Kisah Babiat Sitelpang, Legenda Harimau yang Menjadi Ompung Bagi Orang Batak

Harimau adalah binatang yang amat dihormati bagi masyarakat Tapanuli. Bahkan di desa-desa yang dekat dengan hutan, biasanya orang takut menyebut kata harimau.
Harimau Sumatera (Foto: Dok. Greenpeace)

Jakarta, (Tagar 25/4/2018) - Bagi orang Batak, Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) mendapat penghormatan yang sangat tinggi. Pernah ketika seekor harimau terbunuh di daerah Jambi, orang Batak yang tinggal di sana membungkusnya dengan kain ulos dan melakukan ritual adat untuk menguburkannya.

Harimau adalah binatang yang amat dihormati bagi masyarakat Tapanuli. Bahkan di desa-desa yang dekat dengan hutan, biasanya orang takut menyebut kata harimau. Orang sering mengatakan dengan sebutan “Ompungi”, yang artinya kakek atau buyut.

Bahkan di Mandailing, jika kita berani mengatakan kata harimau walaupun sedang bercerita, itu sama dengan mengundang 'ompungi' datang ke kampung kita.

Kenapa harimau begitu sangat dihormati oleh orang Batak?

Ada beberapa versi yang menceritakan legenda harimau ini di tanah Batak. Satu versi menyebutkan berawal dari keturunan si Raja Batak yang melahirkan kembar laki-laki dan perempuan yakni Si Boru Pareme dan Saribu Raja. 

Meski keduanya kembar, mereka saling jatuh cinta dan melakukan hubungan incest. Akibat perbuatannya itu, keduanya lantas diusir keluar kampung. Si Boru Pareme dibuang ke hutan dan Saribu Raja diasingkan ke tempat lain. 

Di hutan, Si Boru Pareme tinggal sendiri. Setiap hari ia meratapi hidupnya, sehingga membuatnya jatuh sakit. Raja Uti (saudara tertuanya yang juga diasingkan ke hutan karena bentuk fisiknya sejak lahir cacat) menjadi kasihan. Raja Uti lantas mengutus seekor harimau membantu Si Boru Pareme. menyediakan makanan dan menjaga keselamatan Si Boru Pareme dari binatang buas yang ada di hutan.

Cerita menyebutkan sebenarnya Raja Uti yang punya kesaktian mandraguna itulah yang menjelma menjadi seekor harimau. Raja Uti yang memang sejak lahir sudah cacat, mewujud menjadi harimau. Namun karena dia cacat maka ketika menjelma menjadi harimau, juga terlihat seperti harimau pincang. Itu sebabnya bagi orang Batak harimau tersebut dinamai Babiat Sitelpang atau harimau pincang.

Versi lainnya yang hampir serupa namun sedikit berbeda. Si Boru Pareme dan Saribu Raja melakukan hubungan incest dan membuat Si Boru Pareme hamil. Keduanya lalu dibuang ke hutan yang terpisah. 

Nah, ketika dibuang ke hutan itu, Si Boru Pareme didekati seekor harimau yang lagi kesakitan karena sebatang tulang sisa buruannya menancap di kerongkongan. Si Boru Pareme iba hatinya. Dia lalu membantu si harimau mengeluarkan tulang tersebut.

Sejak itulah, terjalin persahabatan yang erat antara mereka berdua. Si harimau, membalas rasa terima kasihnya dengan mengantar hasil buruan ke tempat Si Boru Pareme secara teratur. Bahkan, ketika Si Boru Pareme akan melahirkan, si harimau ini juga  yang membantunya. 

Sejak Si Boru Pareme bersahabat dengan harimau tersebut, ada semacam kesepakatan bahwa harimau tidak akan memakan keturunan Si Boru Pareme.Anak yang dilahirkan Si Boru Pareme diberi nama Raja Lontung. Anak-anak dari Raja Lontung yang jumlahnya sembilan orang kelak menjadi marga besar suku Batak.

Sejak Si Boru Pareme bersahabat dengan harimau tersebut, ada semacam kesepakatan bahwa harimau tidak akan memakan keturunan Si Boru Pareme.

Itu sebabnya zaman dulu kalau orang Batak ketemu harimau, orangtua kita mengajarkan agar jangan takut, cukup dengan mengatakan, "Lontung do au Ompung! (Aku ini Lontung Kakek)," maka harimau tidak akan menyerang kita.

Cerita ini hidup dalam kebudayaan orang Batak selama beratus-ratus tahun. Bertransformasi dan mewujud menjadi nilai-nilai sosial, budaya, dan kearifan lokal. 

Dulu, ketika mau memasuki hutan atau membuka perladangan, orang Batak terlebih dulu meminta izin kepada Babiat Sitelpang yang dianggap penguasa wilayah. "Sattabi Ompung, lao mamolus hami hami di ingananmon (permisi Ompung, kami mau lewat dari tempatmu ini)," demikian sering diucapkan ketika melewati sebuah hutan.

Tingginya penghormatan orang Batak terhadap harimau menjadikan karakter harimau juga diidentikan dengan karakter orang Batak yang keras, penolong, pelindung, setia berteman,  dan melambangkan kekuatan. 

Mossak atau seni beladiri orang Batak kabarnya juga diidentikan dengan cara bertarung harimau. 

Nenek moyang Batak Mandailing mengakui bahwa harimau cukup beradat. Dia tak akan mengganggu orang yang tak ada salahnya. Dan telah banyak orang yang bercerita, bila ia ketemu dengan harimau, kita lebih baik diam daripada lari. Karena jika kita berlari, dia akan beranggapan kita punya salah. 

Dan adat harimau ini, terlihat ketika musim durian di tanah Mandailing. Jika kita sedang menjaga durian di malam hari menunggu durian runtuh, sebaiknya kita jangan mengambil semua hasilnya. Kita meninggalkan sebagian untuk harimau. Kalau tidak, dìa nantinya akan mengaum dari balik rimba. Demikian juga sebaliknya. Bila harimau ini yang sampai duluan, diapun tak akan mengambil semua. Dia akan meninggalkan bagian untuk kita. 

Cerita dari sesepuh Mandailing, jika ada harimau masuk kampung, biasanya karena telah ada seseorang yang berbuat dosa di kampung tersebut. Contohnya bila telah ada yang berbuat zina di satu kampung biasanya harimau akan berkeliaran di desa itu selama hampir seminggu. Semua orang yang tinggal di perkampungan tahu tentang hal ini. 

Begitulah cerita yang melegenda tentang harimau atau Babiat Sitelpang di tanah Batak. Sayangnya, tak banyak lagi yang mengetahui cerita ini dan lebih ironisnya lagi, harimau menuju ambang kepunahan karena terus diburu dan hutan sebagai rumahnya mulai hilang. Suatu saat 'ompung' ini hanya akan menjadi cerita saja tanpa wujud. (Fetra Tumanggor)


Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.