Muslim Sunni di Iran Mengeluhkan Diskriminasi Sistematis

Balouch, yang tinggal di pengasingan di London sejak empat tahun silam, dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Sunni
Masjid Makki di Zahedan, masjid Sunni terbesar di Iran. (Foto: dw.com/id - M. Ramezani/sunnatdl)

TAGAR.id - Sejak pendirian Republik Islam di Iran, represi dan diskriminasi terhadap kelompok etnis dan agama minoritas terus meningkat. Juga Muslim Sunni di Iran mengeluhkan represi secara sistematis. Shabnam von Hein melaporkannya untuk DW.

Jutaan umat Islam di seluruh dunia pada 9 April 2024 ini bersiap merayakan Idulfitri, yang menandai berakhirnya bulan puasa Ramadan. Namun aktivis hak-hak perempuan Iran, Fariba Balouch, mengatakan, pada tahun ini hal tersebut kembali tidak mungkin dilakukan oleh kaum Sunni di ibu kota Iran, Teheran. "Bahkan 45 tahun setelah berdirinya Republik Islam di Iran, mereka masih belum memiliki masjid sendiri di Ibu Kota Teheran untuk merayakan hari besar ini dengan salat berjamaah,” katanya kepada DW.

Balouch, yang tinggal di pengasingan di London sejak empat tahun silam, dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Sunni di Provinsi Sistan dan Baluchistan di Iran timur, yang terletak di perbatasan dengan Pakistan dan Afghanistan. Hampir setengah dari populasi di provinsi yang berpenduduk 3,2 juta jiwa adalah kaum Sunni. Diperkirakan, Muslim Sunni mencakup 10% dari populasi secara keseluruhan di Iran, yang mayoritas penduduknya Syiah.

"Kami tertindas karena agama kami,” kata Balouch. "Sunni di Iran tidak diperbolehkan memegang jabatan politik penting apa pun, mereka tidak boleh menjadi presiden atau kepala peradilan, mereka juga tidak boleh menjadi anggota Dewan Pengawas, mendirikan partai politik atau memiliki surat kabar atau majalah. Kami bahkan bukan orang kelas dua atau warga negara, kami sebenarnya tidak punya hak."

Provinsi Sistan dan BaluchistanProvinsi Sistan dan Baluchistan di Iran timur tergolong paling miskin dan kini menderita kelangkaan air (Foto: dw.com/id - Mohammad Dehdast/dpa/picture alliance)

Diskriminasi sistematis pada kelompok minoritas

Sistan dan Baluchistan adalah salah satu provinsi termiskin di Iran. Pendapatan dari ekstraksi sumber daya alam, seperti minyak dan gas, yang dimiliki Iran, nyaris tidak ada yang mengalir ke provinsi itu. Kota-kota kecil dan desa-desa di provinsi tsb tidak memiliki sekolah maupun pasokan listrik dan air bersih. Air langka karena kekeringan yang berkepanjangan dan buruknya manajemen air serta kebutuhan pertanian.

Provinsi ini serta wilayah lain di perbatasan Iran, dimana banyak bermukim Muslim Sunni, secara sistematis megalami diskiminasi yang merugikan. Kelompok minoritas Sunni di Iran mencakup etnis Turkmeni di timur laut, Kurdi di barat, Arab di barat daya, dan etnis Baluchi di tenggara.

Tekanan dari penguasa Syiah d Iran

"Penguasa Syiah Iran menuntut kepatuhan dan kesetiaan mutlak dari minoritas Sunni di negara itu,” tulis Hojjatoleslam Hasan Yousefi Eshkevari, seorang ulama Syiah yang merupakan salah satu cendekiawan dan peneliti Islam paling terkenal di Iran, menangggapi pertanyaan DW.

Akibat sikapnya yang kristis terhadap para Mullah di Iran, Eshkevari dijatuhi hukuman mati pada tahun 2000 oleh Pengadilan Khusus untuk Ulama dalam sebuah proses pengadilan rahasia. Vonis tersebut dibatalkan setahun kemudian oleh sebuah pengadilan banding. Dia dibebaskan pada tahun 2005 dan meninggalkan negaranya untuk bermukim di pengasingan di Jerman.

"Sejak revolusi 1979, penguasa di Iran memerangi dan menindas perbedaan pendapat,” ujarnya. "Hal ini berdampak pada agama minoritas, seperti Sunni, Sufi, dan Bahai, serta Syiah yang berbeda pendapat, yang keyakinannya di Republik Islam ditafsirkan sebagai anti-Syiah.”

"Selain otoritas politik-agama di pusat kekuasaan Republik Islam Iran, juga ada ulama Syiah lain yang mendukung pembatasan hak Sunni di Iran. Penolakan untuk pembangunan masjid Sunni di ibu kota Teheran, terutama karena tekanan tersembunyi dari otoritas agama di pusat Syiah di kota Qom. Mereka secara tidak resmi dan diam-diam menggunakan pengaruhnya untuk mencegah hal ini."

Zahedan menjadi pusat protesZahedan menjadi pusat protes pasca meninggalnya Jina Mahsa Amini pada 2022 (Foto: dw.com/id - UGC/AFP)

Pembunuhan sesama Muslim

Tekanan terhadap kelompok minoritas Sunni makin meningkat dalam dua tahun terakhir. Setelah kematian wanita Kurdi Iran berusia 22 tahun Jina Mahsa Amini di dalam tahanan polisi. Ibu kota Sistan dan Baluchistan, Zahedan, kemudian menjadi basis protes nasional. Selama berbulan-bulan, para demonstran berkumpul di jalanan melakukan aksi protes damai setelah salat Jumat.

Pada 30 September 2022, lebih dari 80 orang ditembak mati oleh aparat keamanan. Beberapa orang aparat keamanan mengambil posisi di atap bangunan yang berada di seputar Masjid Agung Makki di Zahedan, yang merupakan masjid Sunni terbesar di Iran, dan melepaskan tembakan ke arah kerumunan warga yang berkumpul setelah salat Jumat.

"Kami tidak akan pernah melupakan pembantaian ini,” kata aktivis hak-hak perempuan Balouch. "Di depan masjid di negara Islam ini, umat Islam yang taat ditembak karena mereka melakukan protes damai. Hal itu saja menunjukkan hak-hak sipil apa yang dimiliki kelompok minoritas Sunni, yakni tidak memiliki hak sama sekali!,” tegas Balouch.

Menyusul rangkaian aksi protes "Perempuan, Hidup dan Kebebasan", jumlah eksekusi hukuman mati di Iran telah meningkat secara dramatis dalam dua tahun terakhir. Sekitar 20% dari sedikitnya 834 orang yang dieksekusi pada 2023, berasal dari minoritas Sunni dari etnis Baluchi di negara tersebut. (rs/as)/dw.com/id. []

Berita terkait
Ulama Sunni Iran Sebut Protes adalah Hak Rakyat
Hamid katakan keinginan rakyat adalah "pembebasan tahanan politik" dan pemerintah harus mempertimbangkan keinginan sebagian besar bangsa Iran