Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Sebagai Penjaga Gawang Kepastian Hukum di Indonesia

Untuk itulah dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang berfungsi sebagai pengawal UUD (the guardian of the the constitution)
Ilustrasi – Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, 23 Mei 2019 (Foto: kompas.com/Antara Foto/Hafidz Mubarok A)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id – Sudah jamak terjadi Undang-undang (UU) berisi muatan kepentingan karena UU merupakan produk lembaga politik yaitu pemerintah dan DPR. Dalam kaitan ini UU yang digugat warga negara, disebut judicial review, akan disidangkan di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) yakni menguji UU tesebut terhadap UUD 1945. Langkah ini dilakukan oleh MK untuk melindungi hak konstitusional warga negara.

Dalam kaitan itulah diperlukan badan atau lembaga yang netral dan kuat untuk memberikan perlindungan hak konstitusional bagi setiap warga negara di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) terkait dengan impementasi UU.

Untuk itulah dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang berfungsi sebagai pengawal UUD (the guardian of the the constitution). Dalam bahasa lain disebut tujuan pembentukan MK sebagai lembaga adalah untuk mengawal proses penegakan hukum di Tanah Air agar sesuai dengan konstitusi yang mengacu pada Pancasila dan UUD 1945.

Secara global Indonesia merupakan negara ke-78 di dunia yang membentuk MK, hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di dunia yang membentuk MK pada abad ke-21 yaitu pada tanggal 13 Agustus 2003.

MK yang berdiri kokoh di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, merupakan sebuah lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu sebagai kewenangannya seperti diamanatkan di dalam UUD 1945 pada Pasal 24C ayat (1). Kedudukan MK sejajar dengan MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK dan Mahkamah Agung (MA).

Jumlah Hakim Konstitusi sebanyak sembilan yang merupakan pejabat negara yang ditetapkan oleh presiden. Asal Hakim Konstitusi diajukan masing-masing tiga oleh Mahkamah Agung (MA), tiga oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga oleh presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi maksimum 15 tahun atau berumur paling tinggi 70 tahun. Usia Hakim Konstitusi paling rendah 47 tahun.

Dengan jumlah ganjil itu putusan MK tidak bisa imbang sehingga hasilnya pasti berupa putusan, yaitu dikabulkan, ditolak dan tidak dapat diterima.

MK menguji UU yang diterbitkan oleh DPR dan Pemerintah terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara serta memutus pembubaran partai politik.

Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak diberi kewenangan menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).

Selain menguji UU terhadap UUD 45, MK juga diberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa pemilihan umum (Pemilu) anggota legislatif pusat dan daerah (DPR/DPRD), pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta pemilihan presiden (Pilpres) dan juga pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Berdasarkan Pasal 474 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, disebutkan bahwa “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional, Peserta Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi.

Perselisihan hasil Pemilu meliputi perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.

Sedangkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil Pemilu untuk presiden dan wakil presiden.

Seperti diketahui, sejak reformasi (1998) Pemilu (DPR/DPRD/DPD), Pilpes dan Pilkada di Indonesia dilakukan secara terbuka dan langsung. Dalam pelaksanaan Pemilu, Pilkada dan Pilpres bisa terjadi sengketa.

Sebelum ada MK proses dan prosedurnya harus melalui jenjang mulai dari pengaduan ke polisi selanjutnya ke kejaksaan dan pengadilan. Ini belum selesai atau belum inkrah (berkekuatan hukum tetap) karena masih ada mekanisme banding ke pengadian tinggi dan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Ini juga belum selesai karena ada peninjauh kembali (PK).

sidang mkIlustrasi - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman (tengah), pimpin sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2019 di MK, Jakarta, 14 Juni 2019. (Foto: kominfo.go.id/Antara Foto)

Maka, dengan adanya MK sengketa terkait dengan Pimilu, Pilkada dan Pilpres ditangani langsung oleh MK dengan kewenangan yang dimilikinya dengan keputusan yang bersifat mengikat dan final. Artinya, keputusan MK tidak bisa lagi digugat bahkan dengan UU sekalipun.

Pada pelaksanaan Pemilu, Pilpres dan Pilkada selalu saja ada perselisihan. Sejak ahun 2004 MK menerima ribuan kasus berupa sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).

Pada Pemilu 2004 MK menerima 560 kasus PHPU, tapi yang bisa sidangkan 376 perkara.

Sementara pada Pemilu 2009 MK menerima 657 kasus pengaduan PHPU yang terdiri atas 627 kasus DPR/DPRD, 27 kasus DPD, dan 2 kasus Pilpres. Sedangkan kasus penyelenggaraan Pemilu pada tahun 2014 MK meneria 902 pengaduan PHPU yang terdiri atas 866 kasus DPR/DPRD, 34 kasus DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan 1 kasus Pilpres.

Pemilu 2019 jumlah pengaduan yang diterima MK sebayak 340 yaitu 330 kasus DPR/DPRD dan 10 DPD.

Nama-nama Ketua MK:

1 Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH (19 Agustus 2003 – 22 Agustus 2006 dan 22 Agustus 2006 – 3 Maret 2009)

2 Prof Dr Mohammad Mahfud MD, SH, SU, MIP (19 Agustus 2009 – 1 April 2011 dan 18 Agustus 2011 – 1 April 2013)

3 Dr H M Akil Mochtar, SH, MH (5 April 2013 – 5 Oktober 2013)

4 Dr Hamdan Zoelva, SH, MH (6 Novemer 2013 – 7 Januari 2015)

5 Prof Dr Arief Hidayat, SH, MS (12 Januari 2015 – 14 Juli 2017 dan 14 Juli 2017 – 2 April 2018)

6 Prof Dr Anwar Usman, SH, MH (2 April 2018 – petahana)

Perkara lain yang pernah disidangkan MK adalah pro dan kontra tentang tembakau dan rokok, yaitu tentang larangan iklan rokok, kandungan zat adiktif pada tembakau, gambar yang meningatkan bahaya merokok pada bungkus rokok, dan tempat khusus bagi perokok.

Ada keputusan MK tentang kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, tentang ketenagalistrikan, penetapan harga BBM dan lain-lain.

Artinya, setiap warga negara boleh mengajukan permohonan judicial review ke MK terkait dengan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan UUD 45. 

Dalam kaitan inilah warga mengharapkan MK jadi tempat yang pasti untuk memperoleh keadilan sebagai hak konstitusional jika berhadapan dengan UU dan perselisihan Pemilu, Pilkada dan Pilpres.

Jika tidak ada MK, maka tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi terkait dengan pelanggaran terhadap hak-hak warga negara serta perselisihan atau sengketa hasil Pemilu, Pilkada dan Pilpres. 

Jika menunggu proses peradilan biasa bisa jadi akan terjadi chaos (kekacauan) yang justru bisa merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Maka, kehadiran MK memberikan kepastian hukum bagi warga negara dengan putusan yang adil dan bijaksana sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 45. []

*Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Ketua DPD RI Ingatkan Tugas Suci Mahkamah Konstitusi
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengingatkan Mahkamah Konstitusi untuk tetap menjalankan tugas suci menjaga konstitusi negara.