KJP Plus Bisa Tarik Tunai adalah Kemunduran, Bukan Kemajuan, Kata Pengamat

KJP Plus bisa tarik tunai adalah kemunduran, bukan kemajuan, kata pengamat. Plusnya dinilai sekadar casing.
Isti Kundari (30) dan Erlangga Deka (9) berbelanja di Toko Pelajar yang melayani pengguna Kartu Jakarta Pintar (KJP), di depan Pasar Enjo di Pisangan Timur, Jakarta Timur, Senin 23/7/2018. (Foto: Tagar/Siti Afifiyah)

Jakarta, (Tagar 18/10/2018) - Kartu Jakarta Pintar (KJP) diperuntukkan bagi siswa-siswi dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dari kalangan tidak mampu di Jakarta. KJP ini merupakan terobosan Gubernur DKI Jakarta semasa dijabat Joko Widodo yang kemudian dilanjutkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. 

Gubernur DKI Jakarta berikutnya yaitu Anies Baswedan menggembar-gemborkan KJP Plus pada masa kampanye. Salah satu plus yang ia tawarkan dalam perkembangannya adalah KJP bisa tarik tunai. 

Sebelumnya KJP tidak boleh ditarik tunai untuk memastikan bahwa uang yang ada dalam kartu tersebut benar-benar digunakan untuk kebutuhan sekolah anak, bukan diselewengkan untuk hal lain. 

Setahun kepemimpinan Anies di DKI Jakarta, KJP bisa tarik tunai ini mendapat sorotan dari Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah.

Baca juga: Setahun Anies Jadi Gubernur, Jakarta Bagaimana?

Trubus mengatakan KJP bisa tarik tunai merupakan kemunduran, bukan kemajuan.

"Teknisnya itu yang saya kritisi. Jadi teknis (tarik tunai) ini menurut saya tidak tepat. Kenapa bisa dicairkan berbentuk tunai, harusnya namanya Kartu Jakarta Pintar khusus untuk pendidikan. Harusnya dikeluarkan untuk pendidikan seperti pembelian buku-buku, seragam, sepatu, atau apa pun berkaitan pendidikan. Kalau dicairkan tunai ada kemungkinan untuk membeli pulsa," tutur Trubus saat dihubungi Tagar News, Kamis (18/10).

Ia mengatakan dirinya lebih menyetujui KJP ala ahok yang tidak dapat dicairkan atau tarik tunai. Maka dari itu ia menegaskan Pemprov DKI Jakarta, dalam hal ini Gubernur Anies Baswedan dapat mengembalikan fungsi KJP itu seperti awalnya pada era Ahok. 

Hal tersebut ia katakan dengan alasan untuk mencegah potensi penyimpangan penggunaan dan pemanfaatan KJP Plus. 

"Kalau saya lebih setuju yang dulu (KJP ala Ahok). Artinya kembalikan ke fungsi awal. Fungsi awalnya untuk kepentingan pendidikan terkait sarana dan prasarana baju sekolah, buku, sepatu dan keperluan pendidikan lain. Menurut saya dikembalikan saja, lebih baik kayak yang dulu lagi, dikembalikan asalnya. Memang asalnya itu untuk keperluan pendidikan, difungsikan itu saja ke depannya. Jadi jangan ditunai-tunaikan terus. Kalau ditunai-tunaikan lagi terjadi potensi banyak penyimpangan, tidak tepat sasaran, penggunaannya dan pemanfaatannya tidak tepat," kata dia.

Baca juga: OK OCE Jakarta Saja Gagal, Siapa yang Percaya Mau Diterapkan se-Indonesia

"Beliau (Anies) ini tidak mau meneruskan kebijakan (Ahok) sebelumnya. Dia mau membuat kebijakan yang baru, artinya keberpihakan dengan kaum yang lemah tapi secara humanis, teorinya itu. Ternyata teknisnya itu tidak tepat, implementasi dan penerapannya tidak tepat. Jadi khawatirnya akhirnya malah banyak penyimpangan," lanjutnya.

Ia menyarankan Anies mengubah kebijakan tarik tunai pada sistem KJP Plus untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. 

"KJP Plus itu harus dijalankan proporsional, tepat sasaran dan baiknya diusahakan tidak berupa tarik tunai untuk mencegah hal yang tidak diinginkan," tegasnya. 

Ia menyebut, program KJP yang dicanangkan Ahok lebih efektif dari segi pemanfaatan, tepat sasaran, dan adil. 

"Itu lebih efektif, tepat sasaran, tepat manfaatnya. Kemudian dari sisi pemerataanya lebih bagus. Bahkan asas pemerataan, keadilannya baik di zaman Ahok. Kalau sekarang bisa dicairkan berbentuk tunai, ya jadilah fungsinya berubah," ujarnya.

Toko PelajarToko Pelajar dengan tanda khusus bahwa toko ini menerima pembayaran dengan KJP. (Foto: Tagar/Siti Afifiyah)

Plusnya Sekadar Casing Saja

Dihubungi terpisah, Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan, jumlah penerima KJP pada zaman Ahok justru lebih banyak dibandingkan jumlah peserta KJP Plus sekarang ini.

"Dalam konteks jumlah penerima ternyata masih banyak tahun sebelumnya (zaman Ahok) sebelum KJP plus sekarang. Itu yang saya pertanyakan, kenapa ini terjadi? Info yang saya dapat dalam pembahasan APBD perubahan kemarin, Kepala Dinas menyampaikan bahwa ada 50 ribu Kartu Jakarta Pintar yang belum didistribusikan," kata Gembong Warsono pada Tagar News, Kamis (18/10).

Gembong mempertanyakan jumlah penerima KJP plus sekarang ini yang jumlahnya tidak sebanyak penerima KJP era Ahok. 

Baca juga: Jaminan Subsidi Rumah DP 0 Rupiah Dipertanyakan

"Info yang disampaikan oleh Kepala Dinas dalam pembahasan itu ternyata bahwa sudah terjadi perubahan ekonomi dari orangtua siswa. Kalau itu yang terjadi alhamdulilah berarti ekonomi kita sudah bagus. Tapi fakta di lapangan tidak seperti itu. Contoh sederhana, kemarin saya tunjukkan yang saya temukan ada sekitar 10 orang yang tahun kemarin tukang ojek sekarang masih tukang ojek juga. Tahun kemarin dapat, sekarang tidak dapat. Yang seperti itu perlu penjelasan konkret untuk bisa menunjukkan plusnya di mana," ucap Gembong.

"Jawaban Dinas kedua adalah perlu proaktif dari orangtua siswa. Jadi kenapa siswa tahun kemarin dapat, sekarang tidak dapat? Karena sesuai yang disampaikan oleh Dinas saat itu bahwa itu orangtuanya harus aktif memonitor. Sementara kalau tukang ojek kan tidak pasti memonitor. Persoalannya di situ. Jadi yang dikatakan plusnya itu sebetulnya ya nggak plus-plus amatlah, kan itu sekadar casing saja," ucap dia.

Melihat KJP Plus yang bisa dicairkan, ia sangat khawatir terhadap penyalahgunaan manfaat dari KJP Plus. 

"Saya melihat peluang untuk kesempatan atau peluang untuk menyalahgunakan makin terbuka. Kalau dulu (era Ahok) sama sekali tidak ada kesempatan. Bisa saja digunakan untuk hal-hal yang konsumtif. Itu sekadar kekhawatiran saja, kita khawatirnya seperti itu," ujar dia. 

"Saya sangat khawatir ada penyalahgunaan dari fungsi yang sebenarnya. Jangan sampai ada penyalahgunaan terhadap setiap rupiah yang kita keluarkan untuk membantu anak didik kita mencapai sukses ke depan, intinya itu saja," lanjutnya.

Menyoroti sistem penggunaan KJP Plus tarik tunai, Gembong juga meragukan pengawasan terhadap KJP Plus. Berbeda dengan KJP ala Ahok sebelumnya yang justru pengawasannya sangat ketat dan tepat sasaran. 

"Kalau dalam konteks tepat sasaran, ya lebih tepat sasaran ketika program itu diluncurkan oleh Ahok yang tidak boleh tarik tunai. Inilah yang saya katakan ketika tidak boleh tarik tunai maka pengawasan jadi ketat kan. Itu karena semua bisa mengawasi alur kas dari siswa itu, bisa diikuti melalui banknya. Kalau tarik tunai tidak mungkin kita bisa mengawasi. Bagaimana mengawasinnya? Dalam konteks pengawasan jelas berbeda," ungkapnya. []

Berita terkait
0
Indonesia Akan Isi Kekurangan Pasokan Ayam di Singapura
Indonesia akan mengisi kekurangan pasokan ayam potong di Singapura setelah Malaysia batasi ekspor daging ayam ke Singapura