Mantan Nakhoda Ubah Sekapuk Jadi Desa Miliarder (2)

Tidak mudah bagi Abdul Halim, seorang mantan nakhoda kapal yang menjabat sebagai Kepala Desa Sekapuk, Gresik, untuk mewujudkan impiannya.
Seorang penari berpose di lokasi wisata Selo Tirto Giri, Desa Sekapuk, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik. (Foto: Tagar/DOk Desa Sekapuk)

Jakarta – Sesekali Abdul Halim memperbaiki posisi duduknya yang menghadap kamera. Tak jarang jenggot panjangnya yang terjuntai hingga ke dada ikut bergoyang, saat dia bergerak maju atau mundur.

Masih dengan intonasi suara yang sesekali terdengar lembut, meski tak jarang tiba-tiba tampak bersemangat, dia melanjutkan kisahnya mengubah Desa Sekapuk, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, dari desa tertinggal menjadi desa mandiri, bahkan kini menjadi desa miliarder.

Sebelumnya dia mengisahkan tentang upayanya membangun desa wisata melalui tabungan warga, yang hasilnya bisa mencapai miliaran rupiah per tahun, baik dari Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) maupun dari kegiatan PKK menjual makanan khas daerah setempat.

Pendapatan Asli Desa (PADes) Sekapuk yang mencapai miliaran rupiah itu secara signifikan juga mengubah program-program yang dilaksanakan oleh pemerinta desa. Salah satunya adalah beasiswa untuk anak yatim warga Desa Sekapuk.

Beasiswa Rp 100 Juta

Saat ini anak yatim yang tinggal di Desa Sekapuk tidak perlu lagi khawatir putus sekolah karena kekurangan biaya. Pemerintah desa telah mengalokasikan anggaran hingga Rp 100 juta untuk masing-masing anak yatim melanjutkan sekolah.

Cerita Desa Sekapuk (2)Suasana di salah satu candi yang berada di obyek wisata Selo Tirto Giri, Desa Sekapuk, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. (Foto: Tagar/Dok Desa Sekapuk)

Bukan hanya anak yatim. Sebagai rasa terima kasih dan penghargaan pihak desa kepada para penghafal Quran di tempat itu, mereka diberi kesempatan melanjutkan kuliah hingga jenjang sarjana strata 1 (S1) dengan beasiswa dari pemerintah desa.

“Kemudian kami juga sudah menyiapkan beasiswa Rp 100 juta untuk anak yatim, sekaligus untuk membiayai penduduk yang hafal Quran untuk melanjukan kuliah S1, apa pun jurusannya. Desa siap membiayai. Tdak harus 30 juz, bisa 15 atau 10 juz,” kata Abdul Halim saat diwawancarai oleh Fetra Tumanggor, Pemimpin Redaksi Tagar, melalui konferensi video.

Selain bentuk rasa terima kasih pada mereka, kesempatan mendapatkan beasiswa hingga jenjang S1 tersebut sekaligus bentuk upaya dari pemerintah desa agar masyarakatnya cinta kepada agama dan Alquran.

Siapa pun warga Sekapuk yang hafal Quran 10 juz ke atas bisa mendapatkan haknya berupa beasiswa S1. Ini langkah sebelum kita jadikan desa miliarder.

Sejak dilantik pada 12 Desember 2017, kata Abudl Halim, dirinya dan perangkat desa tidak pernah libur. Dia meminta komitmen dari para perangkat desanya, mereka harus siap untuk kerja, tidak libur dalam 100 hari, sebab harus membenahi kondisi yang ada.

Minimal mereka harus menata administrasi, agar yang menjadi keputusan kepala desa tidak nyasar dan harus tepat saasaran.

Mereka mulai mendata jumlah penduduk produktif, jumlah lansia, jumlah pengangguran, dan lingkungan mana saja yang kumuh serta tidak tertata agar pembenahannya bisa didahulukan.

Pada bulan keenam kepemimpinannya, dilaksanakan pemilihan RT serentak. Abdul Halim mengaku menyadari bahwa ujung tombak pemerintahan di desa adalah RT. Mereka berfungsi untuk menjadi pihak yang menyampaikan program desa pada warga dan sebaliknya, yakni menyampaikan kebutuhan warga pada perangkat desa.

Hal pertama yang dilakukan untuk para Ketua RT tersebut adalah memberikan insentif sebesar Rp 200 ribu untuk mereka, yang sebelumnya sama sekali tidak ada.

Insentif sebesar RP 200 ribu itu kemudian ditabung, sekaligus menjadi contoh untuk warga agar mereka turut menabung untuk membangun desa.

Setelah sebagian besar penataan dilaksanakan dan obyek wisata terbentuk, saat ini penghasilan terbesar Desa Sekapuk adalah dari wisata dan tambang. Selain itu ada juga produksi bata dan air minum swadaya.

Masih Ada Warga Miskin

Meski saat ini pendapatan asli desa (PADes) Sekapuk sudah mencapai miliaran rupiah per tahun, tapi berdasarkan data masih ada sekitar 259 keluarga yang tercatat sebagai warga miskin. Mereka juga terdaftar sebagai penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Nontunai (BPNT).

Cerita Desa Sekapuk (3)Seorang model berpose di depan salah satu candi yang ada di obyek wisata Selo Tirto Giri, Desa Sekapuk, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. (Foto: Tagar/Dok Desa Sekapuk)

Tapi menurutnya, kemiskinan itu bukan miskin secara ekonomi, melainkan miskin secara mental.

“Nantinya juga akan menjadi progres, untuk memahamkan mereka bahwa pada dasarnya bukan miskin secara ekonomi tapi miskin secara mental. Nanti bisa didatangi ke sini, sudah saya sampaikan pada dinas juga, silakan didatangi, layakkah mereka dikatakan miskin kalau motornya NMax, kulkasnya dua, rumahnya keramik,” kata Abdul Halim.

Abdul halim menambahkan, pihaknya telah menempeli rumah-rumah warga yang terdaftar sebagai penerima bantuan PKH dan BPNT tersebut dengan stiker bertulis warga miskin.

Dengan penempelan stiker tersebut, mau tidak mau tetangga mereka yang tadinya tidak mengetahui bahwa mereka mengaku miskin akhirnya tahu.

“Nah ini tinggal pemerintah, sampai kapan mau menindak? Atau mau dibiarkan begitu saja. Kalau harapan saya pemerintah turun meninjau kembali 256 keluarga itu,” harapnya.

Upaya penempelan stiker itu sekaligus merupakan upaya menyelamatkan uang negara dari salah sasaran penerima manfaat, juga untuk mengedukasi mereka.

Halim mengakui upaya yang dilakukannya tersebut tidak menutup kemungkinan membuat para warga itu membencinya dan tidak akan memilih dirinya kembali pada pemilihan kepala desa periode selanjutnya.

Cerita Desa Sekapuk Gresik (2)Abdul Halim (tengah), Kepala Desa Sekapuk, Gresik, Jawa Timur, bersama perangkat desa meninjau lokasi wisata di kampungnya, Selo Tirto Giri. (Foto: Tagar/Dok Desa Sekapuk)

“Tentunya mereka kecewa, saya ini jabatan politis, tidak menutup kemungkinan bahwa kalau saya mau maju lagi juga butuh dukungan. Tapi apa yang saya lakukan? 256 rumah saya tempeli. Kalau satu rumah ada empat orang, berapa suara yang hilang.”

Bukan hanya memberdayakan warga, memberi beasiswa, dan meningkatkan penghasilan desanya. Uang miliaran rupiah yang dihasilkan dari bumdes itu juga digunakan untuk membebaskan warganya dari utang pada renternir.

Pihaknya telah mengucurkan dana sebesar Rp 829 juta untuk membebaskan warga dari jerat renternir.

“Ada yang punya utang Rp 6 juta, kita bayarkan kemudian mereka tinggal membayar ke bumdes dengan menyicil tanpa bunga,” kata Abdul Halim.

Disebut Gila

Dibutuhkan lebih dari sekadar niat dan kemampuan manajemen yang baik untuk menjadikan Desa Sekapuk menjadi desa miliarder seperti saat ini.

Abdul Halim mengaku sempat disebut “gila” oleh sebagian warga saat dirinya menjelaskan visi dan misinya ketika bertarung dalam pemilihan Kepala Desa Sekapuk. Padahal dirinya sudah berpikir cukup keras untuk menciptakan rancangan inovasi.

“Ini yang membuat saya berpikir keras, menciptakan lapangan kerja yang memiliki multiefek dan nilai manfaat ekonomi, saya harus bikin obyek. Kalau daerah, pemerintah pusat punya BUMN, pemerintah provinsi dan kabupaten punya BUMD, dan ketika bicara desa, ada undang-undang kewenangan desa, di situ ada bumdes, kenapa tidak kita kelola dengan baik,” kata dia.

Saat itu dia menginginkan agar bumdes yang ada di desanya digarap secara profesional, layaknya perusahaan. Waktu itu dia menilai ada penjajahan ekonomi pada kegiatan bumdes di Sekapuk.

“Kenapa saya bilang penjajahan ekonomi, karena waktu itu memang ada bumdes tapi saya katakan mandul, dengan gaji Rp 400 ribu. Dari Rp 400 ribu saya ubah jadi Rp 4 juta supaya dia serius. Jam kerjanya diatur dan punya tagert capaian, mengarah ke wisata.”

Wisata yang diciptakan adalah wisata yang sehat. Di sana tidak ada minuman saset maupun minuman bersoda. Yang ada hanya minuman alami hasil karya ibu-ibu Sekapuk. Bukan karena pihaknya tidak pro dengan perusahaan-perusahaan minuman, tetapi lebih pada pemberdayaan dan pelestarian kuliner lokal.

“ Namanya juga tidak usah ikut-ikuan. Kalau namanya lopis ya biar aja lopis, tinggal diviralkan saja. Yang tidak tahu ya biar mencoba. Ada samilir, makanan orang zaman dulu, dari singkong yang dilembutkan. Sekarang jadi cemilan favorit,” ujarnya.

“Saat itu di daerah Sekapuk saya dianggap “gila” karena tempat itu dari dulu seperti itu, apanya yang mau dipakai sebagai tempat wisata. Saya sampaikan ke masyarakat, kita lahir di sini, apalagi kalau takdir kita dapat jodoh di sini, kerja di sini, maksudnya di gunung kapur itu, sehingga tidak ada yang menarik bagi kita karena mulai lahir, belajar berjalan dan bermain di sini, jadi tidak ada yang indah.”

Tapi, lanjutnya, bagi orang luar Desa Sekapuk, kondisi desa mereka, tidak menutup kemungkinan akan memancing keinginan untuk datang. Mereka akan tertarik pada batu kapur berwarna putih, bekas tambang yang luar biasa, yang konon leluhur kami jadi korban kerja paksa dari Daendells, dan kelebihan lain.

“Dari sinilah, sekali lagi tidak semua sepakat. Tapi kita ibsa mengondisikan yang sepakat itu menjadi pokdarwis (kelompok sadar wisata). Sehingga saya bentuk pokdarwis. Tidak bisa kita harus terbang semua atau berenang semua, tidak.” (Bersambung) [] 

Berita terkait
Mantan Nakhoda Ubah Sekapuk Jadi Desa Miliarder (1)
Abdul Halim, seorang mantan nakhoda kapal yang kini menjabat sebagai Kepala Desa Sekapuk, Gresik, berhasil mengubah wajah desanya.
Sekerat Rindu dalam Sebait Nandong Simeulue Aceh
Teriakan mereka terasa mengusik, sesekali lelaki itu menggerutu karena dongkol.
Sejarah Panjang Tugu Pal Putih di Yogyakarta
Tugu Pal Putih yang menjadi ikon Yogyakarta memiliki sejarah panjang, mulai dari perubahan bentuk hingga filosofis pada saat dibangun.