Untuk Indonesia

Mahar Politik, Pilkada Langsung, dan Tertutup

Wacana menghentikan pilkada langsung menggelinding. Ironis jika masyarakat dituding penyebab biaya politik pilkada tersebut tinggi.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan keterangan pers usai pelantikan Muda Praja di Kampus IPDN Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis, 31 Oktober 2019. (Foto: Antara/Feri Purnama)

Oleh : Wisnu A.J.

Kontestasi politik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), mulai dari pemilihan gubernur, bupati dan wali kota layaknya seperti pesta pernikahan.

Jika dalam acara pesta pernikahan dimulai dengan acara merisik, pihak laki-laki mengutus orang yang dituakan untuk berkunjung kerumah pihak wanita.

Dalam acara merisik terkadang terselip kata kata berpantun dan tak jarang pula pantun yang disampaikan bersambut sambutan itu penuh kata kata sindiran. Namun diakhir acara kedua belah pihak saling maaf memaafkan, hidangan juadah pun disajikan.

Di acara merisik inilah disampaikan maksud hati untuk meminang anak situan rumah, jika maksud hati gayung bersambut maka acara peminanganpun dilakukan.

Saat acara meminang, barulah besarnya mahar dibicarakan, jika maharnya terlalu tinggi, maka saling tawarpun terjadi. Jika sudah dapat kata sepakat, pembicaraan dilanjutkan dengan menentukan hari pesta pernikahan, kemudian tata cara adat yang digunakan.

Setelah usai acara meminang, maka selanjutnya acara pesta pernikahan pun dilaksanakan, handai tolan, sanak saudara, jiran tetangga pun diundang untuk menghadiri pesta. Seluruh rangkaian acara, mulai dari merisik, kemudian meminang dan besarnya mahar pinangan sampai kepada acara puncak dilakukan secara transparan, tanpa ada yang ditutup tutupi.

Lalu bagai mana dengan konstestasi politik dalam pilkada? Tata caranya hampir sama. Ada acara merisik dan meminang. Jika dalam acara pernikahan tidak ada kata menimbang, akan tetapi dalam pilkada ada kata menimbang. Baru acara pesta, yakni pemilihan.

Calon kepala daerah, apakah ia gubernur, maupun Bupati dan Wali kota dengan tim suksesnya akan melakukan pengrisikan kepada partai politik (parpol) Yang akan menjadi sampan si calon untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Sesudah dirisik, dan terjalin kata mufakat, baru dilanjutkan dengan acara meminang. Idealnya seharusnya partai yang meminang si calon, tapi karena jaman sudah berubah, maka kini si calon pulalah yang meminang partai.

Di saat meminang, di sana dibicarakan besarnya mahar. Besarnya mahar dan terjadinya tawar menawar mewarnai acara peminangan. Jika belum menemukan titik temu tentang tawar menawar mahar maka pihak parpol yang dipinang akan menunda acara peminangan.

Pada masa tenggang waktu inilah parpol dengan segenap elitenya akan melakukan penimbangan terhadap si calon. Elite parpol menimbang si calon lewat rekam jejaknya, berpeluang menang atau tidak jika si peminang dicalonkan.

Akan tetapi jika si calon yang datang meminang tidak mempermasalahkan besarnya mahar pinangan, maka kata menimbang tidak dipergunakan parpol yang dipinang, langsung menerima pinangan, tanpa mempertimbangkan layak atau tidaknya si calon dicalonkan sebagai kepala daerah.

Jika dalam runutan acara pesta pernikahan prosesnya dilakukan secara transparan dan terbuka, berbeda dalam acara konstestasi politik pilkada. Nyaris seluruh rangkaian acara, mulai dari merisik, kemudian meminang dan besarnya mahar pinangan dilakukan secara tertutup, yang tahu hanya si calon dan elite parpol yang dipinang.

Mahar Politik

Benarkah mahar politik di pilkada itu ada? Ini pertanyaan cukup menggelitik yang sulit untuk dijawab. Mahar politik itu sama dengan money politik (politik uang). Menurut Riyas Rasyid, penggagas otonomi daerah (Otda) "Money politik itu ibarat kentut, baunya terasa ada tapi sulit untuk membuktikan siapa yang kentut ".

Akan tetapi jika mengacu kepada apa yang dikatakan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, maka dapat disimpulkan jika mahar politik itu benar adanya.

Tito meminta publik tak menutup mata bahwa biaya politik yang dikeluarkan untuk maju sebagai kepala daerah melalui pilkada langsung sangat tinggi. Mulai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dikeluarkan oleh pemerintah, hingga biaya politik yang dikeluarkan calon demi untuk mendapatkan kenderaan politik dari Partai.

"Bupati kalau nggak punya Rp 30 miliar nggak akan berani. Wali kota dan gubernur lebih tinggi lagi. Kalau dibilang nggak bayar, nol persen saya mau ketemu orangnya ", ujar Tito sambil tertawa dalam rapat bersama Komisi I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), di komplek Parlemen Senayan pada Senin 18 November 2019.

Belum lagi, ujar Tito, " Biaya yang dikeluarkan untuk kampanye dan urusan non teknis, sementara dilihat dari pemasukan dan gaji yang dapat lima tahun kurang lebih paling hanya Rp 12 miliar. Sementara yang keluar Rp 30 miliar. Mana mau tekor. Saya mau hormat itu kalau ada yang mau tekor demi mengabdi kepada bangsa,” ujar Tito. (Tempo.co 18 November 2019).

Bahkan Tito juga menyindir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kerap melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah.

Menurut Tito, di hadapan DPD RI , OTT kepala daerah yang dilakukan oleh KPK, bukanlah suatu prestasi yang hebat, OTT kepala daerah yang selama ini bukan sesuatu yang luar biasa, bukan prestasi hebat.

Tito mengatakan sistim politik Indonesia yang memakan biaya politik tinggi membuka peluang kepala daerah melakukan korupsi, sehingga, ujar Tito, mudah sekali menarget kepala daerah yang melakukan korupsi.

Ongkos tinggi itu membuat dia cari balik modal, sehingga ya tinggal menggunakan teknik teknik intelijen, investigasi, menargetkan kepala daerah, sangat mudah sekali. Pasti akan korupsi. Jadi bagi saya, OTT kepala daerah bukan prestasi yang hebat (Tempo.co Sabtu 23 November 2019).

Lantas apa yang diucapkan oleh Tito Karnavian, tentu menimbulkan pertanyaan. Jika selama ini mahar politik untuk membeli parpol sebagai kendaraan untuk mengantarkan calon kepala daerah mengikuti kontestasi politik memang ada, dan seharusnya dapat dibongkar.

Bukankah Tito Karnavian sebelum dilantik sebagai Mendagri dalam Kabinet Indonesia Maju, Tito adalah Jendral Poliri dengan jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) selaku lembaga penegak hukum yang ditugasi oleh Undang Undang (UU) dan peraturan untuk melakukan tindakan terhadap pelanggaran hukum. Lalu kenapa Tito tidak mengerahkan jajarannya di seluruh Indonesia melakukan penyelidikan dan investigasi terhadap money politik yang dilakukan calon kepala daerah dan parpol dalam mahar politik?

Apakah sebagai Kapolri waktu itu Tito tak punya nyali, merasa segan atau enggan untuk mengusut praktik money politik di dalam mahar politik karena menyangkut tentang Parpol? Sebabnya Tito sebagai Kapolri tidak terlepas dari campur tangan parpol. Kenapa setelah menjadi Mendagri Tito baru berani mengungkap tentang mahar politik dan menyindir KPK? Tentu hanya Tito yang tahu.

Bukan Salah Rakyat

Tingginya biaya pilkada langsung kini menjadi pembicaraan dikalangan elite politik. Dengan adanya wacana yang dilontarkan oleh Mendagri Tito Karnavian yang ingin mengevaluasi sistim pilkada langsung yang telah berjalan selama 20 tahun.

Walaupun masih sebagai wacana untuk mengembalikan ke sistim pilkada tertutup, anehnya ada penggiringan opini yang dilakukan oleh elite politik seakan akan menyalahkan masyarakat atas tingginya biaya Pilkada.

Masyarakat dijadikan sebagai kambing hitam praktik money politik, seakan masyarakatlah yang membuat tingginya biaya pilkada yang harus ditanggung oleh calon kepala daerah.

Memang tak bisa untuk dipungkiri, jika masyarakat juga mengambil keuntungan dari konstestasi politik dalam Pilkada. Namun jika dibanding dengan biaya mahar politik yang dipatok oleh parpol tentu tidak sebanding pula dengan yang diterima oleh masyarakat selaku pemilih. Harga mahar parpollah yang menjadikan biaya pilkada itu menjadi mahal.

Tuduhan elite politik terhadap masyarakat yang membuat biaya pilkada tinggi merupakan suatu kekeliruan. Sistim pilkada tertutup juga bukan merupakan jaminan biaya Pilkada itu akan menjadi murah. Malah bisa sebaliknya, lebih tinggi dari sistim pilkada langsung dan terbuka.

Untuk menekan biaya pilkada itu menjadi murah bukan sistimnya yang diubah melainkan UU dan peraturan tentang pilkada yang perlu untuk dievaluasi agar celah terjadinya money politik dapat ditutup dengan serapat rapatnya.

Selain itu pengawasannya harus diperketat dan paling penting mereformasi mental para elite parpol dan calon kepala daerah agar tidak bermental pedagang yang memperdagangkan parpol dan jabatannya untuk kepentingan pribadi. []

Penulis: Sekretaris Forum Komunikasi Anak Daerah (Fokad) Kota Tanjungbalai.



Berita terkait
Wali Kota Siantar Kembali Bertarung di Pilkada 2020
Wali kota Pematangsiantar Herfriansyah Noor dipastikan akan maju kembali sebagai calin wali kota Pematangsiantar 2020.
Tito Karnavian Minta Kepala Daerah Pakai Surat Resmi
Mendagri Tito Karnavian meminta agar kepala daerah yang mau menyampaikan permasalah daerahnya dioordinasikan dan pakai surat resmi
Musim PK Koruptor Telah Tiba
Mahkamah Agung mengurangi hukuman para koruptor. Pengajuan PK makin banyak setelah hakim Artidjo Alkostas pensiun. Opini Lestantya R. Baskoro
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu