Jakarta – Desakan kebutuhan ekonomi di masa pandemi membuat masyarakat nekad memilih pinjaman online (Pinjol). Rendahnya edukasi dan literasi keuangan membuat dampak pinjol ilegal seringkali tak jadi pertimbangan. Yudha Satriawan melaporkannya untuk VOA.
Menyesal. Itu kata pertama yang keluar dari Petir, konsumen sebuah Pinjol ilegal, saat menceritakan kondisinya selama pandemi. Akses mudah dan cepat dari aplikasi ponsel, menurut Petir, yang namanya disamarkan, membuat dia tergiur pinjol di tengah kebutuhan hidupnya.
"Saya butuh uang untuk menutupi kebutuhan hidup saya ditengah keadaan mendesak. Jangka waktu seminggu peminjaman, belum sampai seminggu sudah diteror dengan ancaman sampai anak saya mau dicelakai," papar Petir, 5 Agustus 2021.
"Saya gali lubang tutup lubang, menutupi utang saya di pinjol satu dengan meminjam uang ke pinjaman online lain,” papar Petir. Petir hanyalah salah satu dari jutaan konsumen pinjol di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi Penelitian dan Pengembangan Badan Perlindungan Konsumen Nasional BPKN, Anna Maria Tri Anggraini, mengungkapkan jumlah pengaduan masyarakat selama pandemi hingga Juli 2021 sangat tinggi.
Pada tahun ini hingga Juli, kata Anna, pihaknya menerima 2,800 aduan, dobel dari jumlah aduan pada 2020 yang mencapai hampir 1.400-an. Menurut Anna, aduan terkait pinjol mendominasi.
"Aduan pinjaman online ilegal ada 68,9% dan pinjaman online legal atau terdaftar ada 31,2%. Konsumen mengadukan cara penagihan dan proses tidak sesuai kesepakatan hingga penyebaran data privasi", ungkap Anna.
Sementara itu, Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing, menjelaskan jasa Pinjol semakin merebak karena kondisi ekonomi masyarakat.
Tongam menyarankan publik untuk mengakses situs web Satgas Waspada Investasi untuk mengecek cara membedakan pinjol legal dan Pinjol ilegal. Calon peminjam juga bisa mengecek pinjol apa saja yang resmi di situs web tersebut.
Dia menambahkan konsumen juga bisa mengonfirmasi daftar Pinjol resmi itu kepada Satgas.
"Solusinya, edukasi dan literasi ke masyarakat. Pinjaman online ini masalahnya ada di hulu, pengetahuan masyarakat yang kurang. Selain itu, perbaikan ekonomi masyarakat. Bagaimana masyarakat tahu itu pinjol ilegal tapi memaksakan diri meminjam uang,” ujarnya Longam.
Data Satgas Waspada Investasi menunjukkan ada 121 perusahaan Pinjol yang terdaftar dan berijin resmi pemerintah. Jumlah konsumen Pinjol mencapai 64 juta peminjam dengan total dana Rp 221 trilyun.
Akses Mudah, Risiko Tinggi
Pinjol dengan akses dan syarat mudah menarik perhatian masyarakat di tengah masa pandemi. Terutama mereka yang terkena pemutusah hubungan kerja (PHK), tak mendapat bantuan sosial, atau tidak memiliki dana cadangan atau tabungan. Kondisi-kondisi tersebut seringkali membuat masyarakat memilih pinjol sebagai alternatif.
Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, David L. Tobing mengatakan bagi konsumen, pinjol yang legal berisiko lebih rendah dibanding yang ilegal. David berharap masyarakat lebih selektif dalam memilih.
"Pinjaman online yang kita pahami seharusnya yang legal. Kalau bermasalah pembayaran pinjaman, kita paling di-blacklist tak bisa pinjam ke pinjol resmi lainnya. Kita tidak akan ditagih secara teror hingga penyebaran di data pribadi kontak handphone. Kalau pinjaman online ilegal kan sampai kita ditagih dengan teror, menyebar foto pribadi, data pribadi, dengan berbagai modus,” ungkap David.
Sementara itu, Tongam mengatakan aturan dan pengawasan ketat dilakukan pada perusahaan pinjol yang terdaftar dan berizin resmi. Menurut Tongam, resiko penyebaran data pribadi konsumen bisa dihindari.
"Kami terus mengawasi perusahaan pinjol legal. Mereka tentu akan selektif melakukam skoring, BI (Bank Indonesia) checking. Kalau skoring saya rendah, tentu perusahaan legal itu tidak memberi pinjaman. Mereka selektif karena tidak mau mengecewakan investor dan konsumen,” jelas Tongam (yl/em/ft)/voaindonesia.com. []