Untuk Indonesia

Mengkritisi Din Syamsuddin soal Pemakzulan Presiden

Din Syamsuddin mengutip pandangan pemikir Islam, bernama Al-Mawardi, bahwa ada tiga hal yang menyebabkan kepala negara bisa dimakzulkan.
Din Syamsuddin. (Foto: Breaking News)

Oleh: Syafiq Hasyim*

Persoalan pemakzulan presiden kembali naik ke permukaan. Salah satu alasan yang dikemukakan didasarkan pada fiqih siyasah (politik). Menurut Koran Tempo 1 Juni 2020, Profesor Din Syamsuddin mengutip pandangan pemikir Islam, bernama Al-Mawardi, bahwa ada tiga hal yang menyebabkan kepala negara bisa dimakzulkan.

Pertama adalah keadilan. Jika tidak adil, seorang kepala negara bisa dipecat. Kedua, pemimpin bisa dipecat jika tidak memiliki ilmu pengetahuan atau tidak mempunyai visi kepemimpinan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita nasional. Yang ketiga, pemimpin kehilangan kewibawaannya dan kemampuan memimpin, terutama dalam masa-masa kritis sekarang ini.

Benarkah demikian adanya? Bagaimana sesungguhnya Al-Mawardi membahas masalah kepemimpinan dalam Islam, dalam kitabnya yang sangat terkenal Al-Ahkam Al-Sultaniyyah?

Jika kita ingin mengatakan sebagai sebuah kelemahan konsep politik kepemimpinan di dalam tradisi Sunni, itu bisa dilihat dari ketiadaannya tentang mekanisme pemakzulan seorang pemimpin negara. Pemakzulan pemimpin negara memang tidak dikenal dalam tradisi Sunni.

Pergantian kepemimpinan negara dalam tradisi Sunni biasanya terjadi karena seorang pemimpin sudah wafat, kalah perang sehingga wilayahnya diambil oleh pemimpin yang lain, dan hal-hal yang lainnya. Hal ini merujuk pada pola kepemimpinan awal di dalam Islam yang memang tidak mengenal tradisi pemberhentian. Justru Sunni sangat dikenal dengan teori kesetiaan kepada kepala negara.

Di dalam kitab Al-Ahkam Al-Sultaniyyah, Imam Al-Mawardi mengemukakan bahwa kepemimpinan itu wajib, baik secara agama maupun secara akal. Lalu Al-Mawardi mengatakan jika kepemimpinan di dalam Islam merupakan kewajiban kolektif (fardu kifayah). Jika ada salah satu dari anggota masyarakat memiliki kapasitas kepemimpina dan dipilih dan mau memimpin, maka kewajiban tersebut menjadi terhapus.

Al-Mawardi membagi dua kelompok dalam proses kepemimpinan. Pertama adalah mereka yang memilih. Dalam bahasa Arab, mereka ini disebut dengan istilah ahlul ikhtiyar. Kedua adalah mereka yang dipilih, atau bisa menjadi pemimpin (ahl al-imamah).

Profesor Din Syamsuddin mengutip pandangan pemikir Islam, bernama Al-Mawardi, bahwa ada tiga hal yang menyebabkan kepala negara bisa dimakzulkan.

Al-Mawardi menyatakan bahwa pihak yang memilih itu harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama keadilan yang menyeluruh, artinya, mereka memahami apa itu keadilan dan bagaimana bentuknya. Yang kedua, orang yang memilih pemimpin negara ini harus memiliki pengetahuan yang menyebabkan mereka bisa memilih siapa pemimpin yang layak atau berhak berdasarkan syarat-syarat yang telah diungkapkan. Ketiga, nalar dan kebajikan yang menyebabkan mereka (ahlul ikhtiyar) bisa memilih pemimpin negara yang lebih aslah (patut) dan lebih kuat, serta lebih mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan untuk rakyatnya. Tiga syarat ini adalah bagi pihak yang memilih.

Bagaimana ini dikaitkan dengan sistem tata negara kita? Kita sudah tidak mengenal lagi ahlul ikhtiyar yang khusus sebagaimana yang dimaksudkan oleh Al-Mawardi di atas, karena sistem politik kita berbeda. Kini kita mengenal sistem pemilihan presiden langsung, di mana rakyatlah yang memilih.

Lalu bagaimana dengan ahlul imamah (pihak yang dipilih oleh ahlul ikhtiyar). Menurut Al-Mawardi, syarat menjadi pihak yang dipilih menjadi seorang kepala negara, pertama adalah adanya keadilan yang menyeluruh. Kedua, mengetahui ilmu ijtihad untuk hal-hal yang berkaitan dengan atas fatwa dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum.

Yang ketiga, keselamatan atau kesehatan panca indera seperti pendengaran, penglihatan, dan lisan yang dengan ini semua pemimpin bisa menemukan secara langsung apa yang dijumpainya. Keempat, anggota badannya selamat (sehat), bisa bergerak dan merespons cepat.

Kelima, penalaran atau sehatnya penalaran yang membuatnya bisa memimpin rakyat dan juga memikirkan kebaikan-kebaikan untuk rakyatnya. Keenam, keberanian dan memiliki sikap menolong untuk menjaga negara dari musuh. Ketujuh, keturunan dari Suku Quraish. Menurut beberapa pendapat, syarat ketujuh ini dihapuskan. Namun jika ada, syarat ketujuh ini bisa ditafsirkan sebagai pemimpin harus datang dari kelompok mayoritas.

Silakan lihat kitab Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sultaniyyah, 1989, halaman 3-4. Menurut pendapat saya, memang bagus sekali melakukan kontekstualisasi teori-teori fiqih siyasah (fikih politik) untuk kehidupan ketatanegaraan dan kenegaraan pada masa kini, terutama untuk landasan moralitas.

Namun, mungkin yang dimaksud Prof. Din Syamsuddin dengan tiga hal yang menyebabkan seorang kepala negara bisa dicabut mandatnya itu menurut Al-Mawardi ternyata lebih bisa terjadi pada ahlul ikhtiyar, atau pihak yang memilih.

Memang persyaratan keadilan itu berlaku untuk keduanya, baik untuk orang yang memilih (ahlul ikhtiyar) maupun untuk orang yang dipilih (ahlul imamah), namun untuk dua hal lainnya yang disebutkan di atas, lebih mengena pada ahlul ikhtiyar.

Hal lain lagi bahwa tiga hal yang dikemukakan oleh Prof. Din Syamsuddin di atas itu sesuatu yang harus dipenuhi untuk menjadi ahlul ikhtiyar atau menjadi pemimpin. Jika seseorang sudah dipilih menjadi pemimpin, syarat-syarat tersebut bukan menjadi alasan untuk azlun (dipecat).

Dalam teori politik Sunni, konsep pemakzulan itu tidak berlaku, yang berlaku adalah konsep ketaatan. Di sini di dalam teori Sunni, ketika seorang kepala negara sudah terpilih, maka kedudukannya menyatu dengan negara. Tidak ada perbedaan antara pemerintah dan negara. Ini yang menjadikan konsep kepemimpinan di dalam tradisi Sunni menunggu sampai masa berakhirnya sang pemimpin itu.

Bahkan ketika saya mencari istilah pemakzulan (azlun) dalam kitab Al-Ahkam al-Sultaniyyah, ternyata saya belum menjumpainya. Bahkan Al-Mawardi mengutip sebuah pendapat, jika seseorang sudah dipilih menjadi pemimpin berdasarkan syarat-syarat yang ada, dua hak yang harus diperoleh oleh pemimpin tersebut, pertama hak ketaatan, yang kedua hak pertolongan.

Sebagai catatan, pemakzulan pemimpin negara itu kurang dikenal atau tidak dikenal dalam tradisi Sunni. Menjadikan fiqih siyasah sebagai landasan moralitas politik Indonesia mungkin bermanfaat, namun kita punya konstitusi yang menjadi dasar dari teori dan praktik kehidupan kenegaraan kita.

*Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU), MA dari Leiden University, Belanda. Ph.D dari Freie University, Jerman.

Baca juga:

Berita terkait
Din Syamsuddin Tak Ingin Ulama Larang Muslim Salat Id
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menjelaskan alasannya mengapa ulama jangan larang umat Islam salat Idul Fitri
Pengamat Politik: Din Syamsuddin Berhak Jadi Capres
Hasrat Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin untuk menjadi presiden sangat berat sebab ia tidak pernah berkecimpung dalam pemerintahan.
Profil Din Syamsuddin dan Kontroversi Pemakzulan Presiden
Profil Din Syamsuddin yang menjadi buah bibir masyarakat lantaran menggelar diskusi pemakzulan presiden di tengah pandemi Covid-19.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.