Melihat Poligami dari Dua Kacamata Berbeda

Melihat poligami dari dua kacamata berbeda. “Poligami ini bagian dari syariat yang diberikan oleh agama, tetapi dengan persyaratan-persyaratan yang ketat," tutur Masduki Baidlowi.
Perempuan yang menolak dipoligami. (Foto: geotimes.co.id)

Jakarta, (Tagar 17/7/2018) - Sebuah pamflet elektronik, berisikan sebuah iklan kelas poligami tersebar ke publik. Melalui pesan instan itu, dijelaskan tema mengenai kiat berpoligami dari para pemateri dan harga yang harus dibayarkan sebesar Rp 3,5 juta jika akan mengikutinya.

Tak ada lokasi jelas yang dijabarkan dalam pamlet kecuali nomor yang bisa dihubungi, dari Forum Poligami Indonesia. Forum ini merupakan sebuah lembaga non formal di bawah asuhan Rumah Cinta Indonesia yang memiliki banyak unit dakwah yang mengklaim memberikan edukasi terkait poligami.

"Forum ini diadakan dalam rangka edukasi bagi muslimin dalam hal pernikahan secara umum dengan landasan Syariat Islam dan spesifik kepada Poligami Islam," seperti yang tertulis dalam website Forum Poligami Indonesia, yang diakses Tagar News, di Jakarta Senin, (16/7).

Syarat Ketat

Adanya pamflet elektronik mengenai kelas poligami, membuat Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Masduki Baidlowi bicara soal pandangan poligami dari kaca mata MUI.

"Kalau soal poligami ya, poligami ini kan bagian dari syariat yang diberikan oleh agama. Tetapi dengan persyaratan-persyaratan yang ketat," tutur Masduki saat dihubungi Tagar News, di Jakarta, Senin (16/7).

Memang, Masduki mengakui dalam agama Islam ada ayat yang memperbolehkan soal poligami. Namun, tak lantas bisa dijadikan senjata dengan memandang syariat "diperbolehkan" untuk modal untuk kaum Adam melancarkan aksinya.

"Berpoligami itu tidak bisa sembarangan dilakukan. Kan banyak orang itu melihat unsur dibolehkannya. Karena memang ada rasa keinginan yang kuat, ada nafsu, ada syahwat kelelakian untuk mengambil lebih dari satu, ada unsur seperti itu," ungkapnya.

Sebab, tak bisa seseorang hanya memahami ayat-ayat dalam Al-Quran hanya setengah-setengah atau belum selesai sampai penjelasan ayat-ayat selanjutnya yang berkaitan.

"Dalam Al-Quran dijelaskan apabila engkau khawatir takut tidak berbuat adil kepada istri-istri yang engkau poligami itu, maka cukup satu. Jadi, yang penting itu bukan soal bolehnya satu, dua, atau tiga empat. Tetapi justru diperhatikan ayat selanjutnya, apabila engkau takut tidak bisa berbuat adil, maka engkau harus melakukan satu," papar Masduki menjelaskan arti ayat yang dimaksud.

Lagipula, tak bisa disamakan keinginan kaum laki-laki di era sekarang dengan jika merujuk pada poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Sudah berbeda tujuan, berbeda juga kondisi sosialnya.

"Kalau di zaman Rasulullah itu kondisi sosialnya itu adalah kondisi sosial yang menerima anak-anak itu, orang terbiasa menerima bapaknya menikah lagi, mereka menerima kondisi itu. Nah, sekarang ini kondisi sosialnya kecenderungannya tidak menerima," jelas Masduki.

"Di era masyarakat kita kan ada kecenderungan terutama masyarakat urban untuk tidak menerima serorang bapak, seorang ayah oleh anak-anaknya untuk menikah lagi kan ada kecenderungan seperti itu sehingga semakin susah untuk dilaksanakan," tambahnya.

Ketidakmenerimaan poligami dari si anak, menjadi salah satu persyaratan ketat untuk poligami menurutnya harus dipertimbangkan kembali. Materi memang penting, namun kondisi psikologis, maupun sosiologis anak yang ayahnya berpoligami pun harus turut dipikirkan, berkenaan dengan masa depan si anak.

"Sehingga banyak sekali pertimbangan-pertimbangan yang dihitung tidak hanya ingin. Dari rasa ingin kemudian memenuhi tanpa memperhitungkan secara psikologis, eknonomi sangat penting," sambungnya.

Dalam agama Islam sendiri, diwanti-wanti mengenai prinsip keadilan dalam berpoligami. Dalam ajarannya, Islam punya prinsip keadilan dan kedamaian.

Jika poligami hanya dilihat dari teropong keinginan individu belaka, tanpa mempertimbangkan imbas lain seperti keterlantaran keluarga, sakit hati keluarga, maka, tujuan dasarnya harus dikaji kembali.

"Catatan pentingnya itu setiap teks ayat itu turun maka pasti dia pasti punya tujuan dasar syariah yang mesti kita perhatikan jangan sekadar hanya ingin. Allah memang membolehkan, tetapi di balik membolehkan itu ternyata prinsip dasarnya harus berbuat adil, dan keadilan menjadi tujuan dasar," tandas Wakil Sekretaris Jenderal PBNU tersebut.

Pandangan Sang Pendakwah

Sebagai pendakwah, sejumlah ustaz dengan lantang melontarkan pernyataan bahwa poligami diperbolehkan secara agama, bahkan mudah untuk melakukannya tanpa syarat yang ketat. Maka, mungkin itu dijadikan alasan laki-laki memuluskan keinginannya.

Namun, tak semua ustaz menerangkan hal sama terkait poligami, seperti Ustaz Husein Alattas. Dalam keterangan dakwahnya di sebuah channel YouTube, United Islam Chabbel 8 Okt 2017, dia menentang keras bahwa poligami merupakan sunnah muakad.

"Kalau ada ustaz mengatakan poligami sunnah muakad, dia berdusta atas nama Rasul. Karena Rasul tidak pernah sosialisasikan masalah ini. Ada pun Rasul menikahi cukup banyak coba perhatikan wanita yang dinikahi wanita-wanita yang lemah, yang janda yang terlunta-lunta," ucapnya dalam keterangan dakwahnya.

Sebenarnya, ia tak melarang soal poligami. Tetapi menurut pandangannya, ayat yang dimaksud soal poligami bukanlah menerangkan soal perintah kewajiban yang mudah dilakukan begitu saja. Untuk membangun rumah tangga, yakni dalam hal ini berpoligami, haruslah ada keadilan di dalamnya.

"Karena membangun rumah tangga tanpa keadilan tidak akan melahirkan keseimbangan dan keharmonian si laki-laki dipuaskan tapi wanita dicampakkan, Islam tidak bisa menerima hal ini," terangnya.

Lagi-lagi, ditekankan mengenai pentingnya keadilan semisal ada pria yang berniat akan berpoligami. Jika tak mampu untuk membagikan keadilan yang sesungguhnya, maka cukuplah bagi pria itu menikahi satu wanita untuk dijadikannya istri.

"Kalau kalian tak mampu adil, cukup bagi kalian satu, itu akan menjadi rahmat seseorang yang tidak mampu. Karena kalau tidak mampu, dia kawin itu mencelakakan dirinya sudah membuat hidupnya susah, kemudian di akhirat susah karena berlaku tidak adil," ujarnya.

Dalam keterangan dakwah Ust DR Syafiq Bin Riza Salim Basalamah, di channel YouTube Salwa TV, 2 Februari 2016 silam, diterangkanlah bahwa sebenarnya ukuran amalan seseorang tak hanya ditentukan dari dirinya berpoligami atau tidak.

"Ingat, orang yang tidak poligami belum tentu lebih baik dari orang yang poligmi. Dan orang yang poligami belum tentu lebih baik dari yang tidak poligami," tuturnya.

"Orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian bukan yang paling banyak istrinya, bukan yang paling banyak hartanya bukan yang paling tampan wajahnya bukan yang paling pandai berbicara tapi mereka orang yang paling bertakwa kepada Allah," tambahnya.

Ia pun tidak melarang maupun menganjurkan untuk seorang pria berpoligami karena memang ada ayat yang memperbolehkannya dan ada imbas dari perbuatan poligami.

"Perintah ini untuk diperbolehkan saja. Bagi yang mau ya silakan bagi yang merasa butuh. Maka sebagian ulama hukum nikah bisa jadi wajib apabila takut berbuat zina," urainya.

"Yang jelas poligami berat buat orangtua, ketika anak gadisnya dipinang oleh seorang lelaki, bisa jadi orangtua anak itu marah. Bisa jadi orangtua itu hanya ingin anaknya menikah dengan satu orang," tukasnya.

Membicarakan UU Pernikahan

Meski belum ada solusi konkrit mengenai perdebatan soal poligami, sebenarnya poligami sudah punya aturan jelas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan/UUP), negara telah mengatur bagaimana prosedur dan syarat seorang laki-laki jika ingin menjadikan perempuan lain sebagai istri keduanya.

Dalam Pasal 3 ayat (2) berbunyi “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”

Pasal 4 ayat (1) juga menyebutkan bahwa seorang suami yang berniat poligami wajib hukumnya mengajukan permohonan pada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

Apakah lantas artinya seorang laki-laki jalan dengan mudah untuk poligami?

Dalam UU Perkawinan definisi pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ada poligami bukan berarti tak ada prinsip monogami. Prinsip monogami ini ada dalam Pasal 3 ayat (1). Pada prinsip pernikahan monogami (hanya memiliki satu pasangan) bunyinya “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”

Poligami dari sudut undang-undang pun diperbolehkan dengan syarat-syarat ketat yang tentunya mengaitkan istri pertamanya. Pria yang akan berpoligami, haruslah mengetahui kondisi istri yang dipoligami dan memenuhi tiga syarat menurut UU Perkawinan Pasal 4. Di antaranya, tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.

Tak sampai di situ, si pria pun harus menilik Pasal 5, untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan. Dengan syarat pokoknya poligami harus diketahui dan disetujui istri pertama alias tak boleh dilakukan sembunyi-sembunyi.

"Jika syarat ini terpenuhi, maka demi kesejahteraan semua pihak, sang suami harus mampu untuk menjamin keperluan-keperluan hidup semua istri dan anak-anaknya. Terakhir, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka," seperti tertuang dalam Pasal 5. (nhn)

Berita terkait