Ngejot, Tradisi Berbagi Saat Idul Fitri di Lombok

Ngejot adalah bentuk silaturahmi dengan cara saling berbagi rezeki. Tradisi ini ada di Desa Lenek, Kabupaten Lombok Timur
Warga berbondong-bondong berjalan keluar dari tiap sudut kampung untuk membawa dulang makanan. (Foto: Tagar/Dok.Paer Lenek/Harianto Nukman)

Lombok Timur - Ngejot adalah bentuk silaturahmi dengan cara saling berbagi rezeki. Tradisi ini ada di Desa Lenek, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Ngejot biasa dilakukan satu hari jelang Lebaran atau di momen Idul Fitri.

Ngejot berasal dari kata 'jot' yang dalam bahasa Sasak Desa Lenek berarti datang atau dalam bahasa Arab berarti silaturahmi. Ngejot itu sendiri berarti mendatangi atau bersilaturahmi.

Ketua Rumah Budaya Paer Lenek, Gunaria Sudarsa menjelaskan tentang tradisi Ngejot. Menurut Gunaria, Ngejot salah satu adat tradisi budaya yang biasanya dilakukan setelah selesai salat Idul Fitri.

Ngejot dilakukan dengan membawa berbagai macam makanan serta jajanan khas Paer Lenek dalam satu wadah dulang yang disebut sampak. Jika sedang memiliki rezeki berlebih ada juga warga yang membawa kain dan mukena yang ditaruh dalam sampak.

Sesajian itu kemudian dipersembahkan kepada kedua orang tua, mertua, tetangga terdekat, pemimpin, tokoh agama dan tokoh masyarakat.

Penyerahan sesaji dilakukan sekaligus dengan ucapan permintaan maaf kepada orang tua, mertua, keluarga dan atau kepada orang yang diberikan dulang.

"Mungkin dalam kehidupan sehari-hari ada salah dan khilaf, atau jarang berkunjung karena kesibukan masing-masing. Tujuannya untuk memperkukuh silaturahmi," terang Gunaria.

Kenapa masyarakat Desa Lenek dulu melakukan Ngejot setelah selesai Idul Fitri? Gunaria menyatakan karena dulu keadaan masyarakat tidak memiliki kompleksitas seperti sekarang ini.

Dulu masyarakat masih sangat terikat oleh adat istiadat, sehingga dalam menjalankan tradisi budaya harus sesuai dengan norma adat yang berlaku.

Salah satu misalnya Ngejot harus dilakukan dengan menggunakan sampak (dulang), karena dari estetika dan etika penyajian makanan kepada orang tua harus diperhatikan kalau tidak mau dikatakan kurang sopan atau bahkan tidak beradat.

Kemajuan teknologi dan transportasi juga menjadi salah satu alasan kenapa dulu Ngejot dilakukan setelah selesai salat Idul Fitri.

"Dulu angkutan masih sangat jarang. Apalagi alat komunikasi seperti handphone bisa dikatakan belum ada. Sehingga kalau Ngejot ke tempat yang lebih jauh, butuh waktu yang cukup lama karena ditempuh dengan berjalan kaki," ungkapnya.

Kemudian dari faktor keadaan ekonomi masyarakat dulu masih rendah sehingga tidak jarang ada juga masyarakat yang baru mulai memasak pada saat hari Lebaran atau bahkan tidak bisa memenuhi kebutuhan Lebaran pada saat itu.

"Itulah beberapa alasan kenapa dulu Ngejot dilakukan setelah salat Idul Fitri dan kenapa masyarakat Paer Lenek tetap mempertahankannya," katanya.

Selain untuk memperkukuh silaturahmi dan saling maaf memaafkan, nilai luhur dalam tradisi Ngejot juga bertujuan agar keluarga, kerabat dan tetangga bisa ikut merasakan kebahagiaan di hari yang fitri.

Tradisi berbagi dan saling memafkan itu menjadi suatu bentuk budaya silaturahmi yang paling ditunggu masyarakat, khususnya di Desa Lenek.

Pada praktiknya sekarang Ngejot dilakukan H-1 Lebaran dan setelah selesai salat Idul Fitri. Akan tetapi tidak merubah nilai-nilai atau esensi dalam tradisi Ngejot.

Festival Ngejot sendiri merupakan refleksi kearifan lokal masyarakat Paer Lenek. Festival digelar sebagai wadah untuk memperkenalkan adat tradisi budaya pada generasi selanjutnya.

Selain sebagai bentuk tanggung jawab masyarakat Paer Lenek sebagai pemilik dan pewaris adat tradisi budaya tersebut.

Harapan lainnya agar kesadaran untuk menjaga dan melestarikan tradisi budaya tertanam sejak dini, sehingga generasi Paer Lenek selanjutnya tetap dapat menapaki jejak leluhurnya yang sarat akan nilai agama dan kemanusiaan.[]

Baca juga:


Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.