Krisis Industri Penerbangan Lebih Dahsyat dari 2008?

Politisi PDIP Deddy Yevri Sitorus memprediksi dampak krisis pandemi Covid-19 yang dirasakan industri penerbangan dipastikan sangat dahsyat.
Ilustrasi - Pesawat Airbus A330-200 PK-GPM Garuda Indonesia bersiap take off di Sam Ratulangi International Airport, Manado (MDC). (Foto: Instagram/@garuda.indonesia/@frdsmu)

Pematangsiantar – Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Sitorus memprediksi dampak krisis pandemi virus corona atau Covid-19 yang dirasakan industri penerbangan dipastikan sangat dahsyat. Pasalnya, pandemi yang mewabah global ini belum diketahui sampai kapan akan berakhir.

“Bagi airlines, impact virus corona ini jauh lebih dahsyat dibanding kejadian 9/11 dan krisis global 2008 jika digabungkan. Praktis, tidak ada airlines yang beroperasi saat ini di dunia,” kata Deddy melalui siaran pers yang diterima Tagar, Selasa, 28 April 2020.

Garuda Airlines ini ibarat orang yang jatuh tertimpa tangga, ketiban cat, dan tertimbun tembok

Melalui data yang diterimanya, maskapai penerbangan di dunia akan kehilangan pendapatan sebesar 252 miliar dolar AS hingga menjelang pertengahan tahun 2020. Dia menambahkan, seluruh maskapai di dunia melakukan program restrukturisasi yang melibatkan pemerintah maupun tidak. 

Baca juga: Garuda Patuhi Aturan Larangan Terbang ke Area PSBB

Deddy mencontohkan, Singapore Airlines beberapa minggu lalu mendapat suntikan dana segar 19 miliar dolar Singapura dan 5,3 miliar dolar Singapura melalui penerbitan saham baru, ditambah 9,7 miliar dolar Singapura, dan pinjaman dari DBS sebesar 4 miliar dolar Singapura. 

Bantuan serupa juga diterima Qantas yang mendapat 1,1 miliar dolar Australia dari pemerintah negeri kangguru tersebut. Lantas, dia mempertanyakan apakah Garuda Indonesia bisa melakukan hal serupa.

“Bagaimana dengan Garuda Indonesia? Apakah Garuda Airlines bisa survive dalam krisis ini? Garuda Airlines ini ibarat orang yang jatuh tertimpa tangga, ketiban cat, dan tertimbun tembok,” ujarnya.

Politisi PDI Perjuangan ini mengatakan, hingga saat ini belum terdengar program penyelamatan Garuda Indonesia dari krisis Covid-19 dan pemulihan saat pandemi wabah ini berlalu.

“Yang kita tahu Garuda menghentikan operasinya karena penerapan PSBB dan Garuda harus membayar utang jatuh tempo Juni 2020. Garuda adalah epicenter industri penerbangan di Indonesia, penyelamatan Garuda sangat penting, untuk menyelamatkan industrinya,” kata dia.

Baca juga: Imbas Covid-19, Garuda Indonesia Genjot Layanan Kargo

Selanjutnya, ratusan ribu pekerja di industri penerbangan harus diselamatkan, mulai dari ground handling, jasa pengiriman, bandar udara, dan lainnya.

Deddy menjelaskan, penyelamatan Garuda Indonesia bukan hanya dengan ‘menunda’ kewajiban membayar utang yang jatuh tempo pada 2020, di antaranya adalah SUKUK sebesar 500 juta dolar AS yang jatuh tempo pada Juni 2020.

Penyelamatan Garuda Indonesia menurutnya harus melalui restrukturisasi menyeluruh dan mendalam. Restrukturisasi yang meliputi restrukturisasi operasi, restrukturisasi aspek kecukupan modal, restrukturisasi model bisnis, dan pengaturan arus kas perusahaan.

“Garuda juga harus menyiapkan recovery program setelah Covid-19, mulai dari skenario recovery demand, skenario market structure, sampai saatnya kondisi normal. Karena impact dari krisis corona ini bisa 3-5 tahun, Garuda dan pemerintah harus bahu membahu menyelamatkan industri penerbangan nasional,” ucap Deddy. []

Berita terkait
Butuh Moda Udara Covid-19, Erick Siapkan Garuda Nih
Menteri BUMN Erick Thohir menuturkan telah menyiapkan moda tranportasi udara, yakni pesawat Garuda Indonesia selama pandemi corona.
Garuda Tak Tanggung Akomodasi WNA China Terlantar
Garuda Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menanggung akomodasi 208 WNA asal China yang terlantar di Bandara Soekarno Hatta.
Pengamat: Pemecatan eks Bos Garuda Bentuk Politisasi
Pengamat menilai, pemecatan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Ari Askhara merupakan bentuk politisasi.