Untuk Indonesia

Merasakan Langsung Teror Corona

Pengalaman harus melakukan isolasi karena bapak kos kena corona. Pelajaran berharga agar kita hati-hati dan penuhi protokol kesehatan.
Doktor Tjandrawati Mozef Peneliti Biokimia Farmasi LIPI yang juga penemu menunjukan detection kit "QIRANI 19 " atau alat deteksi alternatif virus corona di Laboratorium Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu, 26 Agustus 2020. LIPI berhasil menemukan formula deteksi virus corona dengan metode RT LAMP untuk menentukan Negatif atau Positif seorang pasien yang terpapar COVID-19 dengan waktu deteksi kurang dari satu jam yang dinamai QIRANI 19 KIT. (Foto: Antara/Muhammad Iqbal/aww)

Oleh: Darmaningtyas

Kamis, 13 Agustus 2020 saya merasakan langsung apa yang disebut sebagai teror virus korona itu. Bukan hanya mendengar cerita-cerita dari WAG atau dari orang lain yang cukup menyeramkan, tapi mengalaminya sendiri ketika jam 09-an tengah mengikuti meeting via zoom tiba-tiba diberi tahu kalau ada penyemprotan rumah oleh petugas yang mengguanakan alat pelindung diri (APD), sehingga kami harus keluar ruangan. Cukup mengagetkan saat itu.

Saat keluar dari ruangan, di luar sudah ada beberapa petugas kelurahan, kecamatan, dan kesehatan, mereka memantau penyemprotan rumah yang kami tempati, termasuk ruangan saya. Ya, hari ini memang diinfokan bahwa bapak, pemilik rumah yang kami kontrakin dinyatakan positip Covid 19. Awalnya memang masuk ke rumah sakit Selasa (11/8) lalu dengan keluhan asam lambung. Menurut info yang saya dengar, salah satu persyaratan opname katanya harus dites swab terlebih dulu yang hasilnya akan diketahui dua hari berikutnya, dan Kamis, 13 Agustus telah keluar hasilnya. ternyata hasil positip.

Begitu cepatnya informasi itu sehingga dalam waktu singkat para petugas kelurahan, kecamatan, dan kesehatan sudah sampai ke rumah orang yang dinyatakan positip Covid 19. Entah tidak tahu lewat mana jalur informasi dari rumah sakit ke petugas kelurahan, kecamatan, dan kesehatan tersebut, apakah dari RS langsung ke Dinas Kesehatan, Gugus Tugas, atau malah Pemprov DKI Jakarta langsung? Yang pasti jam 09-an itu petugas sudah tiba di rumah korban, meski korban masih di RS.

Melihat rumah yang disemprot disinfektan dan semua isi rumah diminta tes swab di Puskesmas terdekat secara gratis, maka saya pun memutuskan diri untuk melakukan isolasi mandiri, tidak melakukan kegiatan ke luar rumah, termasuk naik angkutan umum, untuk sementara berhenti dulu. Ada satu staf yang sudah kadung datang juga saya minta untuk balik dan bekerja di rumah saja, demikian juga staf lain yang belum tiba, saya minta untuk bekerja dari rumah saja, minimal sampai ketahuan kondisi kesehatan kita dari rapid test atau swab.

Pintu-pintu rumah di sepanjang gang terlihat tertutup semua. Anak-anak yang biasanya berkejaran atau bersepeda ramai-ramai di gang juga tidak terlihat lagi...

Saya sendiri ikut tes swab pada Hari Jumat (14/8). namun hasilnya baru dapat diketahui Rabu nanti. Usai mengikuti tes swab saya kembali ke rumah dan hanya melakukan aktivitas di rumah saja. Di antara yang saya larang datang itu adalah pekerja rumah tangga yang bekerja mencuci, menyeterika, dan membersihkan rumah. Terpaksa saya harus mengerjakan semuanya sendirian: mencuci pakaian, menyeterika, dan mengepel ruangan. Juga masak nasi sendirian.

Beruntung, mantan anak buah yang sudah berkarir di tempat lain ada yang mengirimkan berbagai kebutuhan: minuman rempah-rempah, multivitamin, hand sanitizer, disinfektan, masker, madu, dan memesankan makanan yang bisa saya konsumsi untuk beberapa hari ke depan dengan alasan saya tidak boleh ke luar rumah. Semua itu terjadi secara spontan begitu mereka mendengar bahwa pak Haji pemilik rumah dinyatakan positip Covid.

Jadi dari segi kebutuhan sehari-hari sebetulnya tidak terlalu repot karena tersedia pasokan bahan makanan, multi vitamin, dan madu yang cukup untuk beberapa hari ke depan, kiriman dari anak buah tadi. Namun karena biasanya setiap hari kumpul 5-7 orang di ruangan dari pagi sampai sore, lalu tiba-tiba tak seorang pun datang, tentu terasa sunyi.

Biasanya sehari-hari, di depan rumah ramai dengan suasana yang hilir mudik manusia dengan berbagai kepentingan, termasuk suara anak-anak yang bermain sepeda-sepedaan, ini tiba-tiba hilang. Mungkin orang yang mau lewat pun menghindari lewat gang tersebut. Pintu-pintu rumah di sepanjang gang terlihat tertutup semua. Anak-anak yang biasanya berkejaran atau bersepeda ramai-ramai di gang juga tidak terlihat lagi, mereka semua digiring masuk ke dalam rumah yang pintunya ditutup.

Melihat dan merasakan langsung suasana tersebut, saya jadi teringat akan penuturan Her Suganda dalam Jejak Sukarno di Bandung, mengenai penyakit pes di Malang (Jawa Timur) pada tahun 1910 yang juga menimbulkan kecemasan kepada semua warga dan tidak ada dokter yang berani menolongnya, kecuali Dokter Tjipto Mangunkusumo sang pejuang kemerdekaan itu.

Pada saat itu Dokter Tjipto Mangunkusumo tinggal di Bandung, tapi dia menjadi relawan untuk menolong para penderita wabah pes di Malang. Saat itu, rumah-rumah para korban pes, setelah penghuninya meninggal, rumahnya dibakar karena masyarakat sekitar takut kalau virusnya akan menular. Wabah pes saat itu telah menimbulkan kecemasan pada warga Malang, sama halnya dengan wabah flu Spanyol pada tahun 1918-1919.

Saya juga teringat pada novel sastrawan Perancis Albert Camus, berjudul La Peste yang oleh NH Dini diterjemahkan menjadi Sampar. Novel tersebut menceritakan pandemik sampar yang telah menimbulkan ketakutan dan kecemasan seluruh warga kota. Banyak orang yang menjadi tidak rasional dan absurd dalam menghadapi wabah tersebut. Entah itu fiktif atau didasarkan pada realitas yang pernah terjadi, yang pasti apa yang dilukiskan oleh Albert Camus itu mirip dengan yang terjadi pada masyarakat dunia saat ini ketika menghadapi virus korona (Coronavirus disease 2019/COVID-19).

Memang pada kasus Covid tidak terjadi kisah seserem seperti wabah pes di Malang saat itu, tapi sikap warga yang amat takut pada virus itu nampak di mana-mana, dan salah satunya kami alami sendiri. Rumah-rumah mereka yang dinyatakan positip Covid harus segera disterilkan dengan semprotan disinfektan dan cenderung dihindari untuk dimasuki dalam beberapa waktu. Padahal, mungkin senyatanya tidak sedemikian seremnya.

Tingkat keseremannya itu terbangun dalam imajinasi kita. Sama halnya ketika dari pergi ke luar rumah, hampir semua kawan menuturkan bahwa begitu sampai rumah maka harus mandi keramas, dan seluruh pakaian maupun atribut yang dipakai langsung direndam pakai sabun. Hampir semua kawan menurutkan, merasa tidak bisa nyaman apabila tidak mandi keramas dan merendam pakaiannya dengan sabun cuci, seakan-akan virusnya menempel di tubuhnya.

Sabtu (15/8) saya mendapatkan info dari anaknya kalau perawatan bapak tersebut biasa-biasa saja, artinya tidak memakai alat bantu pernafasan, tidak batuk-batuk, jantungnya normal, tidak terjadi pergumpalan darah, dan tidak kehilangan rasa saat makan. Penjelasan tersebut membuat saya lega, tidak terlalu cemas; berbeda dengan perasaan pada Hari Kamis (13/8) yang seakan-akan terteror betul oleh virus korona, yang seakan tinggal di rumah tersebut, meskipun beda pintu.

Bapak pemilik rumah ini sebetulnya orang yang boleh dibilang disiplin dan patuh pada protokol kesehatan. Sejak Pemerintah mengeluarkan kebijakan wajib memakai masker, beliau selalu memakai masker dan setiap hari mulai pukul 10 selalu berjemur di depan rumah untuk mencari sinar matahari selama 30-60 menit. Meski usianya sudah mencapai 80 tahun tapi masih kuat naik sepeda onthel dari daerah Kalibata ke HI, sehingga ketika kegiatan CFD (car free day) mulai diadakan lagi, beliau pun aktif bersepeda setiap hari Minggu. Demikian pula ketika CFD dihentikan lagi, pak Haji pun patuh. Namun kontak dengan temen-temen komunitas sepedanya terus berlanjut. Kadang kawannya datang naik sepeda dan ngobrolin tentang sepeda pula.

Minggu (26/7) sebelum Hari Raya Korban (31 Juli), teman-teman komunitasnya datang dengan membawa rombongan lima remaja atau anak muda dengan mengendarai sepeda semua. Informasi yang disampaikan ke saya oleh bapak tersebut setelah kawan-kawannya itu meninggalkan rumahnya, pada saat korban nanti mereka akan kumpul di seberang untuk memotong kambing karena ada yang korban kambing. Karena pas hari korban itu Jumat, sehingga waktunya pendek, maka penyembelihannya dilakukan Sabtu (1 Agustus). Boleh jadi bapak tersebut hadir dalam acara penyembelihan kambing tersebut karena saat itu tidak terlihat di rumah. Dan boleh jadi, pada saat kumpul dan makan ramai-ramai bersama kawan-kawannya, mereka saling berdekatan, dan namanya makan tentu tidak memakai masker.

Pengalaman yang kami rasakan secara langsung ini semakin mengukuhkan keyakinan diri untuk terus menjaga kesehatan, menaati protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah itu penting, karena protokol tersebut pasti dibuat sudah mendasarkan pada hasil kajian ilmiah, tidak sekadar asal buat saja. Boleh saja kita mempercayai teori konspirasi tentang keberadaan virus ini, tapi kalau hasil teori konspirasi itu pun dapat diatasi dengan protokol kesehatan, maka tidak ada salahnya kita protokol kesehatan tersebut.

Bahwa kalau kita sudah berusaha sedisiplin mungkin: memakai masker, selalu mencuci tangan pakai sabun, dan menjaga jarak dengan orang lain tapi masih terkena, itu soal lain lagi, sudah bukan kontrol kita lagi. Yang penting, yang ada dalam kontrol kita sebaiknya kita lakukan dengan baik. []

Berita terkait
UGM Ciptakan GeNose, Alat Pendeteksi Virus Corona
UGM ciptakan alat pendeteksi virus corona dengan cara menganalisa embusan nafas. Hanya dalam hitungan menit terlihat hasilnya.
Para Dokter yang Gugur di Medan Pandemi Corona
Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi untuk melindungi para dokter. Sekitar 110 dokter meninggal terpapar corona. Opini Lestantya R. Baskoro
IDI Minta ada Regulasi Lindungi Dokter dari Corona
Jumlah dokter yang meninggal terpapar viris corona mencapai 110 orang. IDI meminta ada regulasi yang bertujuan melindungi para dokter.
0
Kementerian Agama Siapkan Pengaturan Hewan Kurban di Tengah Wabah PMK
Menjelang dan pada Iduladha dan tiga hari tasyrik di Iduladha pasti kebutuhan hewan ternak terutama sapi dan kambing itu akan tinggi