Masjid Ad-Darojat Yogyakarta, Mati Suri Zaman Jepang

Masjid Ad-Darojat Yogyakarta, salah satu pusat syiar Islam yang pernah mati suri zaman Jepang
Masjid Ad-Darojat Babadan milik Keraton Yogyakarta yang berada di Desa Babadan Baru, Kecamatan Banguntapan, Bantul. (Foto: Tagar/Ridwan Anshori)

Bantul - Keraton Yogyakarta, sebagai pewaris Mataram Islam, memiliki banyak masjid sebagai pusat syiar Islam. Dalam catatan Tepas Tanda Yekti Keraton Yogyakarta, ada 40 masjid yang merupakan kagungan dalem (milik Keraton).

Masjid tersebut tersebar tidak hanya di wilayah DIY. Banyak juga yang berada di luar DIY, yang saat itu menjadi wilayah kekuasaan Keraton.

Dari sekian banyak kagungan dalem itu, ada lima masjid disebut pathok nagari. Lima masjid tersebut berada di empat mata penjuru mata angin dari Keraton Yogyakarta.

Salah satunya pathok nagari Masjid Ad-Darojat yang berada di Kauman Babadan, Kecamatan Banguntapan, Bantul. Masjid ini sebagai pathok nagari bagian timur.

Masjid Ad-Darojat BabadanMasjid Ad-Darojat Babadan milik Keraton Yogyakarta yang berada di Desa Babadan Baru, Kecamatan Banguntapan, Bantul. (Foto: Tagar/Ridwan Anshori)

Dalam sejarahnya, Masjid Ad-Darojat dibangun oleh pendiri Keraton Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan HB I pada 1774. Luasnya 120 meter persegi di atas Sultan Ground.

Menurut Tarmudzi, tokoh masyarakat setempat, masjid ini pernah mengalami tidur panjang, ditinggalkan sebagian besar warga setempat. Kehidupan masyarakat santri di lokasi tersebut berhenti.

Alasannya, pada masa pendudukan Jepang tahun 1940, wilayah tersebut dijadikan pangkalan militer oleh pasukan Jepang. Mayoritas warga dipaksa mengungsi. Masjid ini pun menjadi tidak terurus.

Setelah Jepang kalah Perang Dunia II, mereka kembali ke negaranya. Perluasan pangkalan militer akhirnya batal dilakukan. Sekitar 1950-an warga sekitar masjid kembali ke kampung halamannya.

Pada 1960-an, warga bernama Muthohar berkeinginan kembali membangun masjid yang mati suri tersebut. Raja Keraton Yogyakarta pada saat itu, Sri Sultan HB IX merespons dan membangunnya kembali hingga berdiri sampai sekarang.

Masjid tersebut lalu diberi nama Ad-Dorajat. Nama itu sebagai penghargaan kepada Sri Sultan HB IX yang juga sering disapa Ndoro Jatun. Nama tersebut tidak lain merupakan nama lahir Sultan HB IX, yakni Gusti Raden Mas Dorodjatun.

Masjid Ad-Darojat BabadanMasjid Ad-Darojat Babadan milik Keraton Yogyakarta yang berada di Desa Babadan Baru, Kecamatan Banguntapan, Bantul. (Foto: Tagar/Ridwan Anshori)

Tarmudzi mengatakan, saat dibangun kembali, masjid mengalami perubahan. Namun arsitektur khas Keraton tetap dipertahankan, seperti masjid pathok negara milik Keraton yang lainnya. "Arsitektur khas Keraton tetap dipertahankan," katanya kepada Tagar belum lama ini.

Arsitektur khas Keraton tersebut misalnya ruang utama bangunan menggunakan konstruksi joglo bersaka (tiang) empat. Bagian serambi masjid menggunakan konstruksi limasan. Di sisi timur masjid juga ada kolam sebagai tempat bersuci sebelum memasuki masjid.

Ahmadi, warga setempat mengatakan, pathok nagari Masjid Ad-Darojat menjadi pusat kegiatan keagamaan warga Badan Baru dan sekitarnya. Pada saat Ramadhan ini, sholat Tarawih sebanyak 11 rekaat. "Empat rekaat dua kali ditambah witir tiga rekaat dan kultum (ceramah)," kata dia.

Dia mengatakan, sore selepas Asyar, masjid juga digunakan untuk pengajian menjelang berbuka. "Tidak hanya warga setempat, warga dari daerah lain juga ikut pengajian sambil berbuka dan sholat berjamaah," tandasnya.

Baca juga:

Berita terkait
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.