Jakarta, (Tagar 30/10/2017) – Ingat nama Gajah Mada ingat sumpahnya yang terkenal, yakni Sumpah Palapa. Dalam sumpahnya Gajah Mada menyatakan tak akan memakan ‘palapa’ sebelum berhasil menyatukan Nusantara.
Dalam sejarah Indonesia, Gajah Mada adalah salah satu Pahlawan Nasional. Lantaran sumpah yang ia ucapkan, namanya menjadi simbol nasionalisme dan persatuan Nusantara.
Di zaman Kerajaan Majapahit, Gajah Mada adalah seorang panglima perang, termasuk tokoh berpengaruh. Berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti zaman Jawa Kuno menyebutkan, Gajah Mada memulai karirnya tahun 1313.
Pasca peristiwa Pemberontakan Ra Kuti, pamornya menanjak pada masa pemerintahan Sri Jayanegara, yang mengangkatnya sebagai Patih.
Selanjutnya ia menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, kemudian menjabat Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaan.
Meski saat itu ia menjadi salah satu tokoh sentral, namun catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai kehidupan dan perjalanan karier Gajah Mada sangat minim. Wajah yang sesungguhnya pun hingga kini masih kontroversial.
Masa Kecil di Madakaripura
Masa kecil Gajah Mada juga termasuk kontroversial. Pasalnya, tak ada informasi memadai yang secara komprehensif mengupas awal kehidupan Gajah Mada secara akurat. Namun demikian, salah satunya, masa kecil Gajah Mada kerap dihubung-hubungkan dengan kawasan Madakaripura yang terletak di Kabupaten Probolinggoi, Jawa Timur.
Disebutkan, sejak masa kecil Gajah Mada telah dikenal pintar dan mempunyai beberapa kesaktian setelah mengenyam ilmu di salah satu tempat yang kini menjadi tempat wisata, yakni Air Terjun Madakaripura.
Diungkapkan, pada umur tujuh tahun, Gajah Mada dilatih oleh seorang mantan panglima Kerajaan Singhasari bernama Eka Jaladri. Panglima ini mengajari Gajah Mada mengusai ilmu politik dan ilmu beladiri kanuragan.
Perguruan tempat Gajah Mada menimba ilmu itu bernama Eka Paksi.
Teman seperguruannya di Eka Paksi adalah Kebo Narawita, Kebo Narameta, Ken Wirati, dan Lembu Abang, yang dilatih Eka Jaladri selama bertahun-tahun.
“Di Madakaripura, ada lima yang mengikuti perguruan Eka Paksa, yaitu Kebo Narawaita, Kebo Narameta, Ken Wirati, Gajah Mada, dan Lembu Abang,” kata Suhardi di Probolinggo.
Setelah berusia 17 tahun, Gajah Mada dibawa ke Kerajaan Majapahit untuk menjadi panglima perang. Oleh karena kekuatan dan kepintarannya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih, kemudian meningkat menjadi Mahapatih hingga mengantarkan Majapahit mencapai puncak kejayaannya dan dia diangkat menjadi Amangkubhumi (Perdana Menteri).
Namun catatan lain menyebutkan, Gajah Mada dilahirkan sebagai seorang biasa yang kariernya naik menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan Bhayangkara pada masa Raja Jayanagara (1309-1328). Disebutkan, Gajah Mada memiliki nama lahir Mada, sedangkan sebutan Gajah Mada merupakan nama yang disandangnya sejak menjabat sebagai patih.
Bukan hanya Probolinggo yang mengklaim Gajah Mada sebagai milik daerahnya. Dalam pupuh Desawarnana atau Nagarakrtagama karya Prapanca yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun1894, terdapat informasi yang menyebutkan Gajah Mada adalah patih dari Kerajaan Daha, kemudian menjadi patih Kerajaan Daha dan Kerajaan Jenggala.
Jabatan patih itu kemudian membawa Gajah Mada masuk ke dalam strata sosial elitis saat itu. Gajah Mada digambarkan sebagai “seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat.”
Pararaton menyebutkan, Gajah Mada adalah komandan pasukan khusus Bhayangkara yang berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti. Dia menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) putra Raden Wijaya dari Dara Petak.
Selanjutnya Gajah Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan tahun 1319. Dua tahun kemudian diangkat sebagai Patih Kediri. Pada tahun ini pula, Arya Tadah atau Mpu Krewes selaku Patih Majapahit ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya.
Diungkapkan, ditunjuk seperti itu tak langsung membuat Gajah Mada setuju. Gajah Mada menyatakan ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng. Saat itu Keta dan Sadeng tengah melakukan pemberontakan terhadap Majapahit.
Akhirnya, setelah Keta dan Sadeng ditaklukkan, Gajah Mada pada tahun 1334 diangkat menjadi Mahapatih secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1351) yang waktu itu memerintah Majapahit setelah terbunuhnya Jayanagara.
Lima Makam
Bukan hanya kelahiran dan latar belakang Gajah Mada yang menjadi misteri. Kematian tokoh yang kesohor dengan Sumpah Palapa ini pun simpang siur.
Dalam Kitab Kakawin Nagarakretagama disebutkan, sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping (daerah Purwakarta, Jawa Barat), dia menjumpai Gajah Mada telah sakit. Gara-gara sakitnya, Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.
Apabila Kitab Kakawin Nagarakretagama menyebut Gajah Mada telah wafat pada tahun tersebut, lantas di manakah jenazahnya dimakamkan?
Sampai saat ini makam Patih Gajah Mada pun tak diketahui pasti sebenarnya berada di mana. Pasalnya, sejumlah daerah mengklaim Patih Gajah Mada dimakamkan di daerahnya, misalnya di daerah Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sejumlah tempat yang dipercayai sebagai makam Gajah Mada adalah Situs Wadu Nocu di Desa Padende, Donggo, Bima, Nusa Tenggara Barat. Menurut keyakinan masyarakat setempat, Wadu Nocu adalah makam Gajah Mada. Keyakinan ini diungkapkan secara turun temurun oleh penjaga makam setempat.
Di Selaparang, Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat makam yang juga dipercayai sebagai makam Gajah Mada. Bentuk makamnya seperti sumur bundar dengan susunan batu sungai berukuran sedang yang tertata rapi tanpa tulisan apapun.
Masyarakat Tuban, Jawa Timur juga mengklaim bahwa Gajah Mada dimakamkan di daerah mereka, tepatnya di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Makam ini dikenal dengan nama Makam Barat Ketiga, sebuah istilah bahasa Jawa yang jika dialihbahasakan berarti angin kemarau.
Di Provinsi Lampung juga ada makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Patih Gajah Mada. Makam ini terletak di Pugung Tampak, Kabupaten Liwa, Provinsi Lampung.
Dikisahkan, konon dahulu kala kapal yang ditumpangi Patih Gajah Mada tenggelam di Perairan Pugung. Setelah tiba di Pugung, Gajah Mada jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di Pekon Pugung.
Keyakinan masyarakat setempat dikuatkan dengan adanya pusara makam serta peninggalan berupa keris, mahkota, pedang, tombak, ikat pinggang, ikat kepala, dan peninggalan lainnya. Sejak lama, tempat yang diyakini sebagai lokasi makam Gajah Mada ini hanya berupa gundukan tanah merah. Baru pada 1981 dibangun pagar keliling, kemudian pada 2010 diperbaiki kembali dengan membuat lantai di sekitar lokasi makam.
Warga pesisir pantai antara Pelabuhan Sempo Liya dan Pulau Simpora, tepatnya di Kampung Mada, Desa Matiri, Batauga, Kepulauan Wangi-wangi, Buton, Sulawesi Tenggara juga mengklaim bahwa makam Gajah Mada berada di wilayahnya.
Masyarakat setempat yakin bahwa makam tersebut adalah tempat peristirahatan terakhir Gajahg Mada. Keyakinan ini diperkuat dengan adanya batu prasasti yang dinamakan Batu Mada. Warga Mada juga meyakini bahwa Gajah Mada memiliki banyak kesaktian dan memilih salah satu gua di wilayah Togo Moori sebagai tempat bertapa.
Di gua daratan Pulau Karang Wangiwangi yang bersambung ke laut lepas itulah disebutkan Patih Gajah Mada moksa (menghilang) saat semadi.
Itu antara lain kisah lima makam Gajah Mada yang diyakini warga setempat. Soal kebenarannya belum dapat diketahui secara pasti lantaran belum dibuktikan secara ilmiah.
Satu versi lainnya, Ustadz Emdeka Saka Guru saat berkesempatan mengunjungi makam Raja Islam Sela Parang di Lombok Timur mengungkapkan, petilasan yang berada di komplek makam pendakwah Islam abad ke-14 di Lombok Timur ini dari generasi ke generasi diyakini sebagai lokasi keberangkatan Sang Maha Patih Gajah Mada ketika hendak pergi haji menuju Mekkah.
Emdeka mengungkapkan, penduduk wilayah itu percaya, Patih Gajah Mada setelah masuk Islam dan lengser keprabon berganti nama menjadi Muhammad Rum. Kedatangan Gajah Mada ke Lombok berdasarkan Prasasti Bencangah Punan (1357) yang ditulis dalam aksara Jejawan.
“Menurut Babad Sela Parang, Gajah Mada tidak pernah kembali, karena beliau wafat di kota suci Mekkah,” kata Emdeka. (dbs/yps)