Untuk Indonesia

Opini: Bahasa, Beban Komunikasi?

Jamie Uys adalah sosok yang genius bagaimana ia berhasil membalut dua kebudayaan yang kontras menjadi suguhan. Zaki Nabiha.
Ilustrasi - Komunikasi. (Foto: Tagar/Shutterstock)

Zaki Nabiha*


Siapa pun tentu sepakat. Jamie Uys adalah sosok yang genius. Bagaimana ia berhasil membalut dua kebudayaan yang kontras menjadi suguhan yang proporsional. Melalui "The Gods Must Be Crazy" yang ia tulis dan langsung ia sutradarainya. 

Film produksi tahun 1980 ini menjadi jalan tengah, semacam kompromi antara budaya kontemporer dengan budaya yang Vincent Canby, Kritikus film, sebut belum mencapai budaya batu.

Pada film itu, Jamie Uys mencoba mendekonstruksi gap budaya yang disimbolisasi lewat gerbang komunikasi verbal, yaitu bahasa. Karenanya, penonton bukan hanya menikmati tapi seolah turut berdialog bersama Xi, yang diperankan secara paripurna oleh N!xau yang menurut saya, Jamie Uys penuh intuitif tetap menggunakan bahasa !Kung dengan dialek Jul’hoan-nya.

Untuk mengimbangi lawan main N!xau, si cantik Sandra Prinsloo yang memerankan Kate Thompson. Bahasa !Kung sendiri banyak dipakai di Namibia.

Jamie Uys seperti tak peduli tujuan dua individu atau lebih berkomunikasi melalui bahasa. Alih-alih pesan tersampaikan dan bisa dimengerti sepenuhnya, yang muncul justru interpretasi liar dan kekonyolan, bukan saja dilakukan oleh para pemain ketika beradu akting dengan N!xau tapi tanpa sadar hal itu juga dilakukan oleh kita yang menontonnya. 

"The Gods Must Be Crazy" bagi saya lebih dari sekedar komedi. Tapi juga refleksi, potret bagaimana respon kita menghadapi kebuntuan berkomunikasi. Yaitu dengan melakukan rekayasa, mengeksplorasi, mencari irisan dari universalitas bahasa itu sendiri. 

Kita ketahui, mungkin, hanya manusia-lah, makhluk hidup yang secara intensif mampu menggunakan memberdayakan bahasa. Walaupun makhluk hidup lain juga memiliki kemampuan dasar untuk berkomunikasi.

Tapi, ternyata, bukan sekedar intensif, manusia juga mampu mengoptimalisasi bahasa dengan sedemikian rupa. Dalam buku, Sapiens yang ditulis Yuval Noah Harari, disebutkan bahwa bahasa adalah instrumen paling utama yang menunjang keselamatan manusia. Lewat bahasa, manusia bisa mengorganisasikan unit sosial yang jauh lebih besar.

Bahasa dalam The Blackwell Guide to the Philosophy of Language yang ditulis Michael Devitt dan Richard Hanley merupakan pesan yang disampaikan dalam bentuk ekspresi sebagai alat komunikasi pada situasi tertentu, dalam berbagai aktivitas. 

Dalam hal ini ekspresi berkaitan unsur segmental dan suprasegmental baik itu lisan atau kinesik sehingga sebuah kalimat akan bisa berfungsi sebagai alat komunikasi dengan pesan yang berbeda apabila disampaikan dengan ekspresi yang berbeda. Oleh karena itu, Xi dan suku Bushmen lebih banyak menggunakan ekspresi dalam berkomunikasi.

Pada dimensi yang lain, bahasa menurut Martin Suryajaya, penulis sekaligus filsuf milenial, juga bisa digunakan untuk menyampaikan suatu skenario alternatif, sesuatu yang tidak ada di mata kita, tak pernah didengar dan dicium tapi bisa dihadirkan seolah-olah ada di hadapan kita (fiksi). 

Lewat fiksi ini kemudian masyarakat bisa diorganisasikan. Seperti apa yang dilakukan Xi ketika akan membuang botol Coca Cola. Botol itu awalnya menjanjikan banyak hal namun kemudian menjadi biang keributan hingga akhirnya anggota Suku Bushmen berhasil diyakinkan oleh X! bahwasannya botol tersebut adalah kiriman dari dewa yang sedang gila.

Dengan cara fiksi tersebut, Martin melanjutkan, bahasa bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan. Karakter khas bahasa bukan hanya merekam segala hal di masa lampau tapi juga bisa menghadirkan sesuatu yang baru, yang melalui kemamapuannya.

Dalam konteks kehumasan pemerintah, kemampuan berbahasa ini bisa diimplementasikan dengan kemampuan dalam beretorika, baik beretorika dalam menulis maupun berbicara. 

Pegawai kehumasan pemerintah seyogyanya memiliki kemampuan dalam mengolah bahasa secara efektif dan efisien berupa ethos (karakter atau niat baik), pathos (membawa emosional pendengar atau pembaca), dan logos (bukti logis) sehingga pembaca atau pendengar bisa dipengaruhi dengan pesan yang disampaikan melalui lisan atau media tulisan. 

Selain dari atas mimbar, kemampuan berbahasa bisa terus diasah lewat menulis dan membuat tulisan. Tentu tidak mudah dan terasa asing di awal-awal. Jurus dan metode ATM (amati, tiru, modifikasi) dari penulis-penulis beken tidak ada salahnya diterapkan.

Mengakhiri tulisan ini, saya inigin mengutip salah satu ungkapan masyhur Dzun Nun Al-Mishri, tokoh sufi besar di abad ketiga Hijriyah, "Tidaklah seorang menulis melainkan ia akan binasa (mati), sedang apa yang ditulis oleh kedua tangannya akan tetap hidup, maka janganlah engkau menulis dengan tanganmu, kecuali sesuatu yang menyenangkanmu di hari kiamat ketika melihatnya". Jadi, menulislah, karena kerja-kerja menulis adalah kerja yang berorientasi keabadian.

*ASN di Kementerian Pertanian

Berita terkait
Opini: Selamat HUT ke-41 Satpam
Satpam menjadi ujung tombak keamanan dan ketertiban di tempat kerja, pasar, mall, instansi pemerintah, dan sebagainya. Timboel Siregar.
Opini: Panitia Kerja (Panja) Pekerja Perkebunan Sawit
Semoga kasus di Langkat menjadi memonetum untuk perbaikan pelaksanaan hak-hak pekerja di perkebunan sawit.
OPINI: PJ Gubernur, Menakar Niat Baik Jakarta
Terkait kewenangan tersebut, telah memicu berbagai rumor politik dan sikap pesimis dari berbagai kekuatan politik di Aceh
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.