50 Tahun Merakit Bilah Buluh Jadi Layangan di Kudus

Seorang lansia di Kabupaten Kudus mengisahkan tentang pekerjaannya sebagai perajin layang-layang, yang ditekuninya sejak 50 tahun lalu.
Parwan, 80 tahun, perajin layang-layang di Kudus, Jawa Tengah, menunjukkan salah satu layang-layang buatannya, Kamis, 6 Agustus 2020. (Foto: Tagar/Nila Niswatul Chusna)

Kudus - Mata Parwan, pria tua berusia 80 tahun, serius menatap layang-layang besar berbentuk burung berwarna merah di depannya. Dahinya tampak semakin berkerut, pertanda dia sedang berpikir.

Pria yang akrab disapa Mbah Parwan itu duduk di atas semacam jok berwarna cokelat. Dia merupakan pembuat layang-layang legendaris di kawasan tersebut, Desa Ploso, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus.

Di belakang tempatnya duduk, sejumlah bahan pembuat layang-layang tersimpan dalam etalase kaca. Di samping etalase itu, seikat bilah-bilah buluh yang telah diraut tergeletak tidak jauh dari kaleng lem.

Selain kertas dan kain, bilah-bilah buluh itu merupakan salah satu bahan utama pembuatan layang-layang.

Mbah Parwan tinggal di rumah sederhananya, yang hanya membutuhkan waktu perjalanan sekitar 10 menit dari pusat kota Kudus.

Untuk menuju kediaman Mbah Parwan, bisa berangkat dari Alun-alun Simpang Tujuh Kudus ke selatan melewati Jalan Ahmad Yani. Sampai di Perempatan Matahari belok kanan menuju Jalan Mayor Basuno. Di depan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ploso Kudus belok kiri sekitar 50 meter melintasi Jalan Tambak Lulang.

Di sebelah barat jalan, akan ditemui sebuah rumah sederhana bercat biru muda dengan lantai berwarna hitam. Sejumlah layang-layang dengan berbagai ukuran nampak menghiasi pelataran rumah ini.

Saat ditemui, Kamis, 6 Agustus 2020, Mbah Parwan sedang menyelesaikan pembuatan layang-layang merah itu. Jemarinya dengan telaten menggunting lembaran kain perca dan plastik bungkus makanan ringan menjadi helaian berukuran kecil memanjang.

Sesaat kemudian helaian kain dan plastik ini ditempelkan ke badan layang-layang menggunakan lem sebagai perekatnya. Meski terlihat mudah dan sederhana, tetapi proses penempelan potongan-potongan plastik itu disesuaikan dengan arsiran desain yang telah dibuat Mbah Parwan sebelumnya.

Meski hampir seluruh rambutnya sudah memutih, namun tangannya masih begitu gesit menyulap batang-batang bambu menjadi layang-layang.

Cerita Lansia Pembuat Layangan 1Mbah Parwan tampak gesit menghiasi tubuh layang-layang dengan kain perca dan plastik bungkus makanan, Kamis, 6 Agustus 2020. (Foto: Tagar/Nila Niswatul Chusna)

Secara penampilan, kakek kelahiran tahun 1940 masih cukup bugar. Pendengaran dan penglihatannya juga masih baik. Dia masih bisa berkomunikasi baik dengan orang yang berada dalam radius lima meter dari tempatnya berdiri. Matanya juga masih tajam dalam menggarap setiap detail layang-layang.

Dikerjakan Sendiri

Mbah Parwan melakukan sendiri seluruh proses pembuatan layang-layang. Mulai dari pemotongan bilah-bilah bambu, pembuatan desian dan kerangka, merekatkan kain/kertas, pemasangan aksesoris hingga uji coba kelayakan layang-layang,

“Semuanya saya kerjakan sendiri. Anak-anak dan cucu saya sudah pada kerja. Saya tidak mau merepotkan mereka,” ujarnya sembari tersenyum.

Dalam sehari, Mbah Parwan bisa membuat dua buah layang-layang berukuran besar. Sedangkan untuk layang-layang berukuran kecil, dia bisa membuat hingga puluhan.

Layang-layang berukuran besar biasanya diproduksi pada bulan April hingga Agustus. Sedangkan untuk layang-layang kecil diproduksinya mulai bulan September hingga Maret.

Kalau bulan Januari sampai Maret lakunya layangan yang kecil. Kalau bulan April hingga Agustus pada carinya layangan besar. Seperti itu terus

Menurutnya, peminat layang-layang kecil mayoritas adalah anak-anak usia sekolah. Sedangkan layang-layang besar untuk pangsa kalangan orang dewasa yang ingin bernostalgia dengan mainan tradisional satu ini.

“Layangan besar biasanya digunakan buat lomba-lomba saat peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Kalau tidak begitu, dijadikan oleh-oleh para pemudik,” tambah dia.

Layang-layang besar buatannya memiliki bentuk yang khas, mulai dari bentuk kupu-kupu, burung, kelelawar, capung hingga parasut.

Tak hanya bentuknya yang khas, layang-layang besar buatan Mbah Parwan juga bisa dilipat. Sehingga tidak memakan tempat dan lebih fleksibel dibawa kemana-mana.

Mbah Parwan mematok harga yang beragam untuk layang-layang buatannya. Mulai dari harga seribu rupiah untuk laying-layang berukuran kecil, hingga Rp200 ribu untuk ukuran besar. Harga yang dipatok disesuaikan dengan ukuran dan tingkat kerumitan pembuatannya.

Cerita Lansia Pembuat Layangan 2Mbah Parwan memajang layang-layang hasil buatannya hari itu, Kamis, 6 Agustus 2020, di depan tokonya. (Foto: Tagar/Nila Niswatul Chusna)

Layang-layang terbesar yang pernah dibuat oleh Mbah Parwan berukuran sepanjang dua meter, yang dibuatnya pada 2018 lalu. Layang-layang tersebut merupakan pesanan khusus dari warga Kecamatan Undaan untuk meramaikan kegiatan lomba layang-layang yang digelar secara lokal kala itu.

“Saya menjual layang-layang paling mahal ya itu. Harganya Rp. 200 ribu,” katanya sembari menghias layang-layang berbentuk burung berwarna merah yang ada dihadapannya.

Tidak Sengaja Jadi Perajin Layangan

Mbah Parwan mengaku telah 50 tahun menjadi perajin layang-layang, tepatnya sejak tahun 1970, setelah dia purnatugas dini dari keanggotaan TNI.

Saat ditanya mengenai kisah awal mula usaha pembuatan layang-layang yang digelutinya hampir setengah abad ini. Parwan menuturkan keahliannya membuat layang-layang ditemukan secara tidak sengaja.

Waktu itu, kata dia, Parwan gemar melihat orang yang bermain layang-layang. Bentuk yang unik dan corak yang indah membuatnya tertarik dengan permainan satu ini.

Berbekal hasil pengamatan yang dilakukannya, Parwan mencoba membuat layang-layang dari bahan baku kantong plastik dan sebilah bambu yang diberi oleh tetangganya. Tak disangka, layang-layang yang dibuat Parwan diminati masyarakat dan berujung sebagai mata pencaharian dia dan keluarganya.

“Dulu awal buat pakai plastik. Kalau sekarang saya buat layang-layang dari kain peles dan kertas. Untuk hiasannya, saya menggunakan kain perca limbah konveksi dan plastik bungkus makanan atau minuman dari limbah rumah tangga,” jelasnya.

Saat ditanya mengenai alasannya tetap bertahan membuat layang-layang sampai saat ini. Mbah Parwan mengaku ingin melestarikan mainan tradisional berbahan baku bambu ini. Kecintaannya pada layang-layang, membuat ia tak rela hati jika mainan satu ini hilang seiring perubahan zaman.

“Sekarang jarang orang yang mau membuat layang-layang, apalagi generasi muda. Kalau bukan saya siapa lagi,” jawabnya.

Dengan pengalamannya tersebut, tak heran jika namanya cukup dikenal di kalangan penggemar layang-layang.

Pelanggan atau penggemar layang-layang buatannya tidak hanya berasal dari Kudus dan sekitarnya, tetapi juga dari kabupaten atau kota lain, seperti Kabupaten Pati, Jepara, Demak, Grobogan, Rembang, Semarang hingga Jakarta.

Menurut dia, layang-layang merupakan salah satu permainan tradisional yang murah, seru, menyenangkan dan tidak punah tergerus zaman. Dari masa ke masa permainan outdoor ini selalu digemari anak-anak maupun orang dewasa.

Cerita Lansia Pembuat Layangan 3Mbah Parwan dengan sopan melayani setiap pembeli layang-layang yang datang ke tokonya, Kamis, 6 Agustus 2020. (Foto: Tagar/Nila Niswatul Chusna)

Apalagi di masa libur sekolah seperti ini. Parwan mengaku permintaan layang-layang meningkat tajam. Dalam sehari ada belasan hingga puluhan orang yang datang untuk membeli layang-layang buatannya.

“Ini stok disejumlah toko layang-layang di kota sedang kosong. Lalu mereka pada datang ke sini. Ini lagi musim layangan, makanya banyak yang cari,” ujarnya.

Saat musim layang-layang seperti ini, Mbah Parwan mengaku sering kewalahan melayani order pelanggan. Salah satu kendala utamanya adalah tubuh yang mulai renta.

Supaya tidak lagi kewalahan, Mbah Parwan tidak lagi menerapkan sistem pre order. Pembeli tidak bisa lagi menentukan bentuk dan ukuran layang-layang. Kini para pembeli yang datang hanya bisa memilih layang-layang yang dihasilkannya hari itu.

“Kalau pada pesan, itu sering tidak diambil. Kadang kalau ada yang rumahnya jauh saya juga kasihan, misal dibela-belain datang ke sini tapi layangannya belum jadi. Makanya sekarang saya sistemnya produksi saja. Kalau mau ambil ya barangnya itu, misal tidak ya tidak apa-apa,” kata dia. []

Baca juga:

Imam Masruh, Tukang Ojek di Kudus yang Berhati Emas

Banting Setir ke Bisnis Kuliner Akibat Pandemi

Berita terkait
Banting Setir ke Bisnis Kuliner Akibat Pandemi
Pandemi Covid-19 membuat sebagian orang menjadi lebih kreatif, termasuk membuka usaha kuliner yang dijual dengan sistem pre order
Wisata Bukit Klangon, Kemah dan Menatap Merapi dari Dekat
Wisata Bukit Klangon, spot terbaik untuk melihat Merapi, cocok untuk tracking hill karena jarak ke puncak Merapi hanya empat sampai lima kilometer.
Kisah Badut Jalanan Berhati Mulia di Yogyakarta
Rinno, si badut jalanan di Yogyakarta ini berhati mulia. Relawan ini ikhlas berbagi penghasilan Rp 20 ribu per hari dengan orang yang membutuhkan.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.