Mantan Preman Jadi Penghapus Tato di Sleman

Prianggono 43 tahun, seorang mantan preman, membuka jasa menghilangkan tato gratis dan mendirikan panti asuhan bernama Daarul Qolbi di Sleman.
Antrean orang-orang yang ingin menghapus tato di Warung Kongsuu, Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Selasa, 11 Februari 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sleman - Seorang mantan preman, Prianggono, 43 tahun, membuka jasa menghilangkan tato gratis dan mendirikan panti asuhan bernama Daarul Qolbi di Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa YogyakartaPenampilan Pri, sapaan akrab Prianggono, tidak seperti pemilik panti asuhan kebanyakan, yang rapi dan terlihat lembut. Saat ditemui di tempat penghapusan tato, Pri mengenakan kaus oblong dan sarung.

Rambutnya yang ikal sedikit acak-acakan, kacamata hitam nangkring mulus di keningnya. Tato berbentuk kawat berduri menghiasi sekeliling lehernya. Sekilas masih menunjukkan gaya orang jalanan pada umumnya. Kesan itu semakin menguat saat melihat sorot matanya. Tajam dan tidak bisa menyembunyikan watak keras pemiliknya. Namun itu semua diimbangi dengan sapaan ramah dan senyum.

Tangannya meraih sebungkus rokok kretek, kemudian menyulutnya. Tapi, baru beberapa kali isap, bara api di ujung rokok itu kembali padam. Membuatnya harus menyalakan korek dan menyulutnya lagi.

Setelah beberapa kali mengisap rokok, Pri meletakkan batang tembakau itu, ia mengenakan kacamatanya dan kembali melakukan aktivitas, menghilangkan tato pada bagian tubuh 'pasiennya'.

Tangan kanannya memegang pangkal penembak laser dari mesin penghapus tato, sementara tangan kiri memegang ujungnya, sambil mengarahkan sinar berwarna hijau pada bagian tubuh yang bertato.

Suara sinar laser yang mengenai kulit 'pasien' meletup-letup pelan, seperti suara kuku yang saling beradu berulang kali.

Di depan ruangan kecil yang terletak di bagian belakang Warung Kongsuu milik Pri tu, belasan orang menunggu giliran untuk dihilangkan tatonya. Sebagian duduk di teras, lainnya berdiri di sekitar tempat itu.

Setelah selesai menghapus tato seorang pria paruh baya, Pri menceritakan awal hijrahnya dan mendirikan panti asuhan.

Uang gajian jadi debt collector, sering saya sedekahin, kadang di panti asuhan, kadang di jalan.

Menghapus TatoPrianggono, menghilangkan tato milik pasiennya, Agus Purnomo, di Warung Kongsuu, Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Selasa, 11 Februari 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Berangkat dari Jalanan

Pri mengaku dulunya adalah 'orang tidak enak' yang hidup di jalanan di Semarang. Saat itu ia 'memegang' 20 ruko di Pamularsih. Ia juga menempati salah satu ruko, yang digunakannya untuk menampung barang-barang curian dari rekan-rekannya.

"Lumayan, saya dapat jatah dari toko-toko, ada 20 toko yang saya pegang. Terus kalau teman-teman habis nyuri yang jual saya. Mereka bawa ke ruko yang saya tempati. Ada salah satu ruko milik orang China tapi boleh saya pakai," kenangnya.

Setelah menikah, Pri berniat hijrah dari dunia gelap yang dijalaninya. Ia pindah ke Sleman bersama keluarganya. Waktu itu tahun 2010.

Saat ditanya alasan hijrah, apakah karena dikejar-kejar polisi atau hal lain, Pri tertawa. Ia mengaku beberapa kali berkasus dan dibawa ke polisi, tapi ia tidak pernah merasakan dinginnya penjara.

"Aku kalau kasus, dulu ada beberapa yang sampai di kepolisian, tapi enggak sampai di penjara ya, karena saya harus pintar, cerdik supaya lolos. Ya hijrah karena memang saya berpikiran, urip kok ngene-ngene wae (hidup kok begini-begini saja), uang ada tapi maksiat jalan terus," tuturnya.

Pri sadar harus mengawal keluarganya dan menjadi imam untuk anak dan istrinya. Ia mengaku tidak tahu apa yang menyebabkan bisa berubah, semuanya seperti tiba-tiba.

Menurutnya, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan ia mendapatkan hidayah dan berubah, salah satunya adalah mukjizat dari sedekah. Kata dia, dulu ia rajin bersedekah kepada orang-orang yang tidak mampu.

"Kalau uang setoran jadi preman buat mabuk. Tapi uang gajian jadi debt collector, sering saya sedekahin, kadang di panti asuhan, kadang di jalan," kata dia sambil tertawa renyah.

Menghapus TatoPrianggono, menghilangkan tato milik pasiennya, Agus Purnomo, di Warung Kongsuu, Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Selasa, 11 Februari 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Mendirikan Panti Asuhan dan Hapus Tato

Setelah hijrah dan pindah ke Sleman, pria yang menjadi mualaf pada 2004 ini mendirikan panti asuhan sekaligus pesantren, yang diberi nama Daarul Qolbi, di Prigen, Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, kampung istrinya.

Orang tua dan keluarganya yang saat ini masih nonmuslim, kata dia, juga mendukung hal yang dilakukannya. Bahkan silaturahmi dengan keluarganya berjalan dengan baik.

Awalnya Pri menggunakan rumah mertuanya untuk dijadikan panti asuhan. Tapi dua tahun kemudian, ia sudah bisa membangun gedung sendiri untuk panti asuhannya, dan saat ini ia merawat 21 anak di sana.

Mayoritas anak panti asuhan yang dikelolanya adalah siswa SMP, ada juga siswa SMA, jumlahnya lima orang. Selain itu ada siswa SD dan balita. Semuanya bersekolah di luar panti, tapi mereka tinggal dan mengaji di pesantren panti itu

"Awalnya bikin panti karena merasa banyak dosa, dan pengen bermanfaat. Pengennya ada sesuatu yang bisa di-bargaining-kan, dalam arti sisa umur harus lebih baik daripada yang kemarin. Harapannya juga Allah rida dengan yang saya lakukan," tuturnya.

Untuk membiayai anak-anak panti asuhan itu, Pri membuka warung kuliner Kongsuu. Selain itu, ia juga menggunakan uang infak dari orang-orang yang dihilangkan tatonya untuk biaya sekolah anak-anak tersebut. Uang infak itu juga digunakan untuk operasional penghapusan tato, di antaranya membeli krim.

"Infak ini buat bayar sekolah anak-anak panti juga, tatonya hilang tapi pahalanya mengalir," ucapnya.

Menghapus TatoAntrean orang-orang yang ingin menghapus tato di Warung Kongsuu, Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Selasa, 11 Februari 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Banyak Antrean dan Kurang Mesin

Seorang ibu tiba-tiba muncul dan menanyakan antrean penghapusan tato. Ia mendapatkan nomor antre 39. Saat itu masih sekitar pukul 11.05 WIB, tapi Pri baru menghapus tato 14 'pasien'. Pri mempersilakan ibu itu untuk menunggu sesuai antrean.

Pri bercerita, membuka jasa hapus tato karena kasihan pada orang-orang yang berniat menghapus tato tapi memiliki kendala. Ia pernah mendapati seorang ibu yang ingin menghapus tato anak perempuannya, tapi penghapus tato itu memberi syarat harus menyetor hapalan Alquran.

"Dia enggak bisa dengan syaratnya. Akhirnya saya pengin mewujudkan hapus tato tanpa syarat untuk calon penghuni surga, karena semua orang adalah calon penghuni surga. Saya buat wadah yang jadi jalan untuk teman-teman yang enggak mampu dengan syarat itu," tuturnya.

Dengan adanya wadah itu, Pri berharap banyak orang yang merasakan manfaatnya. Hal itu terbukti dengan banyaknya orang yang datang, bahkan bukan hanya dari sekitar Yogyakarta saja.

Menghapus TatoAnak buah Prianggono mengoleskan krim pada tato salah satu pasien, di Warung Kongsuu, Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Selasa, 11 Februari 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Pri setiap hari membuka jasa layanan hapus tapo pada pukul 09.30 WIB dan tutup pada pukul 17.00 WIB, tapi biasanya 'pasien' sudah datang pada pukul 06.00 WIB, agar mendapatkan nomor antrean paling dulu.

"Alhamdulillah responsnya bagus. Sebenarnya akan lebih bagus kalau ada satu mesin lagi, supaya antreannya tidak terlalu lama. Mohon doanya agar segera punya mesin kedua, supaya lebih bermanfaat. Satu mesin harganya Rp 45 juta tapi sama distributornya didiskon jadi Rp 40 juta karena untuk kegiatan sosial," tuturnya.

Waktu yang dibutuhkan untuk menghapus sebidang tato, kata dia, tergantung besar gambar, warna tato, dan usia tato. Jika tato berwarna hitam dan tidak terlalu dalam, tidak butuh banyak waktu. Tato yang sulit dihilangkan adalah yang berwarna hijau. Proses penghilangan tato kadang tidak bisa sekali 'tembak', tetapi hingga beberapa kali.

Mengenai tatonya sendiri yang tidak dihapus, Pri mengatakan tato itu bukan tidak mau dihapus, tapi belum dihilangkan. Ia mempunyai satu alasan untuk belum menghapus tatonya. "Bukan enggak dihilangkan, belum. Karena kan kita butuh. Kalau kita mau dakwah kan juga butuh satu frekuensi. Jadi kalau teman-teman yang bertato ingin menghapus tatonya, saya bertato kan enak ngobrolnya. Eh, masnya yang hapus tato bertato juga. Mosok saya harus pakai peci, pakai baju koko, pakai sarung, pakai tasbih kan nanti malah pada pergi."

Menghapus TatoPrianggono bersama seorang pemuda yang ingin dihapus tatonya, di Warung Kongsuu, Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Selasa, 11 Februari 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Lebih Sakit Menghapus

Budi Purnomo 43 tahun, seorang 'pasien' yang sudah melalui proses penghapusan tato oleh Pri, mengaku proses penghapusan tato tidak sakit tetapi panas. Meski demikian, penghapusan itu lebih sakit daripada saat membuat. 

"Enggak sakit, cuma panas gitu. Kalau sama bikinnya, lebih sakit ngilangin-nya. Ini cuma sekali karena ini kan enggak tebal, enggak dalam gitu. Kebetulan punya saya ini buatan tahun 1988," ucapnya.

Pria yang membuat tatonya saat masih SMP ini mengaku menghapus tato karena malu pada anak-anaknya yang sudah beranjak besar. Selain itu, ia juga ingin membersihkan diri.

"Terus, mohon maaf ya, kita ini kan muslim. Waktu dulu kan masih kecil, masih SMP, jadi belum berpikir panjang. Sekarang malu sama anak-anak dan yang paling di hati adalah pengin membersihkan diri," tuturnya.

Mengenai biaya yang dipatok untuk menghapus tato, Budi mengatakan, pihak Pri tidak mematok harga, hanya seikhlasnya. Tapi, sebaiknya mereka yang tatonya dihapus, juga sedikit pengertian agar tidak memberikan infak yang sangat minim.

"Biayanya boleh dibilang seikhlasnya, tapi kan kita juga harus pengertian. Kan tahu berapa biayanya kalau di dokter, nah kalau saya ya jangan terus seasalnya." []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Kisah Inspiratif 2 Jurnalis Yogyakarta
Dua jurnalis inspiratif di Yogyakarta, Hendy Kurniawan dan Boy T Harjanto. Apa yang mereka lakukan untuk kehidupan mengundang rasa haru.
Saat Terakhir Gus Sholah di Ponpes Tebuireng
Lantunan ayat-ayat suci Alquran menggema di seluruh sudut Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, pada saat penghormatan terakhir untuk Gus Sholah.
Benarkah Bengkel Ketok Magic Memakai Jin?
Mobil masuk bengkel ketok magic tidak boleh dilihat proses pengerjaannya. Ini menimbulkan bisik-bisik ketok magic memakai kesaktian jin. Benarkah?
0
Indonesia Akan Isi Kekurangan Pasokan Ayam di Singapura
Indonesia akan mengisi kekurangan pasokan ayam potong di Singapura setelah Malaysia batasi ekspor daging ayam ke Singapura