Oleh: Agung SS Raharjo, MPA
Mendenkonstruksi pemaknaan pangan hanya dibatasi persoalan ketersediaan, dengan beragam kebijakan distribusi, aksesibilitas, produksi, namun nir konstruksi pemberdayaan dan pembangunan justru hanya akan menumpuk persoalan baru ditingkat masyarakat bawah.
Banyak negara yang telah mengalami persoalan pengelolaan pangan, pada era tahun 1970-1980 an, karena menghadapi krisis pangan global. Di sinilah kemudian negara secara dominan mengambil peran dalam pengurangan jumlah penduduk rawan pangan.
Konsep ketahanan pangan dikenalkan sebagai sebuah sistem yang berfokus pada aspek ketersediaan pangan berskala nasional (Foster,1992)
Namun demikian prakarsa penguatan pangan, baik dari sisi pilar ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan, ternyata menemui sebuah persoalan baru. Memang pada sebagian persoalan pangan dapat tertangani secara efektif, akan tetapi pada titik dimana ketersediaan pangan tersedia berlimpah disaat bersamaan kelaparan atau kondisi rawan pangan masih saja ditemui cukup tinggi.
Angka kemiskinan, yang di drive salah satunya oleh persoalan akses pangan, tidak serta merta kemudian menurun tatkala penyediaan pangan dipenuhi secara memadai.
- Baca Juga: Opini: Bencana dan Habituasi Pangan
Konsep penyediaan pangan saat itu tidak lain adalah meletakkan negara sebagai instrument formal penyediaan pangan pada level makro. Sehingga negara bergerak secara proaktif dalam penyediaan pangan dengan pendekatan kalkulasi kebutuhan yang harus disediakan secara nasional.
Artinya bahwa saat negara memiliki stok cadangan yang memadai maka dapat dipastikan potensi rawan pangan akan dapat dicegah dan diatasi.
Ekspansi Perspektif
Kita menyadari bahwa Negara tidak bisa selalu menjadi “aktor tunggal” dalam penyelesaian masalah pangan. Bahkan mungkin sangat mustahil menyelesaikan sendirian.
Memang, dalam hal ini, negara lah yang memiliki modalitas sumber daya paling lengkap dibanding sektor dan stakeholder lain. Tentunya dengan beban kewenangan serta tanggung jawabnya yang melekat didalamnya.
Namun, demikian perlu dipahami bahwa entitas subjek dari persoalan pangan sendiri tidak lain adalah individu-individu mandiri ditengah masyarakat. Sehingga pembagian tentang peran dan tanggung jawab harus terderivasi sampai level komunitas atau kelompok masyarakat.
Pilar ketahanan pangan yang diidentifikasi meliputi aspek ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan harus dihimpun dan diletakkan dalam konstruksi makna penguatan pangan yang lebih luas.
Bahwa bukan persoalan teknis produksi, pengolahan, dan logistik (supply chain) saja yang harus diurusi namun juga memuat didalamnya wawasan persoalan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Hal inilah yang sebenarnya tidak kalah subtantif dalam penyelesaian persoalan ketahanan pangan. Belum kemudian persoalan persepsi yang memicu deprivasi kepemilikan sumber produksi dengan ditandainya maraknya alih fungsi lahan.
Disadari atau tidak bahwa cara sebagian masyarakat dalam mencari nafkah menemui cara yang berubah. Lahan-lahan produktif pangan diperjualbelikan dalam koridor hubungan mutualisme antar aktor ekonomi yang kuat.
Relasi-relasi patron clien barangkali menjadi tidak relevan lagi untuk beberapa wilayah yang cenderung membangun relasinya atas dasar keuntungan-keutungan ekonomi yang saling dipertimbangkan.
Satu pertanyaan mendasar seberapa kuat negara menjadi aktor yang mendominasi penyelesaian masalah pangan? Tentunya akan muncul beragam argumentasi yang bisa diajukan.
Namun demikian, dalam konteks ke Indonesiaan, negara harus menjadi media dalam memunculkan dan menguatkan modal sosial (social capital) atau social solidarity ditengah masyarakat. Persoalan pangan harus didekatkan penyelesaiannya dalam koridor nilai-nilai sosial budaya yang ada tidak semata dengan pendekatan program praktis taktis.
Meski pada sebagian kondisi bantuan tersebut dirasa efektif namun sebenarnya harus melekat didalamnya serangkaian aktivitas pembinaan dan pemberdayaan.
Dalam banyak kajian, pendekatan gender dalam proses penyelesaian masalah pangan pun memiliki satu titik potensi tertentu. Artinya bahwa ada aktor/individu yang dapat dibentuk menjadi agen perubahan melalui proses internalisasi konsep diitingkat keluarga atau masyarakat terkait dengan penguatan ketahanan pangan.
Hal-hal semacam inilah yang sudah semestinya menjadi bagian orientasi penting dan strategis kebijakan pangan kedepan dalam menggapai kedaulatan pangan.
Persoalan pangan harus dapat didekatkan pada varian penyelesaian yang beragam, tak harus seragam antara satu persoalan dengan persoalan lainnya.
Diversifikasi pangan adalah salah satu contoh dalam hal upaya penyediaan pangan beragam dengan menyesuaikan potensi alam dan kearifan lokal.
Entitas Makna
Beragam program penguatan pangan, akan terasa hampa dan hambar tatkala pemerintah hanya berhenti pada angka-angka anggaran yang tidak memberikan efek sosial ekonomi berbasis pemberdayaan.
Kita memang tidak bisa menutup mata, bahwa sebagian proses produksi pangan kita akan menyerap dana-dana tersebut untuk pemenuhan kebutuhan alat-alat produksi ataupun kebutuhan lainnya.
Tentu hal ini juga memiliki nilai vitalitas tertentu dan harus diakui sebagai sebuah kebutuhan. Kemajuan teknologi harus dapat dinikmati dan dimanfaatkan dalam mendukung peningkatan dan penguatan pangan.
Meski dalam konteks pengetahuan keilmuan tertentu, mekanisasi pertanian telah memunculkan perdebatan tersendiri diruang akademik maupun hanya sekedar obrolan diwarung kopi. Akan tetap hal demikian ini merupakan satu hal biasa dalam menyikapi sebuah perubahan.
Bagi kita yang masih menyakini pendekatan strukturalisme instrumental, relasi perubahan yang hadir ditengah- tengah masyarakat akan dengan sendirinya mengalami titik keseimbangan dan ketenangan.
Perjalanan sejarah tentang pangan dapat dianggap sama tuanya tatkala berbicara tentang model mode of production. Yaitu persoalan bagaimana model dan rules ekonomi berproduksi dengan kekhasan dan karakteristinya masing-masing.
Bagi sebagian negara-negara berkembang, keberadaan sektor pertanian menjalani dan mengalami sebuah proses perubahan cukup revolusif. Dari sebuah struktur sosial yang masih cukup sederhana hingga menemui semua era mekanisasi yang begitu revolusioner.
Pangan adalah entitas sosial budaya. Pangan berkaitan dengan konstruk kebijakan politik pangan yang dengannya haluan pembangunan pertanian ditentukan. Pangan juga bercerita tentang individu dan negara disaat yang bersamaan.
Pangan pun berkelindan dengan persoalan eksistensi ekosistem alam. Kita pun bisa mengkaitkanya dengan budaya waris lahan dalam jalur keturunan. Masih banyak lainnya yang menandai kompleksitas urusan pangan tersebut.
Oleh karena itu, membaca ketahanan pangan tidak lain adalah membaca kehidupan secara utuh menyeluruh. Dalam kerangka sudut pandang yang komprehensif tidak parsial.
*ASN Kementerian Pertanian