di hutan pegunungan terpencil Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, pada tahun 1997 lalu. Sejak itu sebuah proyek riset berusaha mengungkap rahasia biologisnya, dan membuahkan hasil.

Salah seorang peneliti utama, Profesor Michael Krützen dari Universitas Zurich, Swiss, menjelaskan  "Analisis genomik benar-benar memungkinkan kami untuk melihat rincian dalam sejarahnya."

"Kami bisa membuktikan jauh ke masa lalu dan bertanya 'kapan populasi ini terpisah."

Analisis dari 37 genome, kode untuk susunan biologis masing-masing binatang, yang utuh dari orangutan ini memperlihatkan mereka terpisah dari keluarga orangutan Kalimantan kurang dari 700.000 tahun lalu, waktu yang tergolong singkat dalam masa evolusi.

Sementara Prof Serge Wich dari Universitas John Moores Liverpool memusatkan perhatiannya pada 'karakter bunyinya', yaitu suara yang keras dari orangutan jantan untuk mengumumkan kehadirannya.

"Bunyi itu bisa sampai sejauh satu kilometer di dalam hutan," jelas Prof Wich.

"Jika Anda melihat bunyi-bunyi itu, Anda bisa memecahnya terpisah-pisah dan kami menemukan perbedaan yang tidak kentara antara bunyi mereka dan populasi lainnya."

Keping terakhir dari kebingungan -yang juga merupakan perbedaan halus namun konsisten- adalah perbedaan dalam bentuk tengkorak antara orangutan Sumatra, Kalimantan, dengan Tapanuli.

Prof Wich menjelaskan bahwa kolaborasi studi genetika, anatomi, dan akustik selama beberapa dekade berhasil menghasilkan 'terobosan yang mengagumkan'.

"Hanya ada tujuh spesies kera besar -tidak termasuk kita. Jadi menambah satu dalam daftar yang sedikit itu adalah spektakuler." Itu sesuatu yang menurut saya dimimpikan oleh banyak ahli biologi."

Namun orangutan Tapanuli akan ditambahkan dalam daftar spesies yang Terancam Punah selain ke buku-buku pelajaran zoologi.

"Amat mengkhawatirkan," tambah Prof Wich, "menemukan sesuatu yang baru dan kemudian langsung menyadari bahwa kita harus menyatukan semua upaya kita sebelum kehilangannya."

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sudah melaporkan penemuan spesies kera besar terbaru itu kepada Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Ia menyebut, Orangutan Tapanuli baru ditemukan kembali di akhir tahun 1990-an. Sebelum masa itu, peneliti menganggap populasi orangutan Sumatra di alam bebas hanya tersebar di wilayah utara dari Danau Toba.

Pemalu

Spesies Orangutan Tapanuli ini hanya ditemukan di ekosistem Batang Toru yang meliputi hutan dataran tinggi yang tersebar di tiga kabupaten Tapanuli.

Orangutan dikenal sebagai individu yang pemalu. Menemukan mereka di dalam hutan luas yang lebat bukanlah perkara yang mudah.

Dikutip dari laman AustraliaPlus, Erik Meijaard, seorang ilmuwan hutan dan konservasi, mengatakan bahwa menemukan orangutan ini di pedalaman adalah hal yang tidak mungkin berhasil. Erik pun akhirnya mengandalkan informasi dan catatan penjelajah Belanda di awal tahun 1900-an untuk melakukan pencarian “rumah” mereka di hutan.

Setelah melakukan pencarian dan pemetaan di Kalimantan, Erik melanjutkan perjalanannya ke Sumatera. Di Sumatera inilah ia menemukan catatan penjelajahan tadi. Pada catatan perjalanan disebutkan secara berulang mengenai adanya populasi orangutan di daerah Tapanuli, jauh di selatan habitat orangutan Sumatera. Erik pun memutuskan untuk ke sana.

Pencarian saat itu juga tidak langsung membuahkan hasil. Ia tidak menemukan satu pun orangutan. Erik menemukan adanya sarang, dan inilah yang menjadi awal perjalanan Erik untuk menemukan dan mempelajari orangutan Tapanuli.

Karena sifat pemalu inilah orangutan Tapanuli hidup susah ditemukan. Ekspedisi di hutan terpencil Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, yang dimulai pada tahun 1997 ini baru membuahkan hasil 20 tahun kemudian.

Terobosan penelitian pada kelompok peneliti lain dimulai ketika sebuah kejadian tragis menimpa seekor orangutan Tapanuli pada November 2014. Orangutan itu diserang dan dibunuh oleh warga kampung.

Orangutan Tapanuli ditemukan, namun dalam kondisi tidak bernyawa. Tidak ingin kehilangan kesempatan, para peneliti mengambil tengkoraknya dan membandingkan dengan 33 tengkorak orangutan Sumatera dan Kalimantan.

Analisa genetika menunjukan perkawinan silang sudah terjadi antara Orangutan Tapanuli dan Sumatera sekitar 10.000 tahun lalu. Namun secara morfologis, mereka berbeda dan bisa digolongkan sebagai satu spesies tersendiri.

Hasil DNA dan dikombinasikan dengan berbagai perhitungan model matematika, menunjukan bahwa orangutan Tapanuli “terpisah” dari Orangutan Sumatera dan Kalimantan sekitar 3,4 juta tahun lalu.

Populasi mereka terhitung relatif kecil dan di bawah ancaman, kurang dari 800 orangutan dalam area 1.000 kilometer persegi. Hal ini semakin diperparah dengan angka produksi yang rendah. Orangutan Tapanuli hanya melahirkan satu anak setiap sekitar enam tahun. Perburuan juga turut mengancam mereka dari kepunahan.

Upaya penemuan ini bermula dari kerjasama antara Universitas Nasional, Institut Pertanian Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, University of Zurich, Switzerland, Yayasan Ekosistem Lestari (Sumatran Orangutan Conservation Programme), dan Yayasan Orangutan Sumatera Lestari (Orangutan Information Center) mengenai konservasi Orangutan Sumatera selama delapan tahun di Ekosistem Batang Toru.

Begitu penelitian selesai, para peneliti itu segera melaporkan ke salah satu jurnal Current Biology untuk mengesahkan penemuan baru tadi. Para peneliti sebelumnya menganggap Orangutan Tapanuli sebagai populasi kera besar paling selatan dari orangutan sumatra.

Tapi, berdasarkan penelitian secara mendalam oleh kelompok peneliti Indonesia dan mancanegara dalam bidang genetika, morfologi, ekologi, dan perilaku, ternyata Orangutan Tapanuli secara taksonomi malah lebih dekat dengan orangutan Kalimantan sehingga harus dipisahkan menjadi spesies tersendiri. Penelitian juga mengindikasikan, orangutan tapanuli merupakan moyang dari ketiga kera besar ini.

Keriting

Lantas bukti apa yang mengukuhkan spesies baru orangutan ini? Peneliti melihat ada perbedaan genetic yang sangat besar di antara ketiga jenis orangutan yang bermukim di Indonesia. Bahkan, perbedaan genetik itu melebihi saudara kera mereka, seperti gorila dataran tinggi dan rendah maupun simpanse dan bonobo di Afrika. Peneliti menduga orangutan tapanuli adalah keturunan langsung dari nenek moyang mereka yang berpindah dari Dataran Asia pada masa Pleistosen (+ 3.4 juta tahun silam).

[caption id="attachment_27025" align="aligncenter" width="712"]Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) (Foto: Tim Laman)[/caption]

Secara kasat mata, rambut yang menutupi tubuh si orangutan tapanuli itu lebih tebal ketimbang dua kerabatnya. Rambut tadi tampak keriting. Sementara itu, ukuran tengkorak dan tulang rahangnya lebih kecil.

Anton Nurcahyo, peneliti orangutan yang tengah menyelesaikan studi doktoral di Australian National University (ANU) bersama dengan pakar taksonomi primata Prof. Dr. Colin Groves melakukan pengukuran tengkorak dan tulang rahang.

“Kami sangat terkejut sekaligus senang ketika menemukan ukuran tengkorak yang sangat berbeda secara karakteristik dibandingkan dengan spesies lainnya,” kata Anton.

Lebih dalam, peneliti perilaku dan ekologi melaporkan fakta penguat. Orangutan tapanuli punya jenis panggilan jarak jauh (cara jantan menyebarkan informasi) yang berbeda. Jenis makanannya juga unik. Mereka hanya menyantap buah-buahan yang hanya ditemukan di Ekosistem Batang Toru.

Kabar gembira juga diikuti dengan kekhawatiran. Populasi orangutan tapanuli cuma berada di angka 800 individu. Mereka tersebar dalam tiga kantong hidup yang terpisah-pisah di Batang Toru. Populasi Orangutan Tapanuli terpecah ke dalam dua kawasan utama (blok barat dan timur) oleh lembah patahan Sumatera. Selain itu, ada populasi kecil di Cagar Alam Sibual-buali di sebelah tengara blok barat. Penyambungan kembali ketiga populasi orangutan tapanuli akan sangat penting untuk pelestarian dan untuk menghindari kawin silang (inbreeding).

“Terdapat tekanan antropogenik yang kuat terhadap keberadaan populasi Orangutan Tapanuli karena konversi hutan dan perkembangan lainnya,” ujar Puji Rianti, salah satu peneliti dari Institut Pertanian Bogor yang mempelajari genetika konservasi dari spesies orangutan di Sumatra.

“Tindakan mendesak diperlukan untuk meninjau ulang usulan-usulan pengembangan daerah di wilayah ini sehingga ekosistem alami tetap terjaga demi keberlangsungan hidup orangutan tapanuli di masa depan.”

Ekosistem Batang Toru menjadi tempat hidup terakhir bagi mereka dengan jumlah individu terpadat. Pada 2015, pihak kementerian telah menyatakan ekosistem seluas 150.000 hektar ini menjadi kawasan lindung dengan status Kawasan Pengelolaan Hutan Lindung.

Menurut catatan, sekitar 85% dari wilayah bersebaran status Hutan Lindung, sementara 15% hutan primer masih status Areal Penggunaan Lain. Tentu, pemerintah perlu mendorong penguatan status seluruh tempat hidup orangutan tapanuli. Pengelolaan kawasan pun harus mengedepankan upaya perlindungan pada orangutan jenis baru yang semakin sedikit populasinya.

“Pemerintah Indonesia sangat gembira terhadap kesimpulan baru ini,” ujar Siti Nurbaya.

Menurutnya, kategori spesies baru ini semakin menunjukkan betapa kayanya wilayah Indonesia dengan keanekaragaman hayati yang masih relatif sedikit diketahui. Boleh jadi kabar yang menggembirakan itu bakal membuat kerja Siti Nurbaya semakin padat. Sebab, masih ada sejumlah pekerjaan rumah terkait perlindungan spesies dan pengelolaan kawasan pada masa mendatang di tengah laju pembangunan wilayah Sumatra. (Fet/BBC/National Geographic)

Berita terkait