TAGAR.id, Jakarta - Salah satu sumber sampah plastik berasal dari aktifitas penangkapan ikan di laut, antara lain karena penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yang sering kali hilang, sengaja dibuang, atau tertinggal di laut.
Hal tersebut disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi saat membuka National Workshop of Abandoned, Lost, Discarded Fishing Gear (ALDFG) di Sentul, Jawa Barat.
“Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, Indonesia bekerja sama dengan FAO dan IMO melalui the Glolitter Partnership Programme (GPP) terus berupaya mengatasi permasalahan sampah yang berasal dari aktifitas pelayaran dan perikanan,” tutur Deputi Jodi.
Kita harapkan agar inovasi ini tidak saja dapat diterapkan di Cirebon, ke depannya dapat diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia.
Deputi Jodi menyampaikan bahwa Indonesia sebagai Lead Partner Country untuk Kawasan ASEAN, harus mampu menerapkan lead by example menjadi model yang ditiru dan dijadikan percontohan di tingkat global untuk atasi masalah ALDFG di laut Indonesia.
“Data dari Science Advance memperkirakan hampir 2% dari semua alat tangkap ikan secara global hilang atau tertinggal di laut. Ini akan berakumulasi dan menjadi pencemar untuk kesehatan perairan kita,” jelasnya.
Sependapat dengan pernyataan Deputi Jodi, Food And Agriculture Organization (FAO) untuk Indonesia dan Timor Leste, Rajendra Aryal, menyampaikan bahwa kebanyakan alat tangkap ikan terbuat dari material plastik, sehingga menambah polusi sampah plastik di laut.
“Saya perlu tekankan bahwa polusi sampah plastik laut merupakan proiritas UN, alat tangkap ikan yang terbuat dari palstik merupakan bagian dari masalah global yaitu sampah plastik. Ini merupakan tanggung jawab kita bersama untuk memeranginya,” tegasnya.
Menurut Aryal, ALDFG merupakan ancaman bagi ekosistem laut, bahkan telah banyak mematikan sejumlah ikan termasuk makhluk laut yang terancam punah. Hal tersebut menurutnya berdampak pula dengan nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan dari laut.
“Kami berharap pada pertemuan ini, kami dapat mengidentifikasi masukan terbaik dari para peserta terutama bapak-bapak nelayan terhadap survei yang telah kami berikan, sehingga dapat ditentukan cara paling efektif untuk mengurangi ALDFG, khususnya di perairan Indonesia,” harap Aryal.
Workshop yang dilaksanakan atas kerja sama Kemenko Marves melalui Deputi bidang Kedaulatan Maritim dan Energi dengan FAO, IMO, Pemerintah Norwegia, dan IPB University tersebut, memberikan kesempatan tim peneliti IPB untuk menyosialisasikan hasil penelitian tentang inovasi alat tangkap ikan yang menggunakan material yang ramah lingkungan, dengan bahan baku yang tersedia di Indonesia.
“Pada tahun 2022, IPB telah menerbitkan suatu publikasi yang menyebutkan bahwa di Kabupaten Cirebon terdapat 23.000 unit ALDFG,” jelas Deputi Jodi.
Sebagai informasi, pada rangkaian kegiatan National Workshop of ALDFG tersebut, akan dilaksanakan pelatihan kepada kelompok nelayan dari Cirebon mengenai cara membuat alat tangkap yang lebih ramah lingkungan ini.
“Kita harapkan agar inovasi ini tidak saja dapat diterapkan di Cirebon, ke depannya dapat diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia,” harap Deputi Jodi. []