Jakarta - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti tak mempermasalahkan wacana melarang pemakaian cadar atau niqab di lingkungan instansi pemerintahan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) yang disampaikan Menteri Agama Fachrul Razi.
"Kebijakan Menteri Agama yang melarang perempuan bercadar itu tak bertentangan dengan Islam dan tidak melanggar hak azasi manusia (HAM)," tutur Abdul Mu'ti di Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Jumat, 1 November 2019 seperti dilansir dari Antara.
Kebijakan tersebut menurutnya harus dilihat sebagai usaha pembinaan pegawai dan membangun relasi sosial yang lebih baik.
"Yang perlu diluruskan adalah pemahaman yang menganggap mereka yang bercadar sebagai teroris atau radikal. Itu penilaian yang sangat dangkal dan berlebihan," tuturnya.
Ia mengatakan ada dua hal yang harus dilihat secara saksama terkait wacana melarang pemakaian cadar atau niqab di lingkungan instansi pemerintahan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN). Pertama, terkait kode etik kepegawaian.
"Kalau dia pegawai, maka siapapun dia harus mematuhi kode etik pegawai. Bahkan dalam konteks pembinaan, kepatuhan kepada kode etik berbusana adalah bagian dari penilaian kinerja dan loyalitas kepada institusi," ucapnya.
Kode etik berbusana itu pun tidak hanya berlaku bagi ASN yang bercadar, melainkan ASN yang juga berpakaian tidak sopan sesuai dengan norma agama, susila, dan budaya bangsa Indonesia.
Kedua, perbedaan pandangan mengenai aturan bercadar bagi perempuan. Dalam ajaran agama Islam ada kewajiban untuk menutup aurat baik bagi laki-laki dan perempuan, namun di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai cadar sebagai salah satu busana menutup aurat.
Sebagian besar ulama, berpendapat bahwa bercadar tidak wajib dan perempuan boleh menampakkan wajah dan telapak tangan, seperti PP Muhammadiyah yang menilai bahwa Islam tidak mewajibkan perempuan untuk memakai cadar. Tapi sebagian lain tidak memiliki pandangan sama mengenai cadar. []