Untuk Indonesia

Memperbaiki Kualitas Pertumbuhan Ekonomi di 2020

Untuk kuartal IV, meskipun belum ada angka resmi tetapi pertumbuhan ekonomi diperkirakan tidak jauh dari 5%.
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. (Foto: pixabay.cpm/nattanan23)

Oleh: *Mohamad D. Revindo

Tahun 2020 baru saja berjalan beberapa minggu. Tahun 2019 berlalu dengan catatan pertumbuhan ekonomi hingga kuartal III sebesar 5,02% year-on-year. Untuk kuartal IV, meskipun belum ada angka resmi tetapi pertumbuhan ekonomi diperkirakan tidak jauh dari 5%. Angka ini di satu sisi perlu disyukuri karena lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi global yang hanya sekitar 3%, tetapi di sisi lain belum optimal dan masih jauh lebih rendah dari target RPJMN 2020-2024 yang dipatok pada 5,6-6,2%.

Tulisan ini tidak akan membahas bagaimana Indonesia dapat menjaga pertumbuhan ekonominya di tengah ancaman gejolak ekonomi dan politik eksternal serta internal. Beberapa lembaga internasional yang cukup kredibel memperkirakan pada 2020 Indonesia akan mampu menjaga pertumbuhan pada kisaran 5%. 

Tulisan ini hendak menyoal bagaimana pertumbuhan pada 2020 hingga 2024 bisa lebih berkualitas, dalam artian: 1) Mampu menciptakan kesempatan kerja yang lebih banyak dan luas, bukan hanya bagi kaum terdidik dan mereka yang memiliki akses pada modal, tetapi bagi berbagai lapisan angkatan kerja; 2) Mengentaskan kemiskinan secara lebih merata dan meluas, 3) Menciptakan kesempatan berusaha yang setara bagi seluruh kelas usaha, dan pada akhirnya 4) Memperbaiki distribusi pendapatan, baik antar individu, antar kelompok masyarakat, maupun antar wilayah. Kualitas pertumbuhan ini sangat penting karena terkait dengan Nawacita Presiden Jokowi 2014-2019 butir ke-3, 5, 6 dan 7, serta menjadi ruh dari Visi Presiden Jokowi 2019-2024.

Secara agregat, kualitas pertumbuhan ekonomi selama lima tahun terakhir sebenarnya tidak terlalu buruk. Dalam hal penciptaan kesempatan kerja terjadi sedikit perbaikan dimana tingkat pengangguran terbuka cenderung menurun dari 6,18% di 2015 menjadi tinggal 5,28% pada Agustus 2019. Dalam hal pengentasan kemiskinan juga terjadi sedikit perbaikan dimana persentase penduduk miskin turun dari 11,96% pada awal 2012, 11,22% pada awal 2015 dan menjadi 9,41% pada 2019.

Pertumbuhan Ekonomi Global–Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Cooperation dan Develpoment - OECD) mengingatkan akan terjadi perlambatan ekonomi global. (Foto: Google)

Jika mengacu pada Koefisien Gini, pemerataan kesejahteraan mengalami sedikit perbaikan walaupun memang perubahannya sangat kecil dan lambat. Data BPS menunjukkan bahwa sebelum 2011 Koefisien Gini Indonesia kurang dari 0,4 yang berarti pemerataan cukup baik, lalu sejak 2012 hingga 2015 terjadi peningkatan ketimpangan yang ditandai dengan Koefisien Gini yang naik ke kisaran 0,41. 

Pada 2016, ketimpangan kembali membaik dengan koefisien gini yang turun ke 0,4, lalu sejak 2017 terus membaik dengan selalu lebih rendah dari 0,4 hingga saat ini. Sebagaimana diketahui Koefisien Gini besarnya antara 0 (sangat merata) hingga 1 (sangat tidak merata). Suatu negara dikatakan mengkhawatirkan ketimpangannya jika Koefisien gininya lebih dari 0.4.

Meskipun angka-angka agregat tersebut tampak cukup membesarkan hati, tetapi sesungguhnya pekerjaan rumah dari kualitas pertumbuhan ekonomi ini masih sangat banyak. Pertama, meskipun Koefisien Gini telah dapat ditekan dibawah ambang batas 0,4, tetapi sejak 2017 angkanya tidak jauh dari kisaran 0,39, yang berarti sangat rentan terhadap guncangan ekonomi. 

Kedua, secara spasial hingga 2019 nyaris 60% PDB Indonesia masih dihasilkan di pulau Jawa. Selain itu, ketimpangan ekonomi didapati lebih besar di daerah perkotaan dibandingkan pedesaan. Ketiga, secara absolut jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 masih mencapai 25,14 juta dan jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2019 masih mencapai 7,05 juta orang, belum termasuk pengangguran terselubung dan setengah menganggur.

Bagaimana agar pertumbuhan ekonomi di 2020 dapat lebih berkualitas, atau lebih tepatnya bagaimana pemerataan ekonomi dapat lebih cepat tercapai? Beberapa catatan ekonomi selama lima tahun terakhir dan khususnya 2019 dapat menjadi bahan refleksi. 

Pertama, belum sesuainya sistem pendidikan menengah dan kurikulumnya dengan tantangan kekinian. Pada 2019 lalu tercatat tingkat pengangguran yang tinggi pada kelompok lulusan pendidikan menegah, dimana tingkat pengangguran tertinggi justru ditemui pada lulusan SMK (10,42%) disusul SMA (7,92%). Hal ini tentu mengancam penciptaan kesempatan kerja dimasa mendatang mengingat pemerintah sedang menggalakkan pendidikan vokasi dan sebagian besar angkatan kerja akan semakin banyak terdiri dari lulusan pendidikan menengah.

Ekonomi IndonesiaDeretan permukiman penduduk dan gedung bertingkat yang terlihat dari kawasan Tanah Abang, Jakarta, Jumat (8/2/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,17 persen sepanjang 2018. (Foto: Antara/Aprillio Akbar)

Kedua, dampak positif dari pembangunan infrastruktur transportasi yang gencar belum langsung berdampak secara signifikan terhadap geliat ekonomi daerah, meskipun kemudahan mobilitas orang dan barang memang sudah mulai dirasakan oleh publik. 

Tol laut masih lebih banyak membawa produk dari daerah maju ke daerah pinggiran tetapi belum serta merta menciptakan kegiatan produksi di daerah pinggiran yang hasil olahannya dapat dipasarkan ke daerah maju. Jaringan jalan tol belum sepenuhnya efektif menurunkan biaya logistik karena belum sepenuhnya terhubung dengan infrastruktur transportasi lain. Misalnya, Pelabuhan Patimban akan beroperasi pada tahun ini tetapi belum terkoneksi dengan jalan tol lintas Jawa, serta Bandara Kertajati yang diharapkan melayani penumpang Bandung Raya sejak 2018 tetapi jalan tol Cisumdawu yang menjadi aksesnya belum selesai hingga saat ini. Rest area jalan tol belum mampu menjadi outlet bagi usaha kecil-menengah daerah setempat sehingga matinya sebagian usaha masyarakat di sepanjang jalan negara yang paralel dengan jalan tol belum dapat terkompensasi.

Ketiga, belum maksimalnya dampak dari dana desa yang tersalur sekitar Rp 70 triliun pada 2019 dan Rp 257 triliun secara akumulatif sejak 2015. Memang terjadi perbaikan pada berbagai infrastruktur desa seperti jalan desa dan saluran irigasi, akan tetapi masih terdapat pekerjaan rumah yang besar untuk memberdayakan masyarakat desa serta menciptakan kegiatan ekonomi dan perputaran uang di desa. 

Menurut Kemendesa, meskipun telah terdapat lebih dari 45 ribu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang berarti lebih dari separuh dari total jumlah desa yang mencapai sekitar 75 ribu, tetapi tidak sampai 10% saja diantaranya yang memiliki unit usaha yang benar-benar berjalan baik.

Keempat, masih terfokusnya arus investasi baik dari asing maupun dalam negeri ke Jawa dan daerah-daerah yang relatif sudah lebih berkembang. Kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diharapkan menjadi pemacu pemerataan investasi belum berjalan efektif. KEK sebenarnya menawarkan berbagai insentif fiskal dan kemudahan non-fiskal yang lebih komprehensif dibanding berbagai jenis kawasan lain seperti Free Trade Zone, Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), maupun Kawasan Berikat. Per 2019 pemerintah Indonesia telah memberikan persetujuan untuk 15 KEK, yaitu Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, Tanjung Api-api, Sei Mangkei, Maloy Batuta, Sorong, Morotai, Bitung, Palu, Mandalika, dan Arun Lhokseumawe, Singhasari, Kendal dan Likupang.

Akan tetapi realisasi investasi pada berbagai KEK masih jauh lebih rendah dari komitmen investor. Pada KEK Sei Mangkei misalnya, yang termasuk KEK yang paling awal beroperasi (sejak 2015), realisasi investasinya masih kurang dari 10% dari nilai investasi yang ditargetkan di 2025. 

Hal yang sama umumnya juga ditemukan pada KEK lainnya. Berbagai tantangan pengembangan KEK yang ditemui adalah: i) Kekurangkesiapan dan kekurangmampuan pengusul untuk memenuhi tenggat waktu tiga tahun dalam menyiapkan lahan, infrastruktur, dan perangkat pengendalian administrasi; ii) Belum mampu membangun keunggulan geoekonomi dan geostrategi untuk meyakinkan investor; 

iii) Belum adanya strategi promosi dan komunikasi yang lebih komprehensif yang mampu menampilkan karakter investasi di KEK meliputi jenis bisnis, manfaat, tingkat keuntungan, prosedur, karakter lokasi, keunikan, ukuran, zonasi, infrastruktur dan rencana pengembangan tata ruang; 

iv) Pengajuan insentif fiskal memerlukan prosedur yang cukup panjang dan waktu pengambilan keputusan yang lama, dan belum terdapat kesepahaman dan koordinasi yang kuat antar lembaga pemerintah yang terlibat dalam pemberian insentif, meliputi Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Hukum dan HAM serta pemerintah daerah.

Kelima, masih belum maksimalnya akses keuangan untuk menjangkau kegiatan produktif, usaha mikro-kecil dan masyarakat pedesaan, meskipun pada 2019 lalu pemerintah menyediakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp140 triliun dengan suku bunga efektif sangat rendah (6-7%). 

Dalam beberapa kasus masih ditemui KUR yang diberikan pada nasabah yang telah menjadi penerima skema kredit lainnya. Dari sisi lembaga keuangan, ini dapat dipahami sebagai upaya menurunkan resiko karena penerima kredit sebelumnya tentu telah memiliki rekam jejak yang lebih baik. 

Akan tetapi dari sisi akses keuangan hal ini mengurangi jangkauan akses kredit ke kelompok masyakrakat yang sebelumnya tidak bankable. Selain itu, estimasi Kementerian Keuangan penyaluran KUR untuk kegiatan produktif masih kurang dari 50%.

Keenam, masih lemahnya keterkaitan dan transfer teknologi antara industri penanaman modal asing dengan perusahaan domestik serta antara industri besar dengan industri kecil dan menengah. Pada sektor pertambangan misalnya, kebijakan pelarangan ekspor mineral dalam bentuk mentah melalui UU Minerba memang telah berhasil menarik beberapa investasi pada fasilitas smelter untuk mengolah dan memurnikan bauksit dan nikel, tetapi belum mampu mendorong investor tersebut untuk melakukan hilirisasi lebih lanjut. 

Data perdagangan hingga pertengahan 2019 menunjukkan bahwa Indonesia telah mulai mampu menjadi eksportir alumina, yang merupakan pengolahan satu tahap lebih lanjut dari bauksit. Akan tetapi pada saat yang sama Indonesia tetap mengimpor alumina untuk kebutuhan input industri aluminium dalam negeri. 

Pada sektor ritel, jaringan ritel modern masih lebih banyak menjual produk dari berbagai industri besar. Demikian pula jaringan minimarket modern saat ini semakin merambah berbagai daerah pelosok dan pemukiman, dan telah banyak menggusur usaha ritel masyarakat.

Bercermin dari berbagai kondisi tersebut, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pertumbuhan ekonomi 2020 lebih berkualitas. Pertama, perhatian yang besar pada pendidikan vokasi tidak perlu dikurangi atau dihentikan, tetapi materi pendidikannya tetap perlu dilengkapi dengan berbagai keterampilan umum yang sesuai dengan tantangan zaman. 

Beberapa keterampilan umum dasar yang diperlukan dewasa ini meliputi kepemimpinan, kerja sama tim, etika kerja, kemampuan interaksi/komunikasi interpersonal, dasar-dasar manajerial, bahasa asing serta teknologi informasi dan komunikasi. Adapun untuk pendidikan non-vokasi pada tingkat sekolah lanjutan maupun pendidikan tinggi perlu disisipkan lebih banyak lagi materi tentang kewirausahaan, bahasa asing, teknologi informasi dan komunikasi serta literasi keuangan.

Kedua, pembangunan infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan dan bandara) yang gencar ke berbagai pelosok nusantara juga tidak perlu dihentikan atau diperlambat, tetapi perlu ditingkatkan konektivitasnya. Artinya bahwa bahwa infrastruktur transportasi seharusnya tidak hanya mempermudah pergerakan orang antar kota dan wilayah, tetapi harus juga mempermudah distribusi atau pergerakan barang. 

Infrastruktur harus mampu menghubungkan pusat-pusat produksi pertanian dan industri dengan pasar dan konsumen. Jalan negara, jalan tol, bandara dan pelabuhan yang baru dibangun atau direvitalisasi harus disambungkan dengan kawasan pertanian atau kawasan industri. 

Kemudian, pembangunan jaringan infrastruktur dalam rumpun transportasi juga perlu bersinergi dengan infrastruktur pada rumpun energi (kilang minyak, pipa gas), rumpun air (irigasi dan air bersih) serta rumpun komunikasi (telepon dan broadband) yang kesemuanya diperlukan dalam aktivitas produksi. Lebih dari itu, infrastruktur yang sudah ada juga harus dilengkapi dan didukung dengan antar moda (jaringan angkutan umum) dan infrastruktur lunak, seperti sistem data dan informasi yang modern.

Ketiga, meningkatkan kualitas penggunaan dana desa. Selain untuk pembangunan prasarana fisik dan sarana produksi yang memang dibutuhkan desa, dana desa harus semakin diarahkan untuk menjadi kegiatan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat desa. 

Kegiatan ekonomi ini tidak boleh menjadi sekedar kepanjangan tangan usaha besar dan usaha yang sudah ada di kota, tetapi sebaliknya harus menciptakan pendapatan bagi masyarakat desa atau setidaknya menahan perputaran uang agar tetap berada di desa.

Dalam konteks ini keinginan pemerintah agar setiap desa memiliki BUMDes sebenarnya baik pada tataran konsep. Akan tetapi, tanpa perencanaan dan panduan pelaksanaan yang matang maka pendirian BUMDEs secara masal ini memiliki resiko kegagalan seperti kebanyakan BUMDes yang sudah ada. Suntikan modal BUMDes yang berasal dari dana desa tidak boleh menjadi monumen kegagalan yang dalam jangka panjang justru dapat membuat masyarakat desa apatis terhadap program pemerintah.

Agar keberadaan BUMDes dapat memberi dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat desa, maka ukuran keberhasilan BUMDes harus memenuhi setidaknya tiga dimensi: 1) memiliki ciri perusahaan sosial; 2) memiliki unit bisnis yang berkesinambungan; dan 3) mewakili kehadiran negara di desa. 

Beberapa bentuk implementasi dari tiga dimensi keberhasilan BUMDes tersebut misalnya: i) unit usaha BUMDes tidak boleh berkompetisi secara langsung dengan usaha masyarakat yang sudah ada; ii) mempekerjakan warga desa setempat, khsususnya yang marjinal atau sulit mendapat kerja di tempat lain; iii) memberi solusi atas permasalah desa seperti sampah, air bersih, atau kerusakan lingkungan; iv) memberikan kontribusi bagi kas desa; v) menyerap produk-produk buatan desa, dan vi) membantu memasarkan produk-produk buatan desa.

Keempat, lebih konsisten untuk menyebarkan investasi ke berbagai daerah, terutama di luar Jawa. Investasi asing maupun dalam negeri yang masuk ke Jawa tentu tidak perlu dihambat, tetapi perlu insentif pembeda bagi investor yang berkomitmen mengembangkan daerah pelosok. Dalam konteks ini kebijakan KEK dapat dilanjutkan tetapi perlu direvitalisasi. 

Berbagai insentif fiskal dan fasilitas/kemudahan non-fiskal yang di atas kertas cukup menarik bagi investor KEK harus dipermudah pada tingkat pelaksanaan/pengajuannya. Perlu diidentifikasi investor mana yang sebatas memberikan komitmen dan mana lebih konkrit merealisasikan investasinya.

Kelima, memperbaiki indikator keberhasilan penyaluran KUR. Keberhasilan KUR seharusnya bukan sekedar pada jumlah dana yang tersalur, tetapi apakah tercipta perbaikan akses dan jangkauan keuangan untuk masyarakat luas dan pengusaha kecil. Misalnya, salah satu kriteria keberhasilan KUR yang dapat dipertimbangkan adalah berapa nasabah baru tercipta atau nasabah yang pertama kali meminjam uang, yang bukan merupakan peminjam lama yang telah menerima skema kredit lain sebelumnya. 

Selain itu, perlu juga dipertimbangkan kembali adanya penugasan pada salah satu bank milik negara untuk fokus membangun pedesaan. Tanpa penugasan khusus ini, sangat mungkin justru akan terjadi mobilisasi dana dari desa ke kota. Berbagai bank dan lembaga keuangan memanfaatkan meningkatnya kesadaran masyarakat pedesaan dalam menabung untuk menghimpun dana dan kemudian menyalurkannya untuk kredit usaha besar di daerah yang sudah maju. Situasi ini akan semakin mempertajam disparitas pembangunan antar wilayah.

Keenam, meningkatkan sinergi rantai pasok dan rantai produksi antara usaha besar dan kecil, serta memperbaiki iklim usaha yang memungkinkan usaha besar dan kecil untuk sama-sama hidup. Pada sektor ritel dapat dipertimbangkan pembatasan ijin atau penentuan lokasi jaringan ritel modern. 

Misalnya, keberadaan jaringan minimarket modern yang baru hanya dibolehkan di pusat kelurahan atau kota kecamatan; jaringan supermarket modern harus berjarak tertentu dari pusat pemukiman penduduk; atau keduanya harus pula menjual produk-produk masyarakat setempat. Pada sektor pariwisata, pengembangan suatu kawasan wisata harus diiringi dengan pengembangan homestay dengan rasio tertentu atau wisata berbasis desa dan komunitas.

Hanya dengan langkah-langkah strategis dan berani semacam itulah maka pertumbuhan ekonomi bukan hanya menjadi angka agregat makroekonomi, tetapi juga angka yang berkualitas karena dinikmati oleh masyarakat di berbagai lapisan dan berbagai daerah. []

*Mohamad D. Revindo, Ketua Litbang DPP Bara JP

Berita terkait
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2019 Versi BI
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia (BI) Endy Dwi Tjahjono memproyeksikan ekonomi Indonesia 2019.
Pemerintah Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Tercapai
Kementrian Koordinator bidang Perekonomian optimistis proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan ada di bawah 5 persen.
INDEF: Target Pertumbuhan Ekonomi Terlalu Tinggi
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengatakan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen dalam APBN terlalu tinggi.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.