Untuk Indonesia

Opini: Etika dan Kekuasaan Pemikiran Emile Durkheim dalam Ranah Politik

Opini: Etika dan Kekuasaan Pemikiran Emile Durkheim dalam Ranah Politik. Oleh: Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Unpar.
Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan. (Foto dok pribadi)

Oleh: Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan

1.Konsep Manusia

Dalam literatur sosiologi Perancis, Emile Durkheim dikenal sebagai bapak teori Kerukunan Sosial, yang dewasa ini tetap mendominasi upaya ahli-ahli sosial untuk mengabsahkan Sosiologi Moralitas yang dibutuhkan untuk membentuk suatu tatanan masyarakat dalam konsep Negara-Bangsa-Modern dengan paduan etika dan moralitas yang mendukung ide integrasi individu atau person dalam sebuah negara bangsa. Hal ini bertujuan agar kemudian manusia-manusia modern memahami perasaan dan harkat manusia lain. Konsep pembangunan moral dimaksudkan Emile guna membangun peradaban manusia yang humanis, nasionalis, dan patriotik. Dalam kehidupan berpolitik, membangun moralitas merupakan sesuatu yang mutlak guna mencapai tujuan bersama, sebagaimana tujuan akhir dari politik itu sendiri. Politik dan nilai-nilai etika yang bersifat normatif merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Term etika (filsafat moral) dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi dasar seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika memberikan dasar moral kepada politik. Menghilangkan etika dari kehidupan politik berimplikasi pada praktek politik yang bersifat Machavellistis, yaitu politik sebagai alat untuk mnelakukan segala sesuatu, baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan, norma daan berlaku seakan bernuansa positivistik (bebas nilai).

Pendidikan bertujuan bukan hanyamembentuk manusia yang cerdas otaknya dan trampil dalam melaksanakan tugas, namun diharapkan menghasilkan manusia yang memiliki moral, sehingga menghasilkan warga negara yang baik. Oleh karena itu pendidikan tidak semata-mata mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi juga mentransfer nilai-nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Durkheim mengemukakan: bahwa pondasi sekolah mempunyai fungsi yang sangat penting dan sangat khusus untuk menciptakan makhluk baru, yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Perspektip pemikiran Erving Goffman (EG) tentang gagasan tentang diri, identitas, dan performansi, yang antara lain sebagai berikut:

1)Gagasan pertama dan yang paling sentral adalah, bahwa diri merupakan sebuah produk sosial. Dalam gagasan ini, ada dua makna yang dipikirkan EG. Pertama, diri adalah produk dari performa demi performa, yang individu peragakan di dalam situasi-situasi sosial. Dengan ini maka, bagi EG, sama sekali tidak ada sesuatu yang tinggal di dalam diri seseorang, yang menanti untuk diekspresikan dalam situasi-situasi sosial. Kedua, meskipun individu berperan aktif dalam merancang performa-performa yang menunjukkan diri (self-indicating performances), namun individu juga terbatasi untuk mempresentasikan gambaran-gambaran diri yang bisa didukung secara sosial dalam konteks suatu hierarkhi sosial yang terberikan. Jadi, diri adalah sebuah produk sosial dalam artian, ia bergantung pada validasi yang diberikan atau ditahan, sesuai dengan norma-norma dari suatu masyarakat yang terstratifikasi;

2)Gagasan utama kedua adalah, soal sampai sejauhmanakah individu mampu mempertahankan suatu gambar diri yang dapat dihormati orang lain. Menurut EG, derajat kemampuan seseorang tergantung kepada akses kepada sumber-sumber daya struktural dan kepemilikan atas sifat-sifat serta atributatribut yang dipandang diinginkan sekali oleh kultur dominan. Beberapa sumber yang ditemukannya menunjang suatu gambaran diri yang terhormat adalah harta, privasi dan otonomi. Sementara soal sifat-sifat dan atribut-atribut, bagi EG, yang dicari untuk dipertahankan dalam diri adalah “traits and attributes deemed by the dominant society to be requisite of full-fledged humanity”;

3)Gagasan selanjutnya adalah, pandangannya tentang hakikat kehidupan sosial. Di sini, ia memakai metafora-metafora drama, ritual dan permainan, sebagai alat untuk menunjukkan baik aspek manipulatif maupun moral dari kehidupan sosial. Moralitas, menurut EG, tidak berdiam di dalam diri orang atau di atasnya,melainkan dibuat (manufactured) melalui performa dan ritual-ritual interaksi yang didisain untuk meneguhkan martabat manusia. Di pihak lain, apa yang tampak manipulatif dan melayani diri sendiri dalam memperbesar gambar diri di hadapan orang lain adalah, cara yang paling hakiki dalam mana orang berkomitmen kepada tatanan moral masyarakat;

4)Gagasan terakhirnya adalah, bahwa pengalaman sosial diatur oleh “kerangka” atau prinsip organisasi yang mendefinisikan makna dan arti dari peristiwa-peristiwa sosial. Dengan ini, EG, menurut Branaman, berpendapat bahwa kejadiankejadian, tindakan-tindakan, performa-performa dan diri-diri tidak selalu berbicara untuk dirinya sendiri melainkan tergantung pada kerangka yang memberinya suatu makna. Meski begitu, individu tetap tidak bebas untuk mengkerangkakan pengalaman sesukanya. EG menekankan bahwa kerangka dipaksa atau diharuskan (constrained) oleh struktur sosial dan organisasi sosial.

Memahami dari hal diatas, manusia merupakan aktor yang menampilkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu melalui drama yang dilakukannya.

Aristoteles mengemukakan: manusia sebagai makhluk politik (zoon politicon), makhluk komunitas Nietzche, Max Weber dan Hans Monrgenthau barangkali adalah orang orang pertma yang memahami sebutan makhluk politik (secara esensial) adalah makhluk yang mencari kekuasaan. Dan jika kita ingin mencari dan membahas konsep kekuasaan maka kita tidak dapat terlepas dari penilaian atas kekuasaan di dalam politik yang selalu bergantung secara fundamental pada pandangan tertentu tentang manusia.

Konsep manusia sebagai makhluk politik menunjukkan bahwa pemikiran politik yang berkaitan dengan proses dan hasil dari kegiatan politik dalam suatu pemerintahan berdasarkan kepada esensi manusia. Hal ini berarti manusialah yang semestinya menjadi kriteria dari suatu dinamika sosial dan politik yang terjadi. Walaupun dalam politik orang bisa saja meremehkan fakta bahwa pada dasarnya manusia itu ambivalen, maka kekuasaan dimanapun dan kapanpun tidak hanya digunakan dengan baik tetapi juga sering disalahgunakan. Oleh sebab itu, sejak dulu manusia mengupayakan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan, terutama yang dilakukan oleh mereka para pemegang kekuasaan politik.

2.Etika Politik

Fungsi etika politik terbatas pada penyediaan pemikiran pemikiran teoritis untuk mempertanyakan dan menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab, rasional, objektif dan argumentatif. oleh karena itu tugas etika politik subsider dalam arti membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologi dapat dijalankan dengan objektif artinya berdasarkan argumen-argumen yang dapat dipahami dan ditanggapi oleh semua pihak yang mengerti permasalahan.

Bila dilihat dari perspektif seorang realis sejati, dimana dunia dilihatnya sebagai sebuah realitas yang terpecah atau terbelah. Kejahatan dan kebaikan bercampur aduk dalam diri. manusia. Jika pada dasarnya manusia adalah jahat, maka tak mungkin ada pemerintah. Kemudian, jika semua manusia adalah baik, maka tak perlu ada pemerintahan. Jadi harus diakui bahwa manusia sejati adalah makhluk yang kompleks dan ambivalen, berada di tengah-tengah antara jalan akal budi dan tak berakal budi, antara baik dan jahat, campuran antara egoisme dan kebaikan. Dengan ambivalensi itu manusia dapat mempergunakan kekuasaan dengan baik atau buruk, baik dalam hal-hal kecil maupun dalam hal-hal besar, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kancah politik (Hans Kung).

Berdasarkan pemikiran tersebut, etika menjadi tantangan bagi politisi, perlunya etika politik sebagai pengendalian kekuasaaan politik dan penyalahgunaan kekuasaan.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka timbul pertanyaan: Apakah kekuasaan itu? Secara umum, kekuasaan adalah kompetensi, kemungkinan atau kebebasan untuk menentukan sesuatu, orang atau lingkungan lain. Atau menurut definisi sosiolog klasik Max Weber, kekuasaan adalah setiap kesempatan untuk menetapkan kehendak diri sendiri dalam sebuah hubungan sosial meskipun dihadapkan pada sebuah perlawanan, tak masalah apapun basis kesempatan itu. Dengan demikian setiap sifat orang dapat dipahami dan setiap konstelasi dapat pula dipahami. Dengan asumsi ini akan mudah mengarahkan dan memposisikan seseorang sesuai dengan ketetapan kehendaknya sendiri dalam situasi tertentu (Winkelman).

Dengan demikian kekuasaan dan kekuasaan politik dalam arti luas, sebenarnya adalah sebagai ungkapan sifat dasar manusia yang kedua-duanya sama mengalami ambivalensi: Artinya, di satu sisi kekuasaan manusia dapat digunakan untuk kebaikan, dengana cara yang betul betul yang manusiawi, baik untuk kemakmuran mereka yang berkepentingan, untuk mereka yng berada di sekitar kekuasaan tersebut dan lingkungannyaa. Kemudian di sisi lain kekuasaan manusia bisa juga digunakan untuk kejahatan, melalui cara yang tidak manusiawi dan tidaka mengenal prikemanusiaan, baik dengan sengajaa untuk merugikan mereka yang berkepentingan maupun untuk mereka yang ada di sekitarnya dan lingkungannya. Kekuasaan yang tak berprikemanusiaan ini lebih sering muncul malah menjadi yang biasa.

3.Negara Demokrasi

Negara demokrasi pastilah berkaitan dengan bentuk pemerintahan yang didasarkan pada konstitusi atau aturan main perundang-undangan yang berarti dibatasinya kekuasaan para pemimpin dan lembaga-lembaga pemerintahan, dan pembatasan ini ditegagkan melalui prosedur yang sudah mapan. Etika adalah filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Bagaimana seseorang harus hidup, dibicarakan dalam moral; sedangkan etika hendak mengkaji tentang mengapa seseorang harus mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana ia mengambil sikap yang bertanggung jawab ketika dihadapkan pada berbagai ajaran moral. Kebebasan dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu kebebasan sosial politik dan kebebasan individual. Subjek kebebasan sosial politik adalah bangsa atau rakyat, sedangkan kebebasan individual adalah manusia perorangan. Kebebasan tidak bersifat absolut atau mutlak, tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan baik kepada Tuhan, negara, masyarakat, dan dirinya sendiri.

Pada dasarnya etika merupakan pilihan intelektual baik berdasarkan pendekatan ideal maupun material. Apabila kita cermati di aras nasional dengan internasional, etika menjelama sebagai hukumhukum yang memiliki impak poltik. sedangkan di aras mikro. individual atau komunal, etika memiliki impak moral. meskipun dalam kenyataannya sering berbaur, namun pada dasarnya etika di aras tinggi merupakan hukum dengan sankis-sanksi kongrit, sedang di aras tendah etika merupakan moralitas dengan sanksi-sanksi batin. Namun pilihan ragam ragam etika mana yang dianut (moral) dan diterapkan (hukum) dalam kaca mata politik jelas bersifat bercorak ideologis.

4.Tahun Politik di Indonesia

Fenomena saat ini menuju politik tahun 2024, Penulis memandang secara perspektif akademisi: kedepannya Bangsa Indonesia akan dihadapkan pada manuver-manuver khas politisi yang lumrah terjadi. Lobi-lobi dari kelompok elit seakan menjadi pertunjukkan yang dengan bangga dipertontonkan oleh kelompok kepentingan menjelang tahun politik. Pemberitaan politik dalam media massa dan media sosial juga menjadi perbincangan hangat oleh publik. Menariknya, upaya-upaya dari kelompok kepentingan dalam meraup simpati publik menjelang pesta demokrasi seringkali diikuti oleh perilaku immoral dari pejabat publik pasca tahun politik usai. Perbuatan immoral pejabat publik disebabkan ketamakan dari individu atau kelompok kepentingan yang haus dengan kekuasaan, atau loyal terhadap keluarga dan kroni-kroninya. Political cost yang besar jelas membebani elit politik untuk dapat menarik investor politik dalam proses pencalonannya. Akan tetapi, jenis immoralitas yang paling mengejutkan dalam jabatan publik seringkali ditampilkan dalam wajah yang lebih luhur. Bahwa tindakan immoralitas tersebut dilakukan untuk melayani kebaikan kepada masyarakat, sesuatu yang terkesan omong kosong, namun sah dalam dinamika politik yang terjadi. []

Berita terkait
Opini: Apa yang Dapat Dipelajari Oleh Pemasar Aplikasi Lokal dari Kesuksesan China?
Era seluler telah benar-benar tiba dengan baik. Di Asia Tenggara saja, jumlah pengguna ponsel pintar diperkirakan mencapai 342 juta pada tahun ini.
Opini: Candu Kekuasaan Jokowi
Itu suatu luapan kekecewaan dan kemarahan berlebihan, yang segera diredam Megawati Soekarnoputri
Opini: Dekonstruksi Keadilan yang Bermartabat
Bicara ber-keadilan scenderung terjadi konflik dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat mengganggu jalannya perubahan masyarakat.
0
Opini: Etika dan Kekuasaan Pemikiran Emile Durkheim dalam Ranah Politik
Opini: Etika dan Kekuasaan Pemikiran Emile Durkheim dalam Ranah Politik. Oleh: Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Unpar.