Untuk Indonesia

Ketika Mualaf Memaknai Tahun Baru Imlek

Ketika mualaf memaknai Tahun Baru Imlek. “Islam tidak datang untuk menghapuskan budaya yang sudah ada,” kata Rully.
KAMPUNG PETJINAN SOEROBOJO: Calon Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (tengah) menyapa pengunjung di sela-sela peresmian Kampung Petjinan Soerobojo di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (16/2). Kampung menampilkan ornamen khas Tionghoa dan jajanan nusantara tersebut dalam rangka memeriahkan Tahun Baru Imlek 2569. (Foto: Ant/Zabur Karuru).

Meski beragama Kristen, keluarga Rully juga merayakan Tahun Baru Imlek. Sebagai bagian dari keluarga Tionghoa, Rully ikut bergabung saat keluarganya berkumpul.

Bagi etnis Tionghoa, Tahun Baru Imlek merupakan salah satu perayaan penting di mana pun mereka berada, tak terkecuali di Indonesia.

Imlek, dalam pelafalan Hokkian, memiliki arti kalender bulan meskipun sebenarnya penanggalan Tionghoa itu adalah kalender lunisolar yang menggabungkan kalender bulan dan kalender matahari.

Lantaran memiliki arti kalender bulan, maka dalam bahasa Inggris, Tahun Baru Imlek disebut dengan "Lunar New Year".

Perayaan Tahun Baru Imlek berjalan selama lima belas hari, yaitu sejak hari pertama bulan pertama, atau Cia Gwee, hingga tanggal 15 bulan pertama atau disebut dengan Cap Go Meh.

Etnis Tionghoa biasanya merayakan Tahun Baru Imlek dengan mengadakan bersih-bersih dan sembahyang di wihara.

Menurut kepercayaan Tridharma, pada hari ke-23 dan 24 bulan ke-12 hingga hari ketiga hingga empat bulan pertama, dewa-dewi yang menjadi tuan rumah wihara sedang naik ke kahyangan sehingga manusia memiliki kesempatan untuk membersihkan dan menyucikan wihara dan rupang.

Namun, bagaimana dengan etnis Tionghoa yang tidak menganut kepercayaan Tridharma? Sebagian etnis Tionghoa di Indonesia memang sudah beralih kepercayaan, salah satunya dengan memeluk agama Islam.

Di Masjid Lautze

Ketua Umum Yayasan Haji Karim Oei Ali Karim mengatakan, Masjid Lautze yang berada di bawah pengelolaan yayasan yang dia pimpin tidak mengadakan acara khusus pada Tahun Baru Imlek, meskipun kebanyakan jamaah masjid itu dari etnis Tionghoa.

"Kami mengadakan kegiatan yang sesuai dengan Alquran dan Hadis saja supaya nanti tidak menjadi kebiasaan, kemudian menyimpang dari agama," ujarnya.

Ali mencontohkan, sebagian masyarakat yang salah kaprah dalam memaknai kegiatan agama menjadi hal-hal yang menyimpang untuk ritual-ritual yang tidak diajarkan dalam Alquran dan Hadis, misalnya mencuci pusaka.

Menurut Ali, budaya China itu kuat. Mengadakan acara untuk Imlek tentu memiliki niat yang baik. Namun, dia khawatir bila perayaan Imlek di Masjid Lautze menjadi kebiasaan kemudian menyimpang setelah puluhan tahun.

Lalu, bagaimana etnis Tionghoa Muslim memaknai Tahun Baru Imlek?

Ali mengatakan, Tahun Baru Imlek bisa dimanfaatkan untuk bersilaturahim dengan keluarga yang belum memeluk Islam.

Saat Tahun Baru Imlek, biasanya keluarga-keluarga Tionghoa berkumpul. Tionghoa Muslim boleh saja ikut berkumpul untuk bersilaturahim bersama-sama anggota keluarganya yang belum memeluk Islam.

Menurut Ali, etnis Tionghoa Muslim harus tetap menjalin silaturahim dengan keluarganya yang belum memeluk agama Islam. Sebab, silaturahim adalah suatu hal yang dianjurkan dalam ajaran Islam.

Dengan menjalin silaturahmi, etnis Tionghoa Muslim justru bisa melakukan syiar untuk menghilangkan pandangan-pandangan negatif umat agama lain terhadap Islam.

"Tunjukkan bahwa setelah memeluk Islam, hidup menjadi lebih baik. Berdakwah tidak harus dengan lisan, tetapi juga bisa dengan akhlak yang baik," tuturnya.

Menurut Ali, Imlek bukanlah perayaan agama. Sejarah Imlek dimulai oleh Kaisar Wu dari Dinasti Han di China, setelah dinasti-dinasti sebelumnya gagal menciptakan sistem penanggalan yang bisa digunakan di seluruh China.

Mualaf Rully Djohan Subadha (36) merupakan Tionghoa Muslim yang keluarganya masih merayakan Tahun Baru Imlek. Sejak 2003, dia telah menjadi mualaf dan mengikrarkan kalimat syahadat di Masjid Lautze.

Sebelum memeluk agama Islam, dia dan keluarganya tercatat memeluk agama Buddha di kartu tanda penduduknya. Meskipun tercatat beragama Buddha, tetapi keluarganya lebih banyak menjalankan ritual-ritual agama Kristen.

"Dulu orang tua saya diajak kawannya ke gereja dan akhirnya memeluk agama Kristen meskipun di KTP masih tercatat beragama Buddha. Namun, sejak saya kecil, kami tinggal tinggal di kawasan yang mayoritas beragama Islam," tuturnya.

Lantaran sering bergaul dengan anak-anak yang beragama Islam, Rully kecil banyak dipengaruhi oleh kehidupan Islami, termasuk bermain-main di lapangan yang dekat dengan masjid dan mengikuti shalat berjamaah.

Saat ditanya apakah saat itu pernah mengalami diskriminasi karena berasal dari etnis dan agama minoritas, Rully mengatakan, sebagai anak-anak memang kerap saling olok.

"Saya sering diolok-olok 'sudah sunat belum?' Kalau mengikuti pengajian di masjid bersama teman-teman Muslim lainnya, saya juga sering menangis membayangkan kiamat yang sering diceritakan ustadz," ujarnya.

Saat duduk di bangku kelas I atau kelas II sekolah dasar, Rully pernah menyampaikan keinginannya untuk memeluk Islam, tetapi tidak ditanggapi oleh orang tuanya kemungkinan dianggap hanya candaan seorang bocah.

Namun, ketika Rully menyampaikan keinginannya untuk berkhitan saat kelas IV sekolah dasar, orang tuanya mengabulkan bahkan mengadakan selamatan secara Islam dengan mengundang seorang ustaz.

Lingkungan dan dukungan tetangga serta teman-temannya yang mayoritas memeluk agama Islam semakin memudahkan keinginan Rully untuk belajar lebih dalam tentang Islam.

Pun ketika Rully memantapkan diri untuk mengikrarkan keislamannya di Masjid Lautze, orang tuanya tidak menentang atau melarang, meskipun mereka masih tetap memeluk agama Kristen.

Hubungan Rully dengan keluarga, terutama orang tuanya, tidak pernah ada masalah. Pada hari Minggu, ketika ibunya beribadah ke gereja, dia pun kerap mengantarkan.

"Setiap hari, saya mendoakan Mama agar masuk Islam," ujarnya.

Meskipun beragama Kristen, keluarga Rully sebagai etnis Tionghoa juga merayakan Tahun Baru Imlek. Sebagai bagian dari keluarga Tionghoa, Rully pun ikut bergabung saat keluarganya berkumpul.

Bagi Rully, Tahun Baru Imlek adalah pergantian tahun menurut penanggalan Tionghoa. Tidak lebih. Imlek adalah warisan tradisi dan budaya. Menurut Rully, Islam tidak datang untuk menghapuskan budaya yang sudah ada.

"Yang harus diwaspadai sebagai Muslim adalah kepercayaan terhadap shio dan nasib berdasarkan tanggal lahir. Sebagai seorang Muslim, dilarang percaya dengan ramalan-ramalan seperti itu," tuturnya.

Karena itu, Rully berpandangan ikut berkumpul bersama keluarga yang merayakan Tahun Baru Imlek bukan merupakan suatu masalah karena justru berupakan bagian dari silaturahim.

Yang harus dihindari adalah kebiasaan-kebiasaan terkait Imlek yang bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya memandang baik hari, bulan atau tahun tertentu, karena Allah menciptakan semua waktu adalah baik.

"Harus berhati-hati juga saat berkumpul dengan keluarga dan makan bersama karena mungkin ada makanan yang tidak halal bagi Muslim. Alhamdulillah, keluarga besar saya memisahkan makanan yang bisa saya makan atau tidak," kata dia.

Hal serupa juga dilakukan oleh Andi Suryadi (41), mualaf Tionghoa lain yang juga mengikrarkan keislamannya di Masjid Lautze.

Memeluk agama Islam sejak 2001, Andi tumbuh di keluarga yang memeluk agama Buddha, dua kakak perempuannya juga sudah memeluk Islam karena menikah dengan laki-laki Muslim.

Hanya tinggal satu kakaknya yang masih beragama Buddha dan merayakan Tahun Baru Imlek. Bersama saudara-saudaranya, dia masih sering berkumpul-kumpul saat Tahun Baru Imlek.

"Bagi saya, Tahun Baru Imlek itu hanya perayaan tahun baru untuk berkumpul dengan keluarga. Bersilaturahim seperti halnya saat Idul Fitri," tuturnya. (Dewanto Samodro/ant/yps)

Berita terkait
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.