Mercusuar Belanda Saksi Perkembangan Pelabuhan Semarang

Mercusuar Willem III yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1884 menjadi saksi bisu perkembangan Pelabuhan di Kota Semarang.
Mercusuar Willem III yang terletak di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. (Foto: Tagar/Yulianto)

Semarang – Bangunan berwarna putih setinggi 30 meter tampak berdiri kokoh di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, tepatnya di Jl Yos Sudarso, Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara.

Terik matahari siang itu, Senin, 5 Oktober 2020, menerpa sebagian dinding bangunan mercusuar. Sesekali cahaya matahari memantul dari permukaan air laut yang bergoyang pelan akibat tersapu ombak.

Tidak jauh dari mercusuar berusia ratusan tahun itu, beberapa pemancing asyik menunggu ikan memakan umpan pada mata kailnya. Warna langit yang biru dihiasi goresan putih tipis awan berwarna putih tampak serasi dengan warna air laut dan mercusuar itu.

Ombak yang menabrak dinding mercusuar menghasilkan percikan di sekitarnya. Sebagian menimbulkan buih-buih putih yang hanya sekejap menghilang terbawa arus air.

Bagian bawah mercusuar itu tampak terendam air. Menurut beberapa warga setempat, kaki mercusuar itu sudah terbenam sedalam kurang lebih empat meter di bawah permukaan tanah. Bahkan saat banjir rob, lantai bawah mercusuar itu sudah terendam air laut. Meski demikian, mercusuar itu tetap difungsikan.

"Ya, sekarang kaki menara sudah tertanam sekitar empat meter di dalam tanah. Akibat dari penurunan muka tanah dan air rob di Semarang, "kata Ardi, 42 tahun warga Kebonharjo Semarang.

Berdiri pada Tahun 1884

Mercusuar yang dinamai Willem III ini dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1879, untuk memandu kapal-kapal yang berlayar di sekitar pelabuhan. Nama Willem III sekaligus menjadi penanda bahwa bangunan itu dibangun pada masa pemerintahan Willem III.

Pembangunan mercusuar ini memakan waktu kurang lebih lima tahun. Mercusuar tersebut selesai dibangun dan mulai digunakan pada tahun 1884. Meski saat ini usianya sudah lebiih dari 100 tahun dan bagian bawahnya sudah terbenam sedalam empat meter, mercusuar tersebut masih berdiri kokoh.

Saat ini Mercusuar Willem III masih berfungsi dengan baik. Bahkan di dalamnya dilengkapi dengan lampu berkapasitas 1.000 watt, yang mampu memancarkan cahaya sejauh 20 mil laut untuk memandu kapal yang akan memasuki pelabuhan.

Cerita Mercusuar Semarang (2)Mercusuar Willem III yang dibangun oleh penjajah Belanda pada tahun 1884. Saat ini mercusuar itu masih berfungsi dan dilengkapi dengan lampu berkapasitas 1.000 watt. (Foto: Tagar/Yulianto)

Saat mercusuar itu dibangun, Belanda juga membangun beberapa bangunan lain di kawasan pelabuhan, tepatnya di sekitar Muara Kali Semarang. Beberapa di antaranya difungsikan sebagai gudang.

Mereka juga membangun Pelabuhan Tanjung Emas agar bisa disinggahi oleh kapal-kapal besar. Mercusuar Willem III juga menjadi saksi bisu pertumbuhan Kota Semarang menjadi kota niaga.

Pengamat sejarah Semarang, Rukardi Achmadi mengatakan, dulunya Kota Semarang merupakan kota pelabuhan. 

Bahkan pada era Kerajaan Mataram Kuno, wilayah ini juga sempat menjadi pelabuhan kerajaan. Tapi letaknya bukan di kawasan Tanjung Emas, melainkan di daerah Bergota.

“Pada era kolonial Belanda, awalnya Pelabuhan Semarang berada di muara Kali Semarang, yang kini jadi lokasi pengasapan ikan. Saat itu masih berupa pelabuhan alam. Situasi sungai Semarang yang membawa lumpur dari wilayah atas, jadi kendala dalam pengembangan pelabuhan. Akhirnya Pelabuhan Tanjung Emas dibangun di tempat yang sekarang ini,” katanya.

Menurut Rukardi, sebelum membangun Mercusuar Willem III tersebut, pemerintah kolonial Belanda terlebih dahulu mengatur administrasi pelabuhan secara rapi. Di antaranya membuat semacam kantor bea cukai, yang terletak sekitar dua kilometer dari pintu masuk muara Kali Semarang.

Kantor tersebut bertugas untuk mencatat lalu lintas kapal yang lewat, baik barang yang dibawa kapal maupun penumpangnya.

Kalau sekarang semacam ada biaya tol untuk kapal yang lewat. Seiring perjalanan waktu, pelabuhan tersebut bernama Boom Lama.

Lama kelamaan, lanjut Rukardi, Kota Semarang semakin ramai, demikian pula dengan arus lalu lintas kapal yang masuk maupun keluar dari Pelabuhan Boom Lama. Hal itu membuat Belanda menilai Boom Lama sudah tidak representatif.

Akhirnya pada sekitar tahun 1830-an Belanda mulai membangun pelabuhan baru yang diharapkan lebih representatif daripada Pelabuhan Boom Lama. Mereka memulainya dengan membangun kanal.

Belanda membuat semacam jalur baru di Kali Semarang yang awalnya berkelok-kelok, sehingga perjalanan melalui sungai itu menjadi lebih singkat.

Namun pembangunan pelabuhan baru itu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Mereka baru bisa menyelesaikan pembangunan sekitar tahun 1870-an.

“Di depan mercusuar itu, merupakan kali buatan (baru) yang dibuat oleh Belanda sekitar tahun 1850-1860-an. Dan baru selesai dibangun pada tahun 1870-an. Dengan adanya kali baru itu sengaja dibuat lebar dan bagus. Yakni dengan lebar 23 meter dan panjang sekitar 1,3 kilometer. Dan di situlah jadi Pelabuhan Baru Semarang,” ucap Rukardi lagi.

Selanjutnya mereka membangun mercusuar sebagai pelengkap pelabuhan, yakni untuk memandu kapal yang datang dari luar pulau.

Masalah pada Pelabuhan Kali Baru

Pelabuhan Kali Baru yang dibangun sebagai pengganti Boom Lama ternyata difungsikan hanya selama kurang lebih 26 tahun, yakni mulai tahun 1884 hingga tahun 1910. Setelah itu pelabuhan Kali Baru kembali dianggap tidak representatif.

Terlebih saat itu Pelabuhan Semarang menjadi titik penting untuk pengiriman hasil bumi dari wilayah sekitar Semarang, seperti Salatiga, Ambarawa, Kendal, dan beberapa daerah lain, untuk diekspor ke Eropa.

Masalah lain yang muncul pada Pelabuhan Kali Baru adalah wilayah pelabuhan yang cencerung berlumpur dan dangkal. Masalah itu, kata Rukardi, sudah berusaha disiasati oleh Belanda, dengan melakukan pengerukan berkali-kali dan pembuatan dam penahan lumpur.

Cerita Mercusuar Semarang (3)Beberapa perahu yang bersandar tidak jauh dari Mercusuar Willem III di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. (Foto: Tagar/Yulianto)

Namun upaya yang dilakukan itu tidak berhasil. Sehingga pada tahun 1910-an diputuskan untuk membangun pelabuhan baru yang dinamai Pelabuhan Perahu (Haven Prawen), yang sekarang jadi Pelabuhan Tanjung Emas.

Pelabuhan itu dinamai Pelabuhan Perahu, karena pada saat itu, kapal besar tidak bisa merapat sampai di pesisir Semarang. Waktu itu hanya kapal berukuran kecil dan menengah saja yang bisa masuk. Karena pantai Semarang, hanya memiliki kedalaman sekitar dua meter.

“Sehingga kapal besar dari luar negeri hanya bisa bersandar di tengah laut, dengan melepas jangkar di laut. Baru setelahnya, barang-barang dan penumpang yang dibawa kapal tersebut, diangkut oleh kapal-kapal tongkang untuk ditarik ke Pelabuhan Tanjung Emas Semarang,” katanya.

Hal itu menjadi kendala tersendiri. Pelabuhan Semarang dinilai tidak representatif untuk jadi kota dagang saat itu. "Berbeda dengan pelabuhan di Batavia (Jakarta) yang punya kedalaman laut yang cukup dalam. Maka mulai tahun 1910-an, pusat lalu lintas perdagangan yang semula ada di jalur laut Semarang, mulai bergeser ke Pelabuhan Batavia," jelasnya.

Kejayaan Pelabuhan Semarang pun berangsur meredup. Hingga akhirnya tahun 1985, Pelabuhan Tanjung Emas akhirnya dikelola PT Pelindo III hingga sekarang. []

Berita terkait
Biduan Cantik Bantaeng yang Bercita-cita Jadi Dokter
Seorang biduan muda di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, disebut secantik boneka Barbie. Dia berusaha mengubah stigma negatif tentang biduan.
Cerita Budidaya Ikan Lele di Lahan Sempit Yogyakarta
Budidaya ikan lele dalam tong menjadi salah satu alternatif pemanfaatan lahan sempit di kawasan dalam Kota Yogyakarta.
Suara Lantang Penyandang Disabilitas di Sumba Timur
Seorang difabel bernama Arif Rahman, 25 tahun, menjadi anggota tim pemenangan pasangan Calon Bupati-Wakil Bupati Sumba Timur dengan tagline SEHATI.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.