Jakarta - Saat ini marak beredar produk pangan dengan mencantumkan stiker palm oil free atau bebas minyak sawit, tak hanya produk dalam negeri tapi juga impor. Hal ini membuat Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyayangkan dan menyesalkan beredarnya produk dengan label palm oil free.
“Stiker tanpa minyak sawit memberi kesan bahwa produk tersebut lebih sehat serta informasi lainnya yang menyesatkan dan merupakan bagian dari kampanye negatif kelapa sawit," kata Joko dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, 19 September 2020 seperti dikutip dari Antara.
Baca Juga: DPR Siap Fasilitasi Polemik Biodiesel Petani Sawit
Terlebih ucap Joko, saat ini juga beredar produk berstiker tersebut di platform jual beli online yang dikirim dari luar negeri. "Ini harus ada mekanisme pengawasan dan sanksi yang tegas,” tuturnya dalam acara #INApalmoil Talkshow bertajuk “Misleading Palm Oil Labelling Threaten Palm Oil Market” yang diselenggarakan secara online.
Kecuali dari awal sudah mengandung komponen tersebut lalu dengan satu proses dilakukan pengurangan maka diperbolehkan.
Tahun 2016 pertama kalinya produk berlabel tanpa sawit ditemukan di rak sebuah swalayan di Jakarta. Sejak saat itu ditemukan produk-produk lain yang juga berlabel sama. Tren ini kemudian bergulir ke produk industri rumahan di Indonesia tanpa mereka tahu bahwa informasi tersebut menyesatkan dan merupakan bagian dari kampanye negatif terhadap kelapa sawit Indonesia.
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, BPOM, Reri Indriani menyebutkan, secara aturan label palm oil free bertentangan dengan pasal 67 poin 1 peraturan BPOM no 31 tahun 2008 tentang label pangan olahan. Sedangkan secara Internasional codex Alimentarius (2017) menyatakan label olahan dilarang memuat informasi yang salah atau menyesatkan.
Aturannya jelas pangan olahan yang secara alami tidak mengandung komponen tertentu maka dilarang memuat klaim bebas memuat komponen tersebut. "Kecuali dari awal sudah mengandung komponen tersebut lalu dengan satu proses dilakukan pengurangan maka diperbolehkan seperti misalnya terjadi pada produk susu dalam kemasan,” ucap Reri.
Berkembangnya perdagangan melalui platform online menjadi tantangan tersendiri karena kini produk dari luar negeri bisa masuk ke Indonesia dengan lebih bebas. Selain pencantuman label palm oil free, dalam Cyber patrol juga ditemukan pelanggaran yang lebih tinggi, yakni tidak memiliki izin edar maka akan dikenakan pasal berlapis.
"Sanksi denda dan lainnya terhadap penjual maupun pembeli produk berlabel palm oil free, maka BPOM akan mengkaji hal tersebut," kata Reri.
Sebelumnya Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan, ironisnya meskipun secara aturan internasional FAO maupun aturan-aturan negara melarang memberikan informasi yang menyesatkan, saat ini terdapat lebih dari 2000 produk dengan label palm oil free di dunia. Di Uni Eropa terdapat tiga ketentuan terkait produk dengan informasi menyesatkan yakni Food Information Regulation 1169/2011.
Menurut Mahendra, tingginya ketergantungan dunia terhadap minyak kelapa sawit maka diskriminasi terhadap produk ini semakin besar akibat perang dagang minyak nabati global. “Jangan terbuai dengan angka ekspor-impor," tuturnya.
Simak Pula: Pak Jokowi, Petani Sawit Tak Masuk Rantai Pasok B30
Ia menambahkan, nilai ekspor ke Eropa diklaim sebagai bukti tidak adanya diskriminasi sawit oleh negara Uni Eropa. Padahal, peningkatan angka tersebut karena anjloknya produksi minyak nabati EU akibat temperatur ekstrim dan wabah Covid-19. []