Kisah Udin, Tukang Cukur di Bawah Pohon Beringin Yogyakarta

Dulu saya mulai nyukur saat tarif parkir sepeda motor masih Rp 100, mobil Rp 200. Kisah Udin, tukang cukur di bawah pohon beringin di Yogyakarta.
Udin, 52 tahun, mencukur pelanggannya, Bambang, 66 tahun, di bawah pohon beringin, di sekitar Alun-alun Utara Yogyakarta, Rabu, 25 Juni 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta - Angin bertiup sepoi-sepoi di sekitar kawasan Alun-alun Utara, Yogyakarta, siang itu, Rabu, 24 Juni 2020. Embusannya cukup mengurangi gerah akibat terik sinar matahari. Beberapa orang yang duduk-duduk di bawah pepohonan di tepi jalan, terlihat sedikit mengantuk.

Belasan atau mungkin puluhan pekerja terlihat tak terusik dengan embusan angin maupun terik sinar mentari. Mereka terus bekerja memperbaiki trotoar di tepi alun-alun. Helm pengaman, dan rompi berwarna oranye cerah membalut tubuh-tubuh mereka. Tak ketinggalan masker wajah.

Beberapa pengemudi becak duduk santai di jok becaknya. Salah satunya terlihat setengah tertidur. Kepalanya miring ke kanan, menempel pada besi penyangga atap becak.

Di sebelah barat alun-alun, tepat di bawah salah satu pohon beringin besar, seorang pria duduk di kursi plastik. Tubuhnya dibalut kain berwarna hitam. Di depannya tergantung satu cermin berukuran sedang. Sementara seorang pria lain dengan sebagian rambutnya sudah putih, seperti mengusap-usap kepala pria yang duduk. 

Pria berambut memutih itu adalah Udin, 52 tahun, tukang cukur yang mangkal di tempat itu, bersama Bambang, 66 tahun, pelanggan setianya.

Tidak jauh dari mereka berdua, di atas kursi plastik, terdapat satu unit koper kecil berisi peralatan mencukur rambut. Isinya tidak banyak, hanya beberapa sisir beraneka ukuran, silet cukur, dan pisau cukur, sprayer atau alat penyemprot air, dan alat cukur elektrik, serta beberapa peralatan lain.

Keduanya tampak sama-sama fokus dan konsentrasi. Udin fokus pada gerakan alat cukur dalam genggamannya, sementara Bambang fokus memperhatikan melalui cermin di depannya.

Dari satu unit radio transistor berdaya baterai di depan mereka, lamat-lamat mengalun lagu, yang entah dinyanyikan oleh siapa. Deru kendaraan yang melintas di belakang mereka tak dihiraukannya.

Tukang cukur seperti Udin dikenal dengan nama cukur sorngin (ngisor ringin), artinya di bawah pohon beringin, karena biasanya mereka mangkal di bawah pohon beringin.

Dulu saya mulai nyukur saat tarif parkir sepeda motor masih Rp 100, mobil Rp 200. Saya lupa tahunnya.

Cukur YogyakartaSelain mencukur rambut kepala, tak jarang pelanggan meminta Udin, 52 tahun, untuk mencukur kumis dan jenggot mereka, Rabu, 25 Juni 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

18 Tahun Menjadi Sorngin

Beberapa belas menit kemudian, Udian selesai mencukup rambut Bambang. Kini penampilan Bambang tampak lebih rapi daripada sebelumnya. Dari cermin terlihat jelas bahwa Bambang puas dengan hasil kerja Udin.

Udin mengatakan sudah 18 tahun mencukur di sekitar Alun-alun Utara Yogyakarta. Sebelum membuka usaha jasa cukur rambut di situ, Udin pernah menjadi karyawan tukang cukur rambut lain.

"Saya di sini sudah 18 tahun. Sebelumnya pindah-pindah tapi karyawan. Mulai nyukur waktu masih bujang. Dulu saya mulai nyukur saat tarif parkir sepeda motor masih Rp 100, mobil Rp 200. Saya lupa tahunnya," kata Udin.

Saat pertama kali membuka jasa cukur rambut, tarif cukur masih Rp 1.000 untuk anak-anak dan Rp 1.500 untuk orang dewasa. Sekarang tarif cukur sudah meningkat beberapa kali lipat, yaitu Rp 8.000 untuk anak-anak dan Rp 10.000 untuk orang dewasa.

Udin mengaku tidak bisa merata-rata jumlah pelanggan yang dicukurnya dalam sehari. Tapi, menurutnya setiap hari selalu ada orang yang menggunakan jasanya. "Sehari tidak pernah saya hitung. Tapi setiap hari pasti ada yang cukur. Pokoknya enggak kosonglah. Tarifnya Rp10 ribu."

Sebelum membuka lapak di seberang alun-alun, kata Udin, dia dan beberapa rekan seprofesi mangkal di tengah alun-alun, tepatnya di bawah dua pohon beringin besar di depan Keraton Yogyakarta.

Sejak kedua pohon beringin itu dipagari dengan tembok, dia pindah ke lokasi saat ini. Tetapi, sebagian rekannya beralih profesi. Sebagian lainnya memilih menjual jasa di tempat lain. Sehingga di tempat itu tinggal Udin sendiri.

"Yang cukur seperti ini sudah jarang. Di Pakualaman juga sudah lama tutup. Pun dangu mboten wonten (sudah lama tidak ada lagi). Angel golek ngisor ringin (sulit mencari tukang cukur di bawah pohon beringin)," ujarnya.

Cukur YogyakartaUdin, 52 tahun, seorang tukang cukur, membantu pelanggannya, Bambang, membersihkan sisa rambut di kemeja Bambang, Rabu, 25 Juni 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Saat Hujan Datang

Udin, selama belasan tahun menjalani profesi sebagai tukang cukur sorngin, satu-satunya hal yang dikhawatirkan adalah datangnya musim hujan. Sebab, tukang cukur sorngin ini tidak memasang tenda di tempat mangkal. Ia terbiasa menggunakan rimbun dedaunan pohon beringin sebagai atap.

Biasanya, saat hujan mengguyur, Udin memilih membereskan peralatan, kemudian berteduh di emperan gedung di sekitar lokasi usaha. "Dukanya cuma kalau musim hujan saja. Enggak ada harapan. Kalau musim hujan biasanya istirahat dulu. Kalau hujannya sore, mendingan pulang saja. Kalau siang, nanti reda, buka lagi."

Ia membuka jasa cukur mulai pukul 10.00 hingga pukul 16.00. Kalau hujan mengguyur sejak pagi, biasanya Udin menutup usaha sehari penuh, dan tinggal di rumahnya, di kawasan Tukangan, Yogyakarta, bersama keluarga.

Udin mengaku memiliki pengalaman tak terlupakan saat hujan. Saat itu, beberapa tahun lalu, dia sedang mencukur pelanggannya. Tiba-tiba hujan deras mengguyur. Udin pun mengajak pelanggannya untuk berteduh. Tapi, pelanggannya tidak mau berteduh. Dia meminta Udin menyelesaikan pekerjaannya mencukur, meski di bawah guyuran hujan yang cukup deras.

"Pernah udan deres, kulo dikon neruske kok, dhekne muni ngene, 'Saya belum mandi kok'. Sing isin aku nek iki. Nek wong weruh lak muni sing pekok aku po sing dipotong? Jebul pekok kabeh. Tak rampungke tapi kulo rugi, wong klebus kabeh," Udin mengenang. 

Maksudnya: "Pernah hujan deras, saya disuruh melanjutkan, dia bilang begini, 'Saya belum mandi kok'. Kalau begini saya yang malu. Kalau orang lihat kan bertanya, sebetulnya yang bodoh siapa? Ternyata bodoh dua-duanya. Saya selesaikan tapi saya rugi, karena saya basah kuyup."

Cukur YogyakartaPeralatan cukur yang digunakan Udin, 52 tahun, untuk mencukur pelanggannya di bawah pohon beringin sekitar Alun-alun Utara Yogyakarta, Rabu, 25 Juni 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sejak peristiwa itu, Udin memilih untuk tidak mencukur jika kemungkinan hujan deras akan turun, meskipun ada juga pelanggan yang bersedia menunggu hujan reda untuk melanjutkan cukur rambutnya.

"Ada juga yang berhenti dulu sampai hujan reda, setelah reda baru dilanjutkan. Kadang kalau cuaca tidak mendukung biasane kula sing mboten wantun (biasanya saya yang tidak berani)," tutur Udin. Terlebih saat ini dia menggunakan alat cukur elektrik, yang tentu saja akan rusak kalau terkena air hujan.

Hingga beberapa tahun lalu, para penjual jasa cukur rambut sorngin masih menggunakan alat cukur manual. Namun, sejak setahun terakhir, Udin memilih untuk move on, dan menggunakan alat elektrik

"Lebih enak yang otomatis karena yang manual itu capek. Lama juga. Di samping itu kan sudah kuno, enggak modern. Ini sudah enggak pakai listrik, dicas kayak hp gitu," ujarnya.

Mengenai dampak pandemi Covid-19, Udin mengatakan hal itu tidak banyak mempengaruhi penghasilannya. Pelanggannya tetap datang, dan Udin juga tidak menutup usahanya karena pandemi. "Corona enggak ngaruh, rezeki saking sing kuoso. Pokoke bismillah, usaha, golek rezeki sing halal (Corona tidak berpengaruh, rezeki dari Yang Maha Kuasa, kok, cari rezeki yang halal."

Cukur YogyakartaUdin, 52 tahun, tukang cukur yang mangkal di bawah pohon beringin sekitar Alun-alun Utara Yogyakarta, mendengarkan radio transistor untuk mengusir jenuh saat menunggu pelanggan, Rabu, 25 Juni 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

40 Tahun Cukur di Sorngin

Bambang, 66 tahun, pelanggan Udin, mengatakan kebiasaannya selama 40 tahun mencukur rambut kepada tukang cukur sorngin. Ia suka dicukur di alam terbuka, dengan suasana teduh di bawah rimbun pohon beringin.

"Saya udah 40 tahun. Dari sejak sebelum ditembok itu beringin di tengah alun-alun sampai sekarang. Mbiyen (dulu) di bawah ringin sing (yang) besar itu. Saya suka karena di sini sederhana. Tidak memilih yang terlalu mewahlah. Sama saja hasilnya," ujar Bambang.

Mengenai model rambut, kata Bambang, tukang cukur sorngin selalu berusaha memenuhi keinginan pelanggannya. Selama ini, dia selalu puas saat mencukur rambut, sebab hasilnya sesuai permintaannya.

"Tarifnya Rp 10 ribu sekali potong. Itu untuk yang biasa agak rewel, terlalu banyak minta. Kalau yang biasa-biasa saja, paling Rp 8 ribu," katanya.

Selain di Alun-alun Utara, kata Bambang, tukang cukur sorngin juga ada di Alun-alun Selatan. Tapi Bambang mengaku lebih suka mencukur rambut di Alun-alun Utara. 

Cukur YogyakartaUdin, 52 tahun, tukang cukur yang mangkal di bawah pohon beringin sekitar Alun-alun Utara Yogyakarta, mendengarkan radio transistor untuk mengusir jenuh saat menunggu pelanggan, Rabu, 25 Juni 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

[]

Baca cerita lain:

Berita terkait
Laki-laki yang Kunikahi Ternyata Perempuan
Memakai jas hitam, peci menutupi rambut cepaknya, dia tampak gagah layaknya pria tangguh. Hingga kemudian rahasianya terungkap. Dia perempuan.
Tradisi Jurung Petani Banyuwangi di Tengah Pandemi
Dulu makan nasi jagung dikira tidak mampu, sekarang semua makan nasi jagung. Bahkan orang luar sengaja ke sini cari nasi jagung. Petani Banyuwangi.
Salat Jumat Gaya Baru di Bantaeng Sulawesi Selatan
Orang-orang memakai baju koko, berkopiah, bermasker, dan membawa sajadah. Mereka berjalan menuju Masjid Nurul Jihad di Bantaeng, Sulawesi Selatan.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.