Kisah Tongam Sirait ke Romania Bawa Uang Rp 15 Ribu

Musisi Batak, Tongam Sirait menuliskan kisah perjalanan hidupnya saat berangkat ke Romania memenuhi undangan grup band di sana, bernama Voltaj.
Tongam Sirait, musisi dari Danau Toba. (Foto: Facebook Tongam Sirait)

Pematangsiantar- Musisi Batak, Tongam Sirait menuliskan kisah perjalanan hidupnya saat berangkat ke Romania untuk memenuhi undangan grup band di sana, bernama Voltaj. 

Band tersebut suka dengan lagu Tongam berjudul 'Mekkel Na Ma Ahu', di mana liriknya diganti dan diberi judul 'Ultima Secunda'. Lagu itu dibawakan dalam sebuah konser.

Tongam pun berangkat ke Romania pada tahun 2012, dengan hanya bermodalkan uang Rp 15 ribu di dompet dia bisa tiba di Romania. Kisahnya ditulis ulang Tongam di akun Facebooknya secara berseri sejak 19 Juni-23 Juni 2020 dalam lima tulisan. 

Ini kisahnya...

Pernah saya dicoba dalam hidup tentang keyakinan. Pada saat itu ada telepon dari teman yang bekerja di Kedutaan Romania dari Bucharest.

Dia bertanya apakah saya mau datang ke Romania, karena dia tahu bahwa satu band Romania membawakan lagu saya berjudul 'Mekkel Na Ma Ahu'. Dan saya jawab, "yes".

Saat itu juga kebetulan teman sebagai tour guiding Romania datang ke Samosir dan dialah yang meyakinkan agar saya pergi ke sana.

Dan kebetulan juga handphone hilang, saya hanya bisa komunikasi melalui internet cafe, yang artinya saya harus ke sana untuk melihat setiap email yang masuk. Tiba-tiba teman saya ini datang dengan ketus, "kenapa tidak kau angkat teleponmu?"

Saya katakan handphone hilang. Pada saat itu dia punya dua handphone mini yang harganya murah dan dia pun memberikan satu untuk saya, agar bisa komunikasi. Akhirnya saya pun mengurus semua perlengkapan untuk visa keberangkatan.

Uang tidak ada, karena sangat sulitnya hubungan Romania dengan Indonesia. Dan cara yang paling efektif, yaitu melalui teman di Jakarta yang pernah tinggal di Romania. Namun dia juga tidak punya banyak uang, karena dia baru kerja di Jakarta.

Dia hanya bisa mentransfer Rp 200 ribu dan itu saya pergunakan untuk semua urusan. Akhirnya uang itu hanya tinggal Rp 15 ribu.

Tanggal yang ditentukan saya harus pergi ke Kuala Lumpur untuk mengurus visa karena Kedutaan Rumania lagi off dua minggu. Dan uang akan ditransfer besoknya Rp 500 ribu untuk biaya perjalanan ke Kuala Lumpur.

Akhirnya saya pergi ke airport Polonia Medan tanpa ada kepastian. Di perjalanan saya ditelepon bahwa uang Rp 500 ribu sudah ditransfer.

Dan teman yang di Bucharest bilang, kalau saya sampai di Kuala Lumpur saya menginap di KBRI. Wahh, sudah di perjalanan tidak mungkin lagi mundur. Akhirnya saya sampai di Kuala Lumpur tanpa saya tahu ke mana harus pergi, karena uang juga tidak ada.

Tapi syukur ketika di pesawat saya ketemu orang Batak Karo, mereka mau berobat ke sana dan akan dijemput seseorang di airport. Saya mengikuti mereka dengan harapan akan dibawa ke KBRI.

Jemputan datang dan saya bertanya apakah bisa ikut menumpang ke KBRI dan lucunya dia itu orang Batak marga Sirait.

Ketika taksi kami berhenti di KBRI Kuala Lumpur saya turun, namun sebelumnya sudah saya minta nomor handphone marga Sirait ini.

Saya berjalan masuk ke kantor KBRI. Di trotoar jalan terlihat banyak calo dan tempat fotokopi. Langkah berhenti ketika saya melihat banyaknya antrean untuk mengurus visa tinggal terutama kaum buruh dan di sisi jalan banyak orang yang duduk dan sebagian tidur.

Saya berpikir, "bagaimana mungkin saya tidur di sini?" Dan saya pun pergi mencoba mencari kantor Kedutaan Romania. Taksi lewat disetop. "Kantor Kedutaan Romania".

Sopirnya orang China. Dia bilang 30 Ringgit. Karena tidak tahu, saya maui saja dan lucunya cara tawar-menawarnya sama seperti di Medan. "Pak cie tanpa argo ya?" katanya.

Ehh, rupanya dekat hanya sekitar lima menit kalau jalan. Namun saya diputar-putar sampai tiga kali. Mungkin maksudnya biar pas ongkosnya. Oh ya, pada saat di airport saya ambil uang yang Rp 500 ribu lalu saya tukar jadi ringgit.

Akhirnya saya pun sampai di kantor Kedutaan Romania di Kuala Lumpur. Kebetulan sudah sore dan sudah tutup. Saya coba telepon sopir taksi Pak Sirait. Dia angkat, "appara (abang) bisa saya numpang di rumahmu?"

Dijawabnya, "sorry, aku punya keluarga dan aku tinggal di apartemen. Tapi ada kok temanku yang belum punya anak," katanya.

Dan dia pun menjemput dan membawa saya ke apartemennya. Memang sulit, karena dia punya dua anak dan tidak ada lagi tempat untuk tidur. Akhirnya dia membawa ke temannya marga Silalahi, belum punya anak tapi sudah sembilan tahun berumah tangga.

Besoknya ketika pagi menyambut, saya pergi ke kantor Kedutaan Romania dan seorang ibu sebagai kepala kedutaannya bilang kalau visa saya bisa diambil dua hari lagi. Wahhh, susah. Sudah uang tidak ada harus tinggal lagi di Kuala Lumpur. 

(Tuhan memang bukan mencoba tetapi mungkin melihat seberapa besar kemauan kita untuk berusaha).

Sejenak saya merenung, mengingat keluarga di kampung. Saya tidak meninggalkan uang dan saya pun tak tahu ke mana di Malaysia ini. Saya hanya bisa berdoa semoga semuanya baik-baik saja.

Tongam SiraitTongam Sirait saat di panggung grup band Romania, Voltaj pada Oktober 2012. (Foto: Facebook Tongam Sirait)

Saya berjalan mencari tempat untuk bisa beristirahat sejenak, karena tanpa saya sadari langkah sudah jauh berjalan. Mungkin sudah 5 kilometer. Kesal, tekad, semua bercampur aduk.

Saya pun mencari internet cafe untuk mencari tahu apa kabar yang bisa saya terima. Handphone masih kartu SIM Indonesia. Mau telepon Indonesia harus ganti kartu SIM. Sudahlah, dijalani saja apa adanya karena yakin pasti ada hikmat di balik semuanya.

Sudah mulai agak gelap, saya harus berpikir lagi ke mana kaki harus melangkah. Di sudut jalan saya melihat internet cafe, dengan buru-buru saya hampiri tempat itu. Berharap ada berita baru.

Mendapat hikmat dari perjalanan hidup, jauh lebih berarti daripada mengumpulkan kekayaan.

Saya buka email, namun tak menemukan apa-apa, hanya tentang tiket keberangkatan ke Belanda, baru ke Bucharest, Romania. Saya berjalan dengan hati yang lunglai. Sudah jam 8 malam, perut sudah mulai menggerutu minta jatah.

Saya berjalan mau beli sesuatu yang bisa dimakan. Terlihat mini market di sepanjang jalan, rencana mau beli roti untuk bisa mengisi perut. Saya lihat ada polisi Malaysia, tidak tahu untuk apa mereka di sana sementara saya tidak punya visa tinggal.

Karena pada saat itu harus mengurus visa kalau mau tinggal di Malaysia. Tidak bisa hanya paspor. Jantung berdegup kencang, jangan-jangan mau interogasi.

"Selamat malam, Pak..." katanya. "Asal dari mana? Indonesia. Lagi ngapain di sini?"

Saya masih diam. Dia menjawab. "Hospital?" katanya. Saya mengangguk saja. Maksudnya berobatlah mungkin. Saya beli roti kecil dan pergi. Rupanya dia hanya mau menyapa.

Sudah jam 10 malam, tidak tahu akan pergi ke mana lagi. Terpaksa saya telepon lagi Pak Sirait. "Bang aku di sini, bisakah aku numpang tidur lagi di tempat Lae Silalahi, karena visaku akan selesai dua hari lagi sementara uangku belum ditransfer, Bang".

"Tunggu ya aku telpon dulu dia," jawabnya. Sampai satu jam saya tunggu belum ada berita. Sudah jam 11 malam saya hanya duduk di kedai yang ada di pinggir jalan dan hanya minta satu teh tarik.

Tukang kedainya sudah mulai melirik, saya pikir dia juga sudah mau pulang karena memang hanya saya dan satu lagi temannya ada di sana. Tak ada pembicaraan kami, karena saya tidak tahu bahasa Malaysia. Saya hanya bisa pura-pura sibuk agar jangan ditegur.

Handphone berdering,"di mana kau?" katanya. Saya bilang, "di pinggir jalan ini, Bang."

Wahh, rasanya seperti mendapatkan hadiah besar. Saya dijemput lagi sama abang marga Sirait ini. Dibawanya langsung ke apartemennya Lae Silalahi. Makasih Tuhan saya terselamatkan lagi.

(Dia tidak menolong ketika kita berdiri tapi dia akan menolong ketika kita terjatuh).

Pagi subuh saya telah terbangun, duduk menunggu matahari bersinar menerangi bumi. Setelah mereka berdua terbangun kami pun pergi keluar cari sarapan pagi.

Lae Silalahi itu cerita tentang kisah hidupnya yang dimulai dari merantau ke Pulau Bintan dan memang di Kuala Lumpur banyak orang Batak yang jadi sopir taksi tapi semuanya sudah separuh usia.

Rupanya mereka banyak dari pulau-pulau terdekat Indonesia di mana pada saat itu belum ada istilah TKI mereka masih bebas ke luar masuk Indonesia-Malaysia.

Hidup adalah sebuah rahasia yang tidak pernah kita tahu akan menjadi siapa dan bagaimana

Dan ketika saya melewati pasar tradisional pun tidak jauh beda. Ada yang jual jengkol, ubi, petai sama seperti di sini.

Dua hari sudah berlalu saya harus menjemput visa. Sampai di sana si ibu yang jadi kepala bilang bahwa saya harus mengurus asuransi perjalanan ke biro perjalanan yang ada di sana.

Tidak seperti di Indonesia, asuransi bisa kita beli di pintu masuk dan uang pun telah ditransfer dari Jakarta Rp 500 ribu lagi karena memang pada saat itu western union dua hari kalau mengirim dari luar apalagi dari Eropa Timur masih sangat sulit.

Besok paginya saya berangkat ke airport naik Malaysian Airlines menuju Bandara Schiphol Airport, Belanda, 14 jam perjalanan sangatlah melelahkan.

Tongam SiraitTongam Sirait, musisi dari Danau Toba. (Foto: Facebook Tongam Sirait)

Sampai di airport Belanda saya harus cepat-cepat cari pesawat yang lain yang menuju Bucharest karena waktu hanya satu jam, sementara setiap yang mau transit harus melalui bea cukai dan antreannya sangat panjang. Itu sampai tiga lapis antre hanya untuk lewat pemeriksaan visa.

Saya sudah mulai resah, karena waktu tinggal 15 menit yang tersisa. Akhirnya selesai pemeriksaan, tapi saya harus melihat setiap gate, karena Bandara Schiphol sangat besar dan sangat panjang.

Saya berlari kecil bahkan lebih cepat dari eskalator yang bergulir di setiap tengahnya jalan. Sambil melihat setiap gate yang saya lewati, waktu tinggal hanya lima menit.

Peluh keringat membasahi tubuh. Saya tetap berjalan, pas di sudut sana orang telah antre sambil pegang tiket masing-masing, akhirnya saya sampai di gate yang menuju Romania. Huuhhh, saya tarik napas dalam-dalam, terima kasih Tuhan.

(Setiap jalan yang berliku pasti ada ujungnya. Mendapat hikmat dari perjalanan hidup, jauh lebih berarti daripada mengumpulkan kekayaan).

Di tempat pemeriksaan visa pintu ke luar airport, saya diinterogasi lagi. Dia melihat saya lama, sepertinya saya mencurigakan. Dia lihat foto saya dan mempelototi. "Mau ngapain ke Romania?" tanyanya.

"Liburan," jawab sekenanya. Saya berpikir apa ada yang salah. Tapi memang tidak ada orang yang berkulit sama dengan saya dan gondrong. Mungkin saja masih asing bagi dia.

Di pintu luar bandara teman yang bekerja di KBRI pun menyambut saya dan dia membawa langsung ke tempat Band Voltaj untuk latihan karena besok kami harus manggung.

Ketika saya mau menyanyikan lagu, saya pun bertanya, "apakah kalian mengerti artinya lagu Mekkel Na Ma Ahu?"

Vokalis bandnya menyahut, "ketika aku mendengar lagu itu pertama kali, aku merinding mendengar. Aku tidak tahu artinya tapi aku langsung ambil buku dan pulpen dan aku menggantikan liriknya," katanya.

Dan saya pun bercerita artinya, mereka diam, mendengar, tersentuh seakan mereka merasakannya. Dan saya tanya, "apa arti Ultima Secunda?"

Vokalisnya berkata lagi, "itu adalah kata-kata yang terakhir kepada sang kekasih ketika mereka harus berpisah," jawabnya. Dan dialah penulis lagu untuk band mereka.

Konser kami dua hari di Bucharest di gedung yang besar berkapasitas empat ribu orang. Antrean panjang penuh.

Hari pertama dan esoknya memadati stadion tersebut. Dan empat hari kemudian kami pergi ke peresmian plaza baru di Provinsi Cluj, jaraknya kira-kira enam jam naik mobil. Lebih dari 10 ribu orang memadati plaza yang baru dan besar.

Setelah dari sana, besok harinya kami berhenti sejenak di Transylvania, yakni asal mitos drakula. Setelah kami melihat castle di puncak bukit, aku turun mau cari minum dan tiba-tiba "Jamaica, Jamaica...!"

Ada seseorang yang menegur. Saya terkejut. Mungkin belum pernah dilihatnya orang Indonesia dan rupanya Gipsy juga berasal dari sana sebagian.

Kami pun akhirnya berangkat ke perbatasan Moldova, daerah bagian dari Uni Soviet dan rupanya band ini sangat populer di Romania, sama seperti band-band papan atas di Indonesia.

Terbayar sudah biaya perjalanan dan saya pulang ke Polonia Medan setelah satu bulan ada di sana.

Yang paling saya tidak mengerti ketika pergi dari kampung halaman, hanya membawa uang Rp 15 ribu dan pulangnya setelah saya tukar, saya membawa Rp 15 juta. Tidak lebih sepeser pun.

(Bukan nilai kecil besar uang yang saya dapatkan, tapi kelipatan uang yang Tuhan berikan karena keyakinan dan saya percaya. Hidup adalah sebuah rahasia yang tidak pernah kita tahu akan menjadi siapa dan bagaimana). []


Berita terkait
Tongam Sirait, Musisi Danau Toba Konser di Austria
Musisi dari tepian Danau Toba, Sumatera Utara, Tongam Sirait mengelar konser di Tirol, sebuah negara bagian di Austria
Henry Manik, Pengibar Lagu Batak dari Danau Toba
Henry Manik, sosok di balik suksesnya konser musik Batak tiap tahun di Samosir
Musisi Batak Martahan Sitohang Pukau Publik Korea
Musisi Martogi Sitohang bersama grup musik Gondang Saurdot dari HKBP Jatiwaringin, Jakarta tampil di Asean Week 2019 di Seoul