Pro kontra pajak sembako dan pendidikan adalah hal yang lumrah di era demokrasi. Bukan soal pro kontra yang saya cermati, namun soal argumennya.
Sistem pajak adalah konsep yang sifatnya sustainable. Pajak adalah sumber pendanaan APBN yang semakin hari harus semakin digenjot. Nilai pembayaran pajak menggambarkan suatu produktivitas.
Gonjang-ganjing pajak sembako dan pendidikan adalah fakta yang terjadi saat ini. Mestinya kita dengarkan dulu item apa saja yang dipajaki dari sembako dan pendidikan.
Jika Pemerintah menarik pajak dari sembako, itu artinya sembako menjadi objek pajak di mana Pemerintah harus mempunyai komitmen lebih baik daripada sekarang ini soal ketersediaan, jalur logistik, dan kestabilan harga sembako. Itu konsep pajak yang benar, menarik pajak dan memberikan imbal balik atas pembayaran pajak tersebut. Itu dugaan saya saat ini. Saya belum tahu, item apa yang akan ditarik pajak dari komuditas sembako.
Pendidikan adalah sistem yang harus sustainable. Penyelenggaran pendidikan adalah hak warga negara dan kewajiban bagi pemerintah.
Tidak ada salahnya jika pendidikan ditarik pajak demi lestarinya proses pendidikan nasional yang berkualitas. Saya juga belum tahu item apa yang ditarik pajak dari sektor pendidikan.
Jika Pemerintah menarik pajak dari sektor pendidikan, artinya pemerintah berkomitmen membangun sistem pendidikan nasional menjadi lebih produktif terutama dari sisi SDM.
Fasilitas gedung sekolah milik negara butuh perawatan untuk tetap aman dan nyaman bagi murid belajar. Biaya perawatan gedung sekolah tidak murah. Tidak ada salahnya jika gedung sekolah ditarik pajak untuk biaya perawatan.
Pajak atas pendidikan sangat mungkin diterapkan di universitas, karena manajemen universitas bisa dikelola ala suatu perusahaan besar.
Saya ambil contoh, misalnya suatu universitas milik negara paling top di negeri ini, tertua dan terbesar, gudangnya orang pintar.
Gedung-gedung universitas sangat megah, dan pasti butuh biaya yang mahal untuk perawatannya. Maka, wajar jika Pemerintah menarik pajak atas gedung-gedung tersebut.
Teknisnya, semua gedung tidak dikelola oleh universitas, namun oleh suatu BUMN yang berkantor di area universitas. Universitas menyewa atas gedung-gedung yang dipakai ke BUMN tersebut termasuk energi listriknya. Sumber dananya dari UKT mahasiswa dan kontribusi SDM-nya atas riset dan proyeknya. Prosesnya bertahap.
Jika hal ini yang diterapkan, satu-satunya kunci adalah produktivitas SDM universitas, terutama dosen-dosennya. Dan ini cara yang benar menuju Research University, yang artinya budget universitas ditopang dari riset bukan dari UKT Mahasiswa.
Uang sewa gedung yang dibayarkan ke negara, dikembalikan ke universitas dalam bentuk education grant, sehingga UKT mahasiswa bisa lebih murah, syukur-syukur gratis.
Pajak atas pendidikan sangat mungkin diterapkan di universitas, karena manajemen universitas bisa dikelola ala suatu perusahaan besar.
Saran saya ke pemerintah adalah siapkan konsep dan payung hukumnya, agar penarikan pajak atas sembako dan pendidikan memang ditujukan untuk suatu produktivitas yang berkelanjutan.
*Akademisi Universitas Gadjah Mada
Baca juga Opini: Takut PPN Kesehatan, Daftar JKN Saja