Komnas HAM Sebut Pembubaran Ormas Harus Proses Peradilan

Komnas HAM soal ormas, pemerintah tidak membubarkan tanpa mekanisme proses peradilan (due process of law).
Kanan ke kiri: Ahmad Taufan Damanik (Ketua Komnas HAM), Sandra Moniaga (Wakil Ketua), Munafrizal Manan (Komisioner) saat berkunjung ke PGI tahun 2018. (Foto: Tagar/Facebook Gomar Gultom)

Jakarta - Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI Munafrizal Manan soal pembubaran atau pelarangan ormas, menegaskan agar pemerintah tidak membubarkan organisasi hanya berdasarkan asas contrarius actus serta tanpa mekanisme proses peradilan (due process of law).

“Dalam perspektif HAM, sanksi pencabutan status badan hukum suatu organisasi berdasarkan asas contrarius actus sangat jelas tidak dapat dibenarkan karena memberikan keleluasaan dan sewenang-sewenang dalam mematikan suatu organisasi,” ujar Munafrizal dalam diskusi publik daring bertajuk "Kebebasan Berserikat di Negara Demokrasi" yang diselenggarakan Imparsial pada Selasa, 29 Desember 2020.

Hal tersebut kata dia, terkait dengan right to freedom of association sebagai negative rights yang bermakna negara dilarang melakukan intervensi yang mereduksi penikmatan atas hak tersebut serta disebut sebagai positive obligation di mana negara wajib memastikan semua warga negara menikmati hak itu.

“Jaminan hak kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan ciri penting bagi suatu negara hukum dan negara demokratis, kalau tidak memberikan kepastian tentang hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul maka bisa disebut negara tidak sepenuhnya demokratis,” jelas Munafrizal dikutip dari laman komnashasm.go.id, Rabu, 30 Desember 2020.

Hak berserikat dan berkumpul merupakan hak yang bersifat individual dan kolektif yang memiliki irisan dengan hak sipil dan hak politik, hak ini juga saling berkaitan erat dengan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang diaktualisasikan dengan keleluasaan orang untuk menyampaikan pikiran, ide, aspirasi, dan keyakinan secara kolektif.

Menurut dia, prinsip dasar umum mengenai hak kebebasan berserikat, antara lain setiap orang berhak membentuk atau bergabung dengan suatu organisasi, tidak boleh ada paksaan bagi seseorang untuk bergabung dengan suatu organisasi, dan tidak boleh ada perlakuan diskriminatif atas seseorang untuk menikmati hak kebebasan berorganisasi.

Regulasi hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul, Munafrizal menjelaskan sesuai Pasal 28E Ayat (3) dan Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 24 Ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM.

Kemudian, UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 16/2001 tentang Yayasan, UU No. 28/2004 tentang Perubahan UU No. 16/2001 tentang Yayasan, dan UU No. 16/2017 tentang Penetapan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan atas UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Kita perlu menggaungkan terus menerus agar kita tidak lupa bahwa kita negara hukum dan negara demokratis

Munafrizal juga mengulik hak kebebasan berserikat dan berkumpul termasuk derogable rights yang dalam keadaan dan situasi tertentu dimungkinkan untuk dilakukan pembatasan dengan pertimbangan-pertimbangan yang spesifik dan secara bersyarat. Hal ini absah sebagaimana dalam ICCPR/KIHSP, UUD Tahun 1945, dan UU HAM.

“Pembatasan tidak boleh dimaksudkan untuk mereduksi hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul. Pembatasan itu pertama harus diatur oleh hukum, kemudian ada juga kalimat diperlukan dalam masyarakat demokratis. Jadi keputusan pemerintah membatalkan status badan hukum suatu organisasi, artinya mencabut hak dan kewajiban yang melekat pada subyek hukum, merupakan bentuk penghukuman (konstitutif) yang sebetulnya harus berdasarkan putusan pengadilan,” katanya.

Baca juga:

Berdasarkan prinsip due process of law, suatu organisasi yang melanggar hukum pidana, mengganggu ketertiban umum, mengancam keselamatan publik, atau membahayakan keamanan negara dapat dibubarkan melalui proses pidana secara bersamaan terhadap orang-orang yang mewakili organisasi tersebut.

Munafrizal juga berpandangan bahwa UU No. 16/2017 berwatak represif. Dasar menimbangnya adalah melindungi kedaulatan negara, namun cenderung mengebiri kedaulatan rakyat.

UU ini dibentuk dengan maksud untuk menerapkan sanksi yang efektif terhadap ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian terdapat kecenderungan melakukan asas contrarius actus dengan maksud untuk menjatuhkan sanksi yang efektif dan langsung berlaku serta mengatur sanksi administratif dan sanksi pidana.

“Masyarakat sipil harus melihat dengan berperspektif hak asasi manusia, adanya pengaturan yang justru mereduksi hak kebebasan berserikat tidak boleh diamini. Kita perlu menggaungkan terus menerus agar kita tidak lupa bahwa kita negara hukum dan negara demokratis. Hubungan negara masyarakat, dalam konteks yang ideal demokratis dapat mencapai titik equilibrium di mana tidak boleh ada negara yang lebih kuat dari masyarakat yang dikhawatirkan terjadinya represi. Namun tidak boleh juga masyarakat lebih kuat dari negara karena akan melahirkan vandalism dan anarkisme,” tutur Munafrizal.[]

Berita terkait
FPI Bubar, PKS: Penguasa Leluasa Tetapkan Apa Saja bagi Ormas
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf menilai pembubaran ormas Front Pembela Islam (FPI) merupakan langkah yang salah dilakukan pemerintah.
FPI Dibubarkan Tanpa Pengadilan, Fadli Zon: Pembunuhan Demokrasi
Anggota Komisi I DPR Fadli Zon menanggapi pembubaran dan pelarangan aktivitas organisasi FPI), menurutnya ada pembunuhan demokrasi.
FPI Dibubarkan, PA 212 Singgung Jongos Para Cukong Komunis
Wakil Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin singgung jongos para cukong komunis saat tanggapi pembubaran FPI.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.