New Normal dan Masyarakat Baru

New Normal tak akan berhasil tanpa didukung kesadaran masyarakat. Momentum menjadi masyarakat baru setelah pandemi Corona.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan keterangan pers virtual tentang perkembangan penanganan wabah virus corona Covid-19, dari Jakarta, Kamis (30/4/2020). (Foto: Antara/Yashinta Difa)

Oleh: Lestantya R. Baskoro

Kita segera bersiap memasuki “masa” new normal dengan berdebar-debar: semua akan menjadi baik atau sebaliknya. Pemerintah dengan gencar mengkampanyekan apa saja yang tengah dan akan terjadi begitu new normal “dibuka.” Aturan bepergian, aturan buka tutup mall, aturan pendidikan, dan sebagainya.

Orang-orang menyerbu supermarket dan memborong makanan dan hand sanitizer seolah-olah malaikat maut di depan mereka...

Inti semua aturan itu adalah agar kehidupan normal berjalan kembali dan, tak kalah penting, tak terjadi lagi gelombang pandemi Corona tahap dua.

Ini yang dikwatirkan. Kita tahu virus yang muncul dari kota Wuhan, China, pada Desember 2019 tersebut, belum ada penangkalnya. Sejumlah negara di dunia, terutama Amerika dan China berlomba menemukan vaksin anticorona ini. 

Presiden Amerika Donald Trump, negara yang penduduknya paling banyak tewas karena Covid-19 meyakinkan masyarakat dunia para ahli mereka segera menemukan vaksin anti Corona. Dalam konstelasi politik pernyataan Trump, tentu saja, sebagai pernyataan bahwa Amerika tetap sebagai negara paling unggul -juga dibanding China. Kita tahu di balik itu semua, siapa pun negera yang menemukan vaksin anti Cofid-19 ia sangat berpotensi mengeruk keuntungan dari hak paten atas antivirus ini.

Covid-19 telah membuat banyak negara –terutama yang selama ini bergantung pada negara lain- babak belur. Ekonomi hancur karena nilai ekspor merosot tajam. Pemerintah panik karena tidak siap dan tak memiliki sistem kesehatan yang memadai. “Pandemi Corona ini telah menunjukkan betapa rapuhnya sistem kesehatan kita,” kata Retna Hanani Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro, Semarang, dalam diskusi virtual yang diselenggarakan LP3ES, Jumat, 29 Mei 2020 lalu.

Dan kita mencatat sejarah: rumah sakit-rumah sakit kita banyak tak siap menerima pasien Covid-19; banyak orang yang akan memeriksa kesehatan di rumah sakit ditolak, diminta pergi ke rumah sakit rujukan korban Covid-19 karena semata perawat melihat pasien tersebut memiliki semacam gejala terkena virus Corona. Para dokter di rumah sakit tak memilik alat pelindung diri dan berpekan-pekan memakai jas hujan demi tak terinfeksi virus corona. Masyarakat berdemo dan menolak jenazah mereka yang meninggal karena virus corona, bahkan sekali pun belum dipastikan mereka kena virus itu, hanya karena protokol penguburannya memakai protokol pemakaman korban Corona. Orang-orang menyerbu supermarket dan memborong makanan dan hand sanitizer seolah-olah malaikat maut di depan mereka jika mereka tak membeli itu semua. Sejumlah orang, mungkin stres, merasa kuat dan kebal terhadap sang virus sehingga melawan petugas yang meminta ia menutup mulut dan hidungnya dengan masker dan memerintahkan membatalkan perjalanannya karena arah yang ditempuhnya terkena “aturan PSBB.” Kehidupan yang abnormal. Satu-satunya yang tetap normal adalah “kehidupan media sosial kita” –tetap tak berhenti untuk menyalahkan ini itu; mengkritik sana-sini, dan saling memaki karena tokoh mereka diserang.

Kini kita memasuki new normal. Dengan segala aturan yang ditetapkan, Pemerintah, dan tentu kita juga, berharap tak terjadi serangan gelombang kedua virus Corona yang dikhawatirkan oleh semua pemerintahan di dunia. Syarat untuk itu sebenarnya sederhana: mematuhi protokol dan aturan untuk meredam penyebaran virus. Ini sangat bergantung pada masalah karakter dan mental seseorang. Dalam hal paling sederhana: siapkah kita, misalnya, mengalah untuk tidak naik kereta karena tempat duduk sudah diatur sedemikian rupa dan semua sudah terisi. Atau jika antre di bandara: sanggupkan kita menahan diri untuk tidak merangsek ke depan dan tetap dalam garis giliran yang sudah ditentukan?

New normal -istilah yang sebenarnya lebih baik diganti dengan bahasa kita sendiri agar rakyat lebih paham, semisal “Kembali Normal,” “Kenormalan Baru” - adalah kehidupan baru kita dengan mengambil hikmah dan belajar dari kesalahan dan kesengsaraan yang telah kita alami dengan adanya pandemi Corona. Semestinya ini juga akan memunculkan tatanan masyarakat yang baru: yang sadar menjaga kesehatan, yang sadar untuk “merasa berdosa” jika menularkan penyakit, seremeh temeh apa pun penyakitnya, kepada orang lain, hingga memiliki tanggung jawab dan kepedulian untuk segera  mengajar anak cucunya mencuci tangan dengan benar. Jika kita tidak berubah, dan tak mau berubah, kita memang (bangsa) bebal. []

Lestantya R. Baskoro, wartawan Tagar.

Berita terkait
Sederet Aturan New Normal Harus Diketahui Karyawan
Pemerintah sudah memberi lampu hijau bagi perkantoran dan industri untuk beroperasi, karyawan bekerja di kantor atau pabrik dengan pola new normal.
New Normal di Sumut, Gubernur Masih Bikin Konsep
Gubernur Sumatera Utara siap menerapkan new normal di wilayahnya. Namun, sejauh ini pihaknya masih akan mengkonsep tatanan dimaksud.
Salaman dengan Corona
Kita mesti siap untuk menghadapi virus ini sebagai bagian dari kehidupan kita. Opini Lestantya R. Baskoro
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.