Jakarta, (Tagar 27/3/2019) - Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo, Irma Suryani Chaniago mengaku bahwa pihaknya tidak akan ikut campur terkait masa depan pendiri Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, meski Jokowi-Ma'ruf Amin kelak memenangi kontestasi Pilpres 2019.
Dirinya juga menyebut bahwa TKN sama sekali tidak pernah memberikan janji apapun terkait pengubahan status hukum kepada siapapun. Sebab tidak ingin mencampuri kewenangan institusi hukum.
"Presiden tidak boleh mencampuri penegakan hukum. Biar institusi hukum yang selesaikan," kata Irma Suryani melalui keterangan tertulis kepada Tagar News, Rabu (27/3) siang.
"Jika TKN menjanjikan sesuatu, berarti TKN mencampuri kewenangan institusi hukum, itu sama artinya kami otoriter. Tidak boleh itu," imbuhnya.
Menanggapi wacana pemulangan kembali ke Indonesia, sekaligus penghapusan segala tuntutan hukum terhadap Rizieq Shihab oleh kubu Prabowo-Sandi jika mereka menang pemilu, Irma menyerahkan semua penilaian kepada masyarakat.
Sebab kata dia, konstitusi telah menyatakan bahwa pemegang kekuasaan hukum tertinggi adalah lembaga kehakiman. Pengambilalihan oleh presiden, dinilainya sebagai usaha yang tidak elok karena berlawanan dengan konstitusi.
"Biar nasyarakat yang menilai. Konstitusi kita menyatakan, pemegang kekuasaan hukum tertinggi adalah lembaga kehakiman. Kalo presiden ambil alih, itu namanya melanggar konstitusi dan otoriter," tegasnya.
Dihubungi secara terpisah, pengamat politik yang juga peneliti LIPI Wasisto Raharjo Jati menilai, status hukum Rizieq Shihab akan tetap sama jika Jokowi kembali menjabat presiden.
"Saya pikir kalau Jokowi menang, status hukum HRS mungkin masih status quo seperti ini," ungkap Wasisto Jati.
Namun begitu, status bisa saja berubah mengingat Jokowi sebelumnya juga pernah berencana membebaskan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir.
Seorang presiden memiliki hak pemberian grasi dan abolisi untuk mengubah status hukum Rizieq Shihab, karena status istimewanya.
"Atau malah mungkin diputihkan. Diputihkan mungkin seperti halnya Baasyir. Itu lebih pada politik akomodasi," tutupnya. []