Zaki Nabiha*
Bergerak selama 90 menit di lapangan seluas 7 sampai 8 ribu meter persegi tentu membutuhkan energi yang besar. Terlebih, atmosfer emosi ribuan penonton di stadion yang bergemuruh, semakin memeras keringat dan kalori.
Kita tidak bisa membayangkan, jika Piala Dunia 2022, kasta tertinggi turnamen sepak bola antar negara itu tetap dilaksanakan pada bulan Juni, seperti tradisi pelaksanaan piala dunia sebelum-sebelumnya.
Suhu Qatar di bulan Juni biasanya mencapai 35 sampai 41 derajat Celcius. Kondisi ini tentu merugikan bagi negara-negara Sub-tropis. Disamping menghadapi lawan, mereka dipastikan kewalahan berjuang melawan sengatan panas sepanjang pertandingan.
Walaupun sepak bola merupakan permainan tim, tapi setiap pemain dituntut memiliki fisik prima. Hal tersebut merupakan salah satu yang menentukan bagaimana hasil akhir permainan.
- Baca Juga: Opini: UGM Berduka, Pilrek UGM 2022
Oleh karena itu, pemilihan asupan nutrisi dan gizi pesepak bola yang tepat, pun dalam jumlah dan waktu yang tepat, menjadi kunci kemenangan di lapangan.
Lionel Messi, bintang lapangan penerima 7 kali Penghargaan Ballon d'Or misalnya. Untuk urusan makanan, pemain asal Argentina ini mempercayakan sepenuhnya kepada Giuliano Poser, ahli gizi berkebangsaan Italia.
Menurut Poser, sejak tahun 2014, Leo, biasa Messi dipanggil, menghindari minuman bersoda dan Pizza. Bahkan, Messi juga tidak diperbolehkan mengonsumsi daging secara berlebih.
Padahal, orang-orang Argentina terkenal dengan kegemarannya memakan aneka makanan berbahan daging. Sehingga oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Argentina dinyatakan sebagai negara yang paling banyak mengonsumsi daging. Konsumsi rata-rata daging Argentina 49 kg per orang per tahun, sementara, Indonesia hanya 2,2 kg.
Poser juga menjelaskan bahwa untuk menunjang performa di lapangan hijau, setidaknya ada 5 jenis makanan yang harus dikonsumsi Messi, yaitu biji-bijian, minyak zaitun, air putih, buah segar dan sayur segar.
- Baca Juga: Opini: PMK Melanda, Iduladha Bagaimana?
Namun, perlakuan pola makan Messi seperti itu tidak bisa diterapkan kepada pemain lain. Kebutuhan nutrisi setiap pemain sepak bola didasarkan pada pada berat badan, tinggi badan, persentase lemak tubuh, dan posisi di lapangan.
Dalam satu pertandingan, pemain yang menempati posisi sebagai gelandang, terutama gelandang tengah, biasanya menempuh jarak lari rata-rata paling jauh.
Pasalnya, mereka menjadi penghubung antara lini pertahanan untuk memutus serangan musuh dan merancang penyerangan ke daerah pertahanan lawan.
Jarak lari rata-rata seorang gelandang mencapai 12 sampai 13 km, sedangkan bagi seorang penyerang, contohnya Messi, dalam setiap pertandingan mencapai 8 sampai 9 km.
Ini berarti bahwa pola makan, kebutuhan nutrisi serta intensitas latihan bagi Luka Modric, gelandang berkebangsaan Kroasia, sangat berbeda dengan Messi.
Bagi orang awam, apalagi kalangan pemain sepak bola profesional, mengkonsumsi makanan sehat dan begizi merupakan investasi. Namun, di Indonesia, seperti laporan tim jurnalisme data harian Kompas menunjukkan bahwa ada sekitar 183,7 jiwa orang atau 68 persen dari populasi total penduduk ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian mereka.
Menurut Bank Dunia (2020) dalam laman ourworldindata.org yang dikutip Kompas (10/12), Indonesia menjadi negara ketiga dengan jumlah penduduk terbanyak yang tidak dapat mengakses pangan gizi berimbang.
Di peringkat pertama adalah India dengan 973 juta jiwa atau 70,5 persen, dan Nigeria ada di peringkat kedua dengan jumlah penduduk yang tidak dapat mengakses pangan gizi berimbang sebanyak 197 juta jiwa atau 95,9 persen dari total populasi.
Upaya Pemerintah dalam membuka akses seluas-luasnya dalam pemenuhan gizi masayarakat sebetulnya sudah dilakukan, salah satunya oleh Kementerian Pertanian melalui pemanfaatan pekarangan rumah dengan menggulirkan program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) atau sekarang menjadi Pekarangan Pangan Lestari (P2L).
Tujuan KRPL dan P2L hampir sama yaitu agar masyarakat dapat melakukan upaya diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, sekaligus melestarikan tanaman pangan untuk masa depan serta tercapai peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Artinya, bukan hanya kebutuhan pangan gizi tercukupi tapi juga ada nilai ekonomi, menambah pendapatan keluarga.
Dampak program pemanfaatan lahan pekarangan berdasarkan hasil penelitian Saptana dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) Kementan menunjukkan bahwa program tersebut mampu meningkatkan konsumsi energi dan konsumsi protein bagi rumah tangga petani peserta secara nyata, mengurangi pengeluaran untuk konsumsi pangan, meningkatkan pendapatan, dan merangsang tumbuhnya ekonomi produktif di pedesaan.
Sayangnya, beberapa permasalahan yang kerap ditemukan dalam pemanfaatan pekarangan masih banyak ditemukan. Di Sumatera Barat, masih menurut Saptana, permasalahan tersebut diantaranya: produktivitas tanaman relatif rendah, penataan tanaman tidak teratur dan pemeliharaan belum optimal, mutu hasil panen relatif rendah, belum dilakukan pengolahan untuk memperoleh nilai tambah terutama komoditas buah-buahan.
Hal ini terjadi karena lemahnya kelembagaan (permodalan dan pemasaran), alih teknologi serta pembinaan oleh instansi terkait. Karena itu, pengembangan komoditas pada suatu kawasan yang didukung oleh inovasi teknologi perlu mendapat perhatian bukan hanya oleh Kementan.
Sehingga kolaborasi kolaborasi lintas sektoral menjadi hal yang mendesak agar akses pangan bergizi berimbang dan bernilai ekonomi bisa dengan mudah didapatkan dari pekarangan.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, dari pekarangan yang menghasilkan buah dan sayur, sumber pangan bergizi, justru calon bintang-bintang lapangan hijau yang berbakat dan spartan dilahirkan.
*ASN di Kementan