Memanjakan Mata di Pusat Tekstil Pasar Baru Jakarta

Pasar Baru di Jakarta dikenal sebagai pusat penjualan tekstil sejak zaman kolonial Belanda. Pandemi Covid-19 ternyata memengaruhi aktivitas di sana
Sejumlah kain dan manekin yang memakai kebaya berbahan brokat dan gaun terpajang di depan salah satu toko di Pasar Baru, Jakarta. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Jakarta – Kain beraneka jenis dan beragam warna berjejer di sejumlah toko kawasan Pasar Baru. Pasar ini merupakan pusat perbelanjaan tertua di Jakarta, yakni berdiri sejak tahun 1820. Pasar Baru identik dengan pusat penjualan tekstil, yang sebagian besar dimiliki oleh keturunan India.

Toko yang berderet di sepanjang lorong pasar berarsitektur unik dan terkesan tua membuat pengunjung seperti berwisata di tempat itu. Pada gapura pasar tertulis tahun didirikannya pasar tersebut.

Sejak zaman kolonial Belanda, Pasar Baru menjadi tujuan utama warga Jakarta yang ingin mencari berbagai jenis tekstil. Memasuki usia dua abad, kegagahan bangunan-bangunan tua masih menyambut para pengunjung.

Harga kain yang ditawarkan oleh para pedagang di situ sangat murah dan menggiurkan. Biasanya harga obral ditulis pada selembar kertas dan dipajang di bagian depan toko atau pada rak kain.

“Harga promo masih bisa ditawar lagi, Mbak. Apalagi jika beli dalam jumlah banyak,” ucap Yanti, salah satu pengunjung Pasar Baru.

Jenis-jenis Kain

Risma, seorang penjaga salah satu toko di Pasar Baru menjelaskan beberapa jenis kain yang tersedia di tokonya, di antaranya satin, sifon, katun, rayon, moss crepe, linen, wool, diamond, dan brokat untuk kebaya.

Menurut Risma kain yang paling laku di tokonya adalah bahan polosan untuk baju pesta. Harga per meternya mulai Rp 10 ribu.

“Harga per meter untuk bahan polos mulai Rp 10 ribu, bahan yang lebih bagus lagi adalah dances seharga Rp 65 ribu per meter,” ucap perempuan yang sudah 10 tahun bekerja di Pinky Textile milik seorang keturunan India, Khumar.

Dia menjelaskan, dalam satu jenis kain bisa memiliki harga yang berbeda, tergantung dari kualitasnya. Selain kualitas, kain yang telah dipasangi payet pun dijual dengan harga lebih mahal.

Menurutnya, kain yang berpayet lebih padat di dalam. Selain itu motif payet yang lebih rumit membuat harga jual lebih mahal.

Tekstil Pasar Baru 2Pilar pintu masuk Pasar Baru yang berdiri gagah meski berdiri sejak tahun 1820. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Sedikit berbeda dengan penjelasan Risma, seorang karyawan toko tekstil lain yang bernama Sukirman, mengatakan, jenis kain yang paling laris di toko tempatnya bekerja adalah brokat.

Yang paling laris jenis brokat, yang polosan juga lebih laku dibandingkan dengan motif.

Toko Bombay tempatnya bekerja juga menjual beragam jenis kain, di antaranya brokat, taken, lendis, kemeja, katun, bahan celana, semi wool, serta kain impor dari India yang dinamakan sani.

“Yang paling laris jenis brokat, yang polosan juga lebih laku dibandingkan dengan motif,” ucapnya.

Harga brokat mulai dari Rp 75 ribu hingga Rp 300 ribu, yang membedakan adalah kualitas kain. Kain brokat ada yang dijual per meter dan ada yang dijual per panel atau per potong.

Jika ingin membuat kebaya dengan bahan brokat panjang, dibutuhkan kain sepanjang 2,5 meter, sementara yang pendek hanya 2 meter.

Kain brokat ada dua macam, yakni polos dan berpayet. Brokat polos lebih banyak diminati konsumen. Sebab, kain polos lebih mudah dieksplorasi, seperti ditambahkan payet atau mutiara.

“Kalau bahan brokat berpayet nggak bisa diapa-apakan lagi karena sudah ramai, jadi kain polosan sih yang laku,” kata karyawan toko Bombay Textile yang berdiri sejak tahun 1951.

Biasanya kain brokat dijual terpisah dengan furing sebagai pelapis dalamnya. Ukuran furing biasanya lebih kecil daripada kain brokatnya.

Furingnya beli sendiri karena kita nggak jual paketan. Untuk dalemannya sendiri di matchingin atau dicocokan saja sesuai warna kain brokatnya.”

Dari berbagai jenis kain yang dijual, menurut Sukirman, katun adalah bahan kain yang paling adem. Sementara untuk bahan yang hangat saat dikenakan adalah wool. Tapi saat ini wool yang berbulu sudah tak dijual, karena sepi peminat dan tidak sesuai dengan iklim di Indonesia.

“Kalau wool sekarang sudah nggak ada bulu-bulunya kayak dulu. Kalau dulu memang ada wol yang tebal dan gatal, sekarang sudah jarang. Karena trend fashionnya sudah beda lagi. Dulu wool bila musim dingin, kalau sekarang apalagi di Jakarta panas terus jadi udah jarang.”

Mengenai warna kain yang disukai oleh pembeli, Sukirman mengatakan setiap orang memiliki selera yang berbeda, sehingga tidak bisa dipastikan. Selain itu, tergantung pada tren warna.

Yang Berubah saat Pandemi

Pandemi Covid-19 membuat sejumlah perubahan di Pasar Baru, termasuk jam buka toko. Saat pandemi, toko buka mulai pukul 09.30 hingga 17.30 WIB, padahal sebelum pandemi toko tutup pukul 19.30 WIB.

Perubahan jam buka toko juga diikuti dengan menurunnya pembeli secara drastis. Sebab selama pandemi jarang dilaksanakan pesta seperti pernikahan ataupun acara wisuda. Jika dikalkulasi, lanjutnya, untuk gaji karyawan dan biaya seperti listrik dan lainnya kadang dalam sebulan tidak menutup, apalagi jika tokonya masih kontrak.

Tapi saat ini keadaan berangsur membaik, yang ditandai dengan mulai ramai dan berdatangan para pembeli yang ingin membeli kain di tokonya.

Mengenai jumlah pelanggan dalam sehari dan omzet harian, Sukirman mengaku tidak bisa memastikan jumlahnya. Namun dia memastikan kurang lebih Rp 10 juta dalam sehari.

Tekstil Pasar Baru 3Suasana di salah satu toko tekstil di kawasan Pasar Baru, Jakarta. (Foto: Tagar/Sarah Rahmadhani Syifa)

Para pelanggan toko tempatnya bekerja tak hanya dari dalam kota, tak sedikit orang dari luar Jakarta yang mencari dan membeli kain di toko ini. Namun dengan adanya PSBB saat ini konsumen berasal dari dalam kota saja.

“Saya selama ini menjualkan kain baik-baik saja, alhamdulillah pelanggan tidak pernah komplain terkait bahan yang dibeli seperti misal kainnya luntur,” tutur Sukirman

Saat ditanya mengenai persaingan antartoko, Sukirman mengakui hal itu pasti ada. Terlebih sebagian besar pedagang di Pasar Baru menjual kain.. Tetapi, persaingan itu berlangsung secara sehat, apalagi tekstil yang dijual di setiap toko berbeda corak, bentuk, dan jenisnya. Sebab tiap toko berbeda suplayer atau pemasok barangnya.

Bukan hanya menjual berbagai jenis kain, beberapa toko di Pasar Baru juga menerima jasa menjahit. Namun Bombay Textile tidak menerima jasa penjahitan. Toko itu hanya menjual bahan saja. “Kalau mau jahit bisa di toko depan atau samping, ia menerima pesanan untuk proses penjahitan juga untuk konsumennya,” ujar Sukirman

Tarif ongkos jasa jahit yang bisa mencapai 2 juta, kata Sukirman, tidak dipengaruhi oleh kualitas bahan. Sehingga lebih baik membeli bahan yang bagus sekalian.

Mending sekalian bahan yang bagus,” ucapnya menambahkan.

Untuk pakaian pria selain membuat jas, konsumen mencari bahan untuk pakaian dinas, “Baju membutuhkan 1,5 meter sedangkan celana membutuhkan 1,25 meter, semua ukuran tergantung orangnya juga.”

Salah satu toko yang menerima jasa menjahit adalah Pinky Textile, yang menerima khusus jasa menjahit jas pria. Untuk harga kain jas dapat dibeli mulai harga Rp 175 per meter. Sementara ongkos jahit bisa mencapai 2 juta rupiah. Panjang kain yang diperlukan untuk pembuatan jas kurang lebih 3 meter.

Persaingan jasa menjahit membuat sebagian penjahit berinovasi dan menawarkan waktu jahit yang relatif cepat. Bahkan di beberapa toko kain yang menerima jasa jahit menawarkan waktu 6 jam untuk proses menjahitnya dan langsung jadi sesuai ukuran pemesanan. []

(Sarah Rahmadhani Syifa)

Berita terkait
Noni Belanda di Penjara Beteng Pendem Ambarawa Semarang
Penampakan noni Belanda terkadang munc di bekas penjara di zaman kolonial Belanda dan penjajahan Jepang di Ambarawa, Semarang.
Tingkatkan Harga Besek dengan Ornamen dan Warna di Bantul
Seorang warga Bantul membuka usaha besek (tempat makanan dari anyaman bambu) hias untuk meningkatkan harga jual. Dia mengekspornya ke Amerika.
Sedang Memetik Daun Teh Saat Gunung Merapi Erupsi
Seorang warga Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, bernama Sartini, sedang memetik teh saat Gunung Merapi erupsi.