Sukron Makmun*
Di negeri ini, kelompok mainstream justru yang paling sensitif mudah reaksi. Apapun yang berbahu agama pasti mudah sekali dijadikan korek untuk menyulut api kebencian, dendam kesumat atas nama umat.
Banyak yang merasa paling tanggungjawab, paling terpanggil untuk menyelamatkan agama. Padahal eksistensi agama di tangan Tuhan. Dia yang membuat, dia pula yang menjaga.
- Baca Juga: Opini: Fokus pada Implementasi Kenaikan UM 2022
- Baca Juga: Opini: Bahasa, Beban Komunikasi?
Memagari rapat-rapat agama dari kemungkinan penyusupan gagasan yang disinyalir akan merusak (kemurnian)-nya, justru tidak menjadikan agama semakin kokoh, malah sebaliknya, dapat melemahkan citra agama (yang sejatinya kuat, meskipun tanpa pembelaan).
Tanpa mereka sadari, mental banteng (over protective) seperti itu justru merupakan pengakuan terselubung akan kelemahannya dalam memahami hakikat agama itu sendiri.
- Baca Juga: Opini: Urgensi Presidential Threshold dalam Sistem Pemilu Indonesia
- Baca Juga: Opini: KDK dan KRIS untuk Pelayanan yang Lebih Baik
Bukankah ketertutupan hanya membuktikan ketidak mampuan melestarikan diri dalam keterbukaan? Indikasi kelemahan umat dalam berbagai bidang, dalam pergaulan dan lain sebagainya.
Ketakutan terhadap pengaruh negatif luar, menjadikan setiap orang lebih gampang curiga terhadap semua pendapat orang lain tentang dirinya, kendati pendapat itu terkadang lebih jernih dan jujur.
Wakil ketua PWNU Banten