TAGAR.id - Perempuan pengungsi Rohingya semakin menjadi sasaran para pelaku perdagangan manusia, dengan dijanjikan kehidupan yang lebih baik di Kashmir, India. Rifat Fareed melaporkannya untuk DW.
Mujeeba (nama disamarkan) adalah seorang perempuan Rohingya yang tinggal di sebuah desa kecil di distrik Anantnag, dim wilayah Kashmir yang dikuasai India. Satu dekade yang lalu, saat dia berusia 20 tahun, Mujeeba diperdagangkan dari sebuah kamp pengungsi yang penuh sesak di Cox's Bazar, Bangladesh.
Mujeeba mengatakan bahwa para pelaku perdagangan manusia itu mengiming-iminginya janji kehidupan yang lebih baik di Kashmir dan pernikahan dengan seorang pria yang "mapan".
"Saya dulu penuh dengan mimpi dan semangat, sekarang ini saya sedang berjuang dengan kesehatan mental saya," kata Mujeeba, seraya menambahkan bahwa hidupnya kini justru menjadi terbalik.
Para pelaku memaksa Mujeeba untuk melakukan perjalanan yang sulit melalui jalan darat dan kereta api dari kamp pengungsian di Bangladesh ke sebuah desa kecil di Kashmir. Butuh waktu lebih dari satu minggu baginya untuk mencapai Kashmir, katanya.
"Selama perjalanan, saya dilecehkan, dianiaya dan diawasi dengan ketat. Bersama saya, ada tiga gadis lain yang mengalami hal serupa," kata Mujeeba kepada DW. Dia juga mengatakan bahwa, "Kejadian itu masih menghantui saya di malam hari.
'Saya menghadapi diskriminasi dan pelecehan'
Setelah tiba di Kashmir, para penyelundup menjual Mujeeba dengan harga sekitar 1.000 dolar Amerika Serikat/AS (sekitar Rp15 juta) kepada seorang buruh yang berusia 13 tahun lebih tua darinya dan cenderung melakukan kekerasan. Mujeeba kemudian dinikahkan dengan pria tersebut.
"Selama seminggu, saya ditahan di rumah orang yang membawa saya ke Kashmir. Kemudian seorang pria yang mengenakan pakaian baru datang bersama orang tuanya dan saya dinikahkan dengannya di rumah itu," ungkapnya.
Mujeeba mengatakan bahwa saat itu dia merasa sangat ketakutan. "Saya tidak mengerti apa-apa. Saya tidak punya pilihan lain selain patuh," kata Mujeeba.
Sejak saat itu, dia harus berjuang bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. "Saya tidak memiliki kontak dengan keluarga saya. Saya merasa sendirian di sini tanpa ada yang berduka bahkan jika saya meninggal," tambahnya.
"Saya menghadapi diskriminasi dan pelecehan. Suami saya menjadi sangat agresif dan meneriaki saya bahkan untuk hal-hal kecil," katanya, seraya menambahkan bahwa mertuanya juga tidak ramah dan berlaku kasar kepadanya.
Banyak kasus perdagangan manusia lainnya
Kasus Mujeeba bukanlah kasus satu-satunya. Tiga perempuan Rohingya lainnya juga mengisahkan hal serupa. Kepada DW, mereka menceritakan tentang bagaimana mereka diperdagangkan ke Kashmir dan berakhir dengan pernikahan yang tidak diinginkan. Mereka meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut reaksi keras dari masyarakat setempat dan juga pihak berwenang, di mana pemerintah India menganggap mereka sebagai imigran gelap.
Saat ini ada lebih dari 40.000 orang Rohingya yang tinggal di India, hampir 6.000 orang di antaranya berada di kamp-kamp pengungsi Jammu. Selama lima tahun terakhir, pemerintah India telah mencoba untuk mendeportasi warga Rohingya.
New Delhi menggambarkan mereka sebagai ancaman keamanan negara dan menuduh mereka memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok ekstremis Muslim. Lebih dari 200 warga Rohingya telah ditahan di berbagai pusat penahanan di seluruh India, menurut laporan media setempat.
Kementerian Dalam Negeri India menyatakan bahwa "warga asing ilegal" akan ditahan di pusat penahanan sampai mereka dideportasi ke Myanmar. Seorang pejabat senior kepolisian di Kashmir mengatakan kepada DW bahwa para pelaku penyelundup manusia itu terus membujuk para perempuan Rohingya dengan menjanjikan kehidupan yang lebih baik.
"Para perempuan itu sering dinikahkan dengan pria yang lebih tua atau yang sudah bercerai atau duda," kata pejabat itu, yang tidak mau disebutkan namanya karena tidak berwenang untuk berbicara kepada media.
Pejabat itu mengatakan bahwa perdagangan manusia terus berlanjut meskipun ada tindakan keras dari pemerintah. "Ada banyak uang yang terlibat dalam perdagangan manusia ini. Jaringannya sangat besar," ungkapnya.
Perempuan Rohingya menghadapi ‘berbagai tingkat kerentanan'
Rohingya merupakan kelompok minoritas Muslim yang sebagian besar berasal dari negara bagian Rakhine, Myanmar. Mereka telah menghadapi penganiayaan dan tindakan kekerasan selama puluhan tahun di negara asal mereka.
Sekitar 730.000 warga Rohingnya melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar setelah insiden penumpasan militer Myanmar pada tahun 2017. Mereka bergabung dengan orang-orang lainnya dari gelombang pengungsian sebelumnya.
Banyak dari mereka kini tinggal di gubuk-gubuk bambu dan terpal di kamp padat pengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh tenggara.
Tarushikha Sarvesh, asisten profesor di Departemen Studi Perempuan Universitas Muslim Aligarh, mengatakan kepada DW bahwa Rohingya adalah salah satu populasi pengungsi yang paling teraniaya di dunia.
"Hal ini menunjukkan kerentanan mereka terhadap eksploitasi, dan jika dilihat dari sudut pandang dinamika gender, kondisi perempuan Rohingya sangatlah rentan," katanya.
"Pengungsi perempuan Rohingya menanggung beban ekstra karena mereka tidak hanya menjadi pengungsi, tetapi juga sebagai perempuan yang berasal dari komunitas etnis minoritas," tambah Sarvesh. "Dalam kasus perempuan Rohingya, berbagai tingkat kerentanan membuat mereka menjadi sasaran empuk." (kp/hp)/dw.com/id. []