Ketersediaan Air di Ekosistem Batang Toru Kian Terancam

Ketersediaan air di ekosistem Hutan Batang Toru yang berada di tiga kabupaten di Sumatera Utara kini sedang terancam.
Direktur Walhi Sumut Dana Prima Tarigan (kanan), Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut Roy Lumbangaol (tengah) dan Padian Siregar, selaku Koordinator Advokasi Walhi Sumut. (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong)

Medan - Ketersediaan air di ekosistem Hutan Batang Toru kini sedang terancam. Tak hanya itu, esksplorasi koorporasi yang masif mengancam kelestarian habitat dan kehidupan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dari Sungai Batang Toru.

"Saat ini ancaman sekaligus tantangan terhadap Hutan Batang Toru tersebut adalah, minimnya data dan informasi potensi dan kendala di kawasan tersebut, adanya aktivitas izin usaha pertambangan, yaitu kontrak karya PT Aginresources," kata Direktur Walhi Sumatera Utara, Dana Prima Tarigan, Selasa 27 Agustus 2019.

Secara administratif, ekosistem Batang Toru masuk dalam tiga wilayah pemerintahan, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah.

Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Sumatera Utara, Roy Lumbangaol, menambahkan, ancaman dari hutan tanaman industri 83.143 hektare serta ekspansi perkebunan kelapa sawit sudah mulai mengarah ke Hutan Batang Toru, seluas 113.464 hektare.

Secara perlahan nelayan di hilir akan kehilangan sumber-sumber penghidupan utama dan berdampak pada ekonomi rakyat

"Serta dampak ikutan pembangunan yang dilakukan, seperti pembangunan PLTA Batang Toru oleh PT NSHE (North Sumatera Hydro Energy). Dengan dibukannya akses jalan akan mengancam habitat satwa dan mengarah pada pembukaan hutan secara ilegal. Hal ini juga akan mengganggu ketersediaan sumber air bagi pertanian dan kebutuhan rumah tangga masyarakat," jelas Roy.

Akibat ekspansi masif koorporasi itu, masyarakat di hilir juga mengalami dampak serius, terutama masyarakat yang menggantungkan hidup sebagai nelayan di Sungai Batang Toru.

Selama ini, masyarakat nelayan menangkap ikan di empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Batang Toru, Kecamatan Muara Batang Toru, Kecamatan Angkola Sangkunur dan Kecamatan Muara Batang Gadis.

"Hasil tangkap nelayan mulai menurun. Penyebabnya, adanya industri ekstraktif melakukan aktivitas di kawasan Hutan Batang Toru, seperti pembuangan limbah," jelas Roy.

Penurunan debit air juga terjadi karena kawasan Hutan Batang Toru sudah banyak dialihfungsikan ke perkebunan sawit. Belum lagi, PLTA yang akan membendung sungai dengan menerapkan sistem buka tutup aliran sungai selama 18 jam, dan 6 jam buka.

"Secara perlahan nelayan di hilir akan kehilangan sumber-sumber penghidupan utama dan berdampak pada ekonomi rakyat," katanya.

Seperti diketahui, PLTA Batang Toru dibangun di tiga kecamatan, yakni Marancar, Sipirok dan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan. Lokasinya, tepat berada di kawasan hutan Batang Toru yang bestatus Hutan Lindung dan Alokasi Pemanfaatan Lain (APL).

Pada 8 Agustus 2018, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Walhi Sumatera Utara menggugat Gubernur Sumatera Utara yang memberikan izin lingkungan PT NSHE untuk pembangunan PLTA. Namun, pada 14 Maret 2019 gugatan ditolak. []

Berita terkait
Kajian Lingkungan Ibu Kota Baru Disorot Siti Nurbaya
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan segera melakukan studi kajian lingkungan hidup untuk dua kabupaten di Kaltim.
Humbahas Tangani Sampah Plastik dari Lingkungan Sekolah
Penanganan sampah perlu dikerjakan bersama- sama dengan melibatkan seluruh masyarakat, termasuk dunia sekolah.
Diduga Jasad Jio, Mayat Anak Mengapung di DAS Batangtoru Pahae Jae Tapanuli Utara
Diduga jasad Jio yang hilang sejak 29 Maret 2019, mayat anak mengapung di DAS Batangtoru Pahae Jae Tapanuli Utara.