Untuk Indonesia

Opini: Menerawang Langkah Opung Luhut di Balik Wacana Penundaan Pemilu

Pertanyaannya, Apakah para elit tidak tau dampak negatif jika pemilu ditunda atau perpanjangan masa jabatan? Tentu tidak.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. (Foto: Tagar/Kemenkomarves)

Fadhli Harahab*


Agenda tersembunyi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan (Opung Luhut) dan sejumlah petinggi parpol yang mengusulkan Penundaan Pemilu 2024 masih menjadi tanda tanya. Padahal, sedari hulunya usulan ini sudah bertentangan dengan konstitusi yang telah mengatur tegas dan jelas.

Dalam UUD 1945 Pasal 22 E ayat 1-6 menyatakan, penyelenggaraan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Lalu, di Pasal 7 mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan.

Meneropong manuver pro penundaan pemilu, maka publik tentu akan bertanya logika macam apa yang digunakan para elit sehingga begitu nekat menerobos batas-batas konstitusi.

Masih ingat wacana penambahan masa jabatan presiden? Itu sehela nafas dengan isu ini. Meski kadung sepi, para penyembur tiga periode tak abis akal untuk terus menggelorakan persoalan yang sama demi mencapai target tertentu.

Pertanyaannya, Apakah para elit tidak tau dampak negatif jika pemilu ditunda atau perpanjangan masa jabatan? Tentu tidak. Kok, begitu nekat? apakah cukup dengan alasan kondisi ekonomi, masa pandemi dan tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi, Pemilu ditunda? Mencermati isu tersebut, maka publik perlu mencurigai motif elit politik menyuarakan penundaan pemilu tersebut.


Pengalihan Isu Besar

Munculnya isu penundaan pemilu 2024, sontak menggegerkan publik tanah air. Tak ada hujan, tak ada petir, tiba-tiba sejumlah elit politik mewacanakan penundaan pemilu. Sama halnya dengan ide perpanjangan masa jabatan presiden, isu terus digoreng, dikapitalisasi dan disetting agar terus menjadi topik pembicaraan.

Di lain sisi, ada sejumlah isu besar yang sedang menyelimuti jagat media massa nasional, khususnya seputar proyek IKN yang menjadi sorotan lantaran sejumlah investor menyatakan mundur. Kaburnya soft bank pun masih menjadi tanda tanya besar karena proyek dipastikan akan kehilangan modal potensial hingga seratus miliar dolar.

Sayangnya, isu seputar IKN menghilang seiring kemunculan wacana penundaan pemilu 2024. Hal yang dimungkinkan jika proyek IKN terus menjadi perdebatan publik, terbongkarnya fakta baru yang bisa saja akan berdampak pada realisasi megaproyek tersebut.

Sehingga, para elit pro penundaan pemilu perlu mengambil tindakan cepat agar isu-isu sensitif IKN tidak menjadi konsumsi publik. Dengan demikian, perlu ada pengalihan isu.

Mirip strategi Sun Tzu: Mengecoh langit menyeberangi lautan. Elit politik mencoba mengalihkan perhatian publik dari titik utama persoalan, dengan menciptakan isu baru yang tak kalah menghebohkan. Tujuannya, menyembunyikan agenda tertentu seaman mungkin.


Mengejar Elektoral-Efek Ekor Jas (Coat Tail Effect)

Pemilu 2024 terhitung masih dua tahun lagi. Meski begitu, elit politik sudah mulai membangun image guna meraih simpati rakyat dengan menggunakan berbagai macam media. Menurut hasil survei, ada beberapa nama bakal calon presiden potensial di 2024.

Dari sekian klaster bacapres, kepala daerah paling sering muncul dan bertengger di posisi atas hasil survei. Adapun, kompetitornya ketum parpol dan elit parpol lain. Akan tetapi, klaster ini belum mampu bersaing karena elektabitas masih jauh di bawah bacapres dari kalangan kepala daerah.

Ketum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar merupakan dua tokoh parpol pro penundaan pemilu (Inisiator) yang telah menyatakan keinginan maju sebagai bacapres dengan tingkat elektabilitas yang masih minimum.

Maka, dimungkinkan untuk mendongkrak elektabilitas, kedua tokoh mencoba mengeksploitasi wacana penundaan pemilu yang dihembus Opung Luhut. Targetnya, meraih popularitas dan dukungan dari pemilih Presiden Jokowi (efek ekor jas) yang "disimpulkan" mendukung penambahan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu.

Sebab, berdasarkan hasil survei yang dirilis sejumlah lembaga, ada sekitar 60 persen suara responden yang puas dengan kinerja Jokowi. Sementara itu klaim Opung Luhut ada 110 juta orang yang mendukung penundaan pemilu. Kelompok suara inilah yang sedang menjadi rebutan para elit penyembur isu tiga periode-penundaan pemilu.

Aji mumpung, ketimbang tak jadi Capres atau bahkan suara parpol melorot pada Pemilu 2024, sekalian saja Jokowi tiga periode atau pemilu ditunda. Minimal, jatah menteri tidak berkurang dan persiapan untuk mengerek elektabiltas akan semakin panjang.

Ketum PAN Zulkifli Hasan juga tak luput dari pengaruh hembusan angin penundaan pemilu. Demi menunjukkan loyalitas dan komitmen koalisi, PAN terbuai dan akhirnya menyatakan sikap mendukung.


Opung Luhut Jadi Perdana Menteri

Untuk menggolkan wacana penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden, satu-satunya pintu masuk adalah melalui Amandemen UUD 1945. Maka tak heran, Opung Luhut dan elit politik pro penundaan tengah giat melobi kanan-kiri.

Dan jika ini terjadi, maka bukan tidak mungkin pembahasan juga akan melebar dari isu besar tadi, dimungkinkan akan ada perubahan dalam sistem pemerintahan selanjutnya. 

Perubahan sistem pemerintahan presidensial menuju sistem parlementeri, dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Dalam sistem tersebut presiden hanya akan seperti tukang lantik dan tukang stempel, sementara yang menjalankan pemerintahan adalah perdana menteri.

Menengok sistem ini, maka singapura merupakan salah satu negara jiran yang cukup sukses menggunakannya, dengan meritokrasi menjadi model yang diterapkan di negara tersebut. Dari sini, bukan tidak mungkin Opung Luhut terinspirasi.


*Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA)

Baca Juga:

Berita terkait
DPD Siap Jadi Palang Pintu Hadang Penundaan Pemilu, LaNyalla: Tak Ada Urusan dengan Oligarki
LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan lembaga yang dipimpinnya siap menjadi palang pintu untuk menghadang wacana penundaan pemilu.
Komite I DPD RI Tolak Penundaan Pemilu 2024 dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden
Perpanjangan masa jabatan Presiden dan penundaan Pemilu 2024 dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan konstitusi negara Indonesia.
Kelompok Buruh Tolak Wacana Penundaan Pemilu 2024
Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Dedi Hardianto, secara pribadi menolak wacana penundaan Pemilu 2024.
0
FAO Apresiasi Capaian Kinerja Pertanian Indonesia
Kepala Perwakilan FAO, Rajendra Aryal mengapresiasi capaian kerja yang dilakukan jajaran Kementerian Pertanian selama tiga tahun terakhir.