Yogyakarta - Warga sekitar lereng Gunung Merapi bertanya-tanya adanya fenomena alam yang terjadi pada Rabu 14 Agustus 2019 pagi.
Jarak pandang sangat dekat. Agak pedih kalau mengenai mata. Sebagian warga mengira ada hujan abu. Setidaknya pertanyaan tersebut diungkapkan melalui grup Whatsapp.
"Kok seperti hujan abu ya? Lembut sekali dan mata agak perih," ujar Nilasari, 40 tahun, warga Pakem, Kecamatan Pakem, Sleman, Rabu 14 Agustus 2019.
Senada diungkapkan Sunardi, 45 tahun, warga Ngemplak, Sleman. "Sekitar jam 6 pagi tadi sekitar Ngemplak, kabut cukup tebal jarak pandang sekitar 200-300 meter," ujar dia.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Biwara Yuswantana mengatakan, kondisi udara di lereng Gunung Merapi dan sekitarnya memang kabur. Tetapi itu bukan hujan abu.
Kejadian ini adalah wajar terjadi pada musim kemarau
Menurut dia, Stasiun Klimatologi Mlati Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan penjelasan seputar udara kabur itu.
"Kejadian udara kabur pada hari ini disebut dengan kabut radiasi," katanya.
Biwara mengungkapkan, kabut radiasi terbentuk pada malam hari saat terjadi pendinginan di permukaan bumi akibat proses pelepasan radiasi gelombang panjang ke atmosfer. "Biasanya terjadi saat cuaca cerah," ujar dia.
Suhu udara permukaan yang sangat dingin menyebabkan uap air di atasnya mengalami pendinginan di bawah titik beku. Sehingga terbentuk kabut pada malam hingga pagi hari.
"Kabut radiasi ini akan hilang seiring terjadinya pemanasan di permukaan bumi yang bersumber dari penyinaran matahari," kata Biwara.
Dia mengatakan, berdasarkan informasi dari pantauan Stasiun Klimatologi Mlati, kejadian kabut radiasi sudah terpantau dalam dua hari terakhir. "Kejadian ini adalah wajar terjadi pada musim kemarau," katanya.
Biwara mengungkapkan, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, warga sebaiknya waspada dalam berkendara.
"Karena jarak pandang yang pendek disebabkan oleh kabut tersebut," ungkapnya.[]