Untuk Indonesia

Opini: Rekayasa Sosial Mandiri, Menjaga Keberlanjutan Transformasi Sosial Sektor Pertanian

Jika kita coba cermati dan kaji tidak sedikit program atau kegiatan yang berasal dari pemerintah, berupa bantuan kepada kelompok. Agung SS.
Ilustrasi - Rekayasa Sosial Mandiri, Menjaga Keberlanjutan Transformasi Sosial Sektor Pertanian. (Foto: Tagar/Ist)

Agung SS Raharjo, MPA


Jika kita coba cermati dan kaji tidak sedikit program atau kegiatan yang berasal dari pemerintah, berupa bantuan kepada kelompok ataupun wujud lainnya, yang kemudian tidak dapat dipastikan keberlanjutannya atau mandeg begitu saja pasca tahapan program selesai. 

Tentu akan banyak aspek ataupun faktor yang dapat menjelaskannya, dan referensi tentang hal tersebut cukup banyak untuk dicari dan diulas. Dari banyaknya penyebab itu salah satu yang dapat dikaji adalah implementasi rekayasa sosial.

Istilah rekayasa sosial (social engineering) cukup awam kita dengar dan ketahui. Meski kemudian jika kita timbang, penggunaan term rakayasa (engineering) lebih terasa unsur mekaniknya yaitu, pada domain ruang ilmu-ilmu pasti yang sarat bersentuhan dengan unsur atau objek yang tidak hidup atau benda mati

Namun, kemudian disinilah menariknya ketika term ilmu pasti tersebut kemudian dipakai pendekatannya pada ilmu-ilmu sosial. Tentulah kemudian melahirkan sebuah pemaknaan atau arti yang berbeda yang dilatarbelakangi atas perlakuan terhadap objek materiil yang direkayasa.

Tidak berhenti disitu, dalam perjalannya, pendekatan konsep rekayasa dalam keilmuan sosial, sebagai sebuah term tersendiri telah menimbulkan satu pemaknaan bersifat negatif. 

Seringkali kita memaknai rekayasa adalah suatu upaya “kotor”, hal ini dikarenakan kita terjebak dalam satu situasi kekuasaan atau kegiatan-kegiatan praktis rekayasa dilakukan oleh aktor elite politik yang mempunyai tujuan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Less dan Presley tokoh sosiolog mengartikan social engineering adalah upaya yang mengandung unsur perencanaan, yang diimplementasikan hingga diaktualisasikan di dalam kehidupan nyata. Secara lebih sederhana rekayasa sosial adalah upaya transformasi sosial secara terencana (social planning). 

Dari pengertian ini maka dapat kita identifikasi beberapa hal yaitu: 1) konsep ini mengambil pendekatan sistem yang bersifat top-down, dan 2) dari sisi aktor maka secara dikotomis pemerintah sebagai subjek (penentu) dan masyarakat sebagai objek (pelaku).

Pada awal implementasinya, cukup terasa bahwa target transformasi yang diharapkan lebih bercorak sepihak. Artinya keinginan perubahan itu tumbuh diatas kepentingan pemerintah an sich sedangkan masyarakat dilihat sebagai entitas yang semata objektif yaitu tidak memiliki kehendak dan pilihan-pilihan yan bebas. 

Relasi kedua entitas aktor tersebut dapat dipahami melalui pendekatan Teori Struktur fungsionalisme yang bercorak paradigma empiris positivisme yang kemudian hari pemahaman ini dapat dikritisi dengan pendekatan paradigma humanistik.

Kembali menyoal penerapan rekayasa sosial, sebagai sebuah konsep pendekatan dalam mencapai perubahan sosial, begitu banyak sektor pemerintahan yang kemudian latah untuk menerapkannya termasuk sektor pertanian. Kemudian apakah berhasil cita-cita perubahan itu? Sebagian dapat kita temui keberhasilannya. 

Namun, tidak sedikit yang mati atau tak lagi berkesinambungan. Rekayasa sosial dalam ranah para perancangnya, dalam hal ini penulis melihat dari sisi praktik perencanaan pada lembaga pemerintah, cenderung melakukan intervensi “monologis” bukan “dialogis”. 

Acuan atau pedoman dibuat sedemikian rupa namun lupa menyusun exit stategy berkelanjutan. Rekayasa sosial sebatas bicara output namun tidak melahirkan outcome

Capaian-capaian berhenti pada evaluasi kuantitas kurang menghadirkan sisi kualitas. Jika sudah selesai tersalurkan bantuan, maka rekam keberhasilan sudah dapat dicatatkan dalam laporan-laporan kegiatan yang berlembar-lembar. 

Rekayasa sosial dalam prakteknya sekedar mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran, belum berorientasi pada hasil yang terbukti memberi insentif pada cara-cara yang lebih profesional dan memberdayakan.

Kemudian satu hal yang terkadang lupa untuk diperhatikan bahwa pada dasarnya proses rekayasa memerlukan sesuatu yang disebut Ardorno (1960) sebagai ersatz. 

Konsep ini awalnya dipakai oleh Adorno untuk menjelaskan sebuah realitas sosial atas produk yang dikonsumsi atau dibeli. Realitasnya ditemui konsumen yang tidak sekedar membeli fungsi inheren pada produk tersebut tetapi juga ingin mendapat nilai yang lain misal fungsi sosial. 

Adapun dalam konteks rekaya sosial produk tersebut dapat dipahami sebagai sebuah program atau kegiatan. Ersatz dimengerti sebagai nilai dimana menandai pertimbangan masyarakat dalam memutuskan produk yang akan dikonsumsi lebih lanjut dari utilitasnya yang kedua. 

Sehingga tatkala ersatz ini tidak ditemukan oleh pihak penerima, misal oleh petani, maka dapat dipastikan kegiatan tersebut akan berhenti seiring berakhirnya tahapan program. Maka semua itu tidak lebih dari sekedar rutinitas serapan anggaran.

Petani atau kelompok penerima lebih diperlakukan sebagai objek yang mensyaratkan kelayakan diri sebatas sebagai penerima bantuan. Borang administrasi disiapkan sedemikian rupa, agar lolos sebagai penerima. 

Sementara itu, tidak ada kesinambungan/keberlanjutan program setelahnya. Pun minim aksi replikasi atas upaya yang telah dilakukan pada wilayah lain sebagai tanda keberhasilan. 

Sebab tak cukup mampu melahirkan kelompok-kelompok penggerak. Sudah cukup besar kantong anggaran yang digelontorkan namun tak cukup banyak yang dapat dipertahankan.

Desain rekayasa sosial harus lepas dari mind set monolitik. Sebuah pendekatan rekayasa sosial yang dapat menjadi alternatif rujukan yakni rekayasa sosial secara mandiri (RSM). 

Pendekatan metodologisnya berbeda, RSM dibangun atas dasar kesadaran masyarakat. Masyarakat petani tidak semata sebagai pelaku penerima bantuan kegiatan namun juga sebagai agen inovasi. Kunci dari pelaksanaan RSM adalah kemandirian dan kepemilikan modal sosial yang memadai. 

Dengan hal tersebut dapat dipastikan agenda transformasi sosial (pertanian) dapat diwujudkan dan memiliki dampak positif yang berkelanjutan. 

Sehingga kedepan proses penetapan program/kegiatan sudah diawali terlebih dahulu melalui proses perencanaan yang dialogis antara pemerintah dan masyarakat petani. Karena secara empiris RSM mampu menciptakan: 1) kesadaran kolektif, 2) menumbuhkan dan menguatkan social capital, 3) komunikasi yang interaktif dan 4) mewujudkan tindakan kolektif. Transformasi sosial sektor pertanian adalah keniscayaan yang dapat diwujudkan.

*ASN Kementerian Pertanian Analis Kebijakan

Berita terkait
Opini: Suara Akar Rumput untuk Ganjar Pranowo - Mahfud MD
Komitmen dan integritas Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sudah teruji. Rame ing gawe sepi ing pamrih. Opini Bagas Pujilaksono Akademisi UGM.
Opini: Koalisi Jumbo untuk Siapa
Nalar sehat saya sangat tergelitik, soal munculnya wancana Koalisi Jumbo. Untuk siapa? Manfaatnya apa? Opini Bagas Pujilaksono Akademisi UGM.
Opini: Kenapa Pak Moeldoko Tak Mau Banyak Bicara?
Banyak teman-teman media yang mempertanyakan diamnya Ketua Umum DPP Partai Demokrat KLB Moeldoko mengenai Peninjauan Kembali. Opini Saiful Huda Ems
0
Opini: Rekayasa Sosial Mandiri, Menjaga Keberlanjutan Transformasi Sosial Sektor Pertanian
Jika kita coba cermati dan kaji tidak sedikit program atau kegiatan yang berasal dari pemerintah, berupa bantuan kepada kelompok. Agung SS.