Kesenian Ebeg Identitas Migran Banyumas di Jakarta

Komunitas kesenian menjadi duta budaya sebuah daerah. Dan kesenian ebeg menjadi identitas perantauan Banyumas di Jakarta.
Komunitas kesenian ebeg Banyumas di Jakarta. (Foto: Tagar/Abdul Wahid)

Banyumas - Kesenian tradisional ebeg berkembang jauh dari asal peradabannya. Kesenian kuda lumping tradisional asli Banyumas, Jawa Tengah ini mampu meneguhkan identitas para migran yang hidup di antara hegemoni budaya hidup masyarakat megapolitan Jakarta. 

Jakarta, pusat pemerintahan, pusat ekonomi dan menjadi segala pusat perhatian masyarakat. Ia menjelma sebagai tempat tujuan bagi jutaan perantau dari penjuru Tanah Air untuk mengadu nasib. Banyak dari pendatang daerah yang sudah puluhan tahun di Jakarta akhirnya memilih menetap.

Meski sudah menjadi warga Jakarta, banyak migran yang tidak mudah melepas identitasnya sebagai orang daerah. Dan diakui atau tidak, kerinduan tentang identitas adalah panggilan bagi siapa pun yang merantau. Di sini lah kebudayaan menjadi jawaban sekaligus menjadi pengikat kebersamaan bagi para perantau.

Sabtu, 16 November lalu, Tagar berjumpa dengan seorang pegiat seni Banyumas. Ia bernama Taslim 50 tahun, perantauan asal Lumbir, Banyumas. Pertemuan yang boleh dibilang bukan kesengajaan mengingat sore itu kami bersua di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan. 

Di pekan tersebut ada tiga kegiatan besar yang berlangsung di JCC. Yakni Jakarta Properti Expo 2019, Bazar dan Festival Halal dan Wedding Expo. Kebetulan Tagar ada janjian dengan seorang kawan yang ikut acara di JCC tersebut. Dan Taslim tengah istirahat usai menyiapkan keperluan stand dan segala perangkat teknis pameran.

Dari pembicaraan awal diketahui Taslim merupakan salah satu pengurus kesenian tradisional ebeg bernama Wahyu Tirta Kencana ( WTK) di Jakarta. 

"Saya sudah lebih dari tiga tahun mulai aktif di komunitas seni tradisional ebeg, melalui kegiatan budaya kami bisa ngumpul lebih menyenangkan," katanya di awal perkenalan.

Lantas ia menyinggung tentang peran seorang pawang hujan di balik pameran di JCC. Seorang pawang hujan memang sangat dibutuhkan jasanya untuk memindahkan hujan ke tempat lain. Sebab biasanya jika hujan maka pameran akan sepi pengunjung. 

"Pawang hujannya itu penimbul dari anggota grup ebeg yang saya urusi," sebutnya.

Penimbul ? ya penimbul adalah sosok sentral di kesenian ebeg Banyumas. Ia punya kemampuan gaib yang bisa mengendalikan perilaku pemain kuda lumping atau penari ebeg takala kesurupan. Bahasa awam yang lebih mudah ditangkap adalah dukun, semacam itu. 

Pembicaraan kami mulai mengarah pada aktivitas para pelaku seni ebeg di komunitas WTK. Grup kesenian ini memiliki anggota lebih dari 200 orang. Mereka berasal dari berbagai profesi, sopir, pedagang hingga pekerja kantoran.

Di Jakarta kami tak menggunakan beling, lampu bohlam atau silet. Ketika penari ebeg sedang wuru ada aturan yang melarang atraksi terlalu berlebihan atau mengandung unsur kengerian.

Ebeg2Kesenian ebeg Banyumas. (commons.wikipedia.org)

Untuk melatih ketrampilan, para anggota ebeg berlatih bersama sepekan sekali. Bagi Taslim dan warga Banyumas lain anggota komunitasnya, semangat nguri-uri atau menghidupkan budaya menjadi hal utama yang mendorong mereka bersedia melestarikan ebeg.

"Ebeg sebagai seni budaya dan hiburan memang banyak disuka masyarakat. Bukan hanya oleh warga Banyumas tetapi juga masyarakat di Jakarta sini," kata dia.

Karenanya tidak herap jika WTK kerap perform pentas, baik mandiri maupun diundang oleh lembaga dan organisasi untuk memeriahkan acara tertentu. "Jika kami pentas, yang datang bisa lebih dari 1500 orang. Terbukti, seni kuda lumping atau ebeg termasuk diminati," terangnya.

Dan ngobrol soal bayaran pentas undangan, Taslim langsung tersenyum. Ternyata yang diterima lumayan besar, berkisar Rp 6 juta hingga Rp 7 juta per pentas. Uang tersebut sebagian dimasukkan untuk kas organisasi, sebagian lagi untuk honor pemain.

Bercerita soal pentas ini, Taslim terlihat bersemangat. Diawali dengan penuturan pentas yang biasa mulai pukul 13.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Sebelum pertunjukan biasanya diisi dengan klonengan atau gendingan. Klonengan ini musik atau lagu berbahasa Jawa Banyumasan yang dimainkan dengan peralatan gamelan.

Lagu yang sering dibawakan WTK di antaranya Gugur Gunung, Eling- eling dan lagu daerah khas Banyumas lainnya. Bukan sekadar klonengan biasa tapi lagu yang dimainkan punya maksud tertentu. Yakni mengundang roh leluhur atau indhang.

Di momen ini para penari ebeg akan mengalami trans atau dalam bahasa Banyumasan disebut wuru atau mendhem. Saat mendhem mereka biasanya memiliki berbagai permintaan, seperti ingin makan bunga, daun, kelapa muda dan makanan tak wajar lain. 

"Di Jakarta kami tak menggunakan beling, lampu bohlam atau silet. Ketika penari ebeg sedang wuru ada aturan yang melarang atraksi terlalu berlebihan atau mengandung unsur kengerian," terangnya.

Di sini, peran seorang penimbul akan sangat vital. Tak hanya mengontrol perilaku pemain yang tengah kesurupan makhluk gaib, ia juga mampu menyembuhkan dan mengembalikan kesadaran penari ebegnya. 

"Jadi peran penimbul sangat penting, sebab mereka yang mengendalikan jalanya pentas. Dan jika sedang pentas, dari komunitas lain biasanya juga sengkuyungan atau saling membantu," ujar dia.

Taslim sendiri selama ini mendukung komunitas ebeg dalam bentuk menyediakan seperangkat alat musik, mulai dari kendang, bonang, saron, gending hingga gong. 

"Sekretariat WTK ada di rumah saya, di Perumahan Yasmin VI Jatikramat Bekasi. Dipimpin oleh Mbah Bajoel, dengan dua orang penimbul yakni Edy Sudaryo, Mbah Koying dan Nasim sebagai humas," katanya.

Filosofi Seni Ebeg

Kesenian kuda lumping sudah turun-temurun ada di masyarakat Banyumas, seperti halnya jaranan di Jawa Timur. Kuda lumping di Banyumas juga memiliki beberapa simbol-simbol maupun perangkat yang sama.

Beberapa perangkat tersebut, selain musik gending, kendang dan gong, ada kuda kepang dari anyaman bambu. "Beberapa perangkat ebeg juga memiliki arti dan makna," sambung Mbah Koying yang datang ikut ngobrol bersama kami.

Selaku penimbul, pria yang bernama asli Hartono ini paham benar dengan filosofi dibalik setiap nama perangkat ebeg. Sebut saja kepang, diambil dari jaran kepang atau kuda lumping. Sarana menari berbentuk kuda ini bisa dimaknai natrapake barang ampang atau menyatukan sesuatu yang renggang. 

Kemudian ada barongan, simbol makhluk raksasa berwajah buruk. Jika ditarik maknanya, barongan diartikan dengan bebarengan atau bebrayan, kebersamaan. Sehingga angka murka bisa diperangi dengan suasana brayan.

Sedangkan kata Ebeg bisa diartikan dengan eling babagan elmu goib atau selalu ingat dengan gaib. Sebab kesenian ebeg selalu menggunakan indhang atau unsur gaib dimana para penari akan mengalami trans. 

Eling yang dimaksud bahwa manusia harus selalu ingat dengan sang pencipta yaitu Allah sehingga manusia tidak sampai lupa diri,” terangnya. 

Karena kental dengan nuansa mistis, kebanyakan orang yang ingin jadi pemain ebeg mendatangi tempat keramat. Di situ ia akan meminta kemampuan gaib kepada penunggu atau demit penjaga makam atau tempat wingit lain. Padahal bukan itu tujuan utamanya.

Eling yang dimaksud bahwa manusia harus selalu ingat dengan sang pencipta yaitu Allah sehingga manusia tidak sampai lupa diri.

Ebeg3Penari perempuan di kesenian ebeg Banyumas. (budayapariwisatanusantara)

Seseorang yang ingin menjadi penari ebeg dia harus memiliki hati yang bersih. Karena itu, seorang pemain akan melakukan tirakat tertentu yang bertujuan membersihkan hatinya. 

“Itulah kenapa penari ebeg saat tubuhnya disabet dengan cambuk ia tidak merasa sakit. Berbeda dengan orang yang hatinya kotor maka bisa terluka saat terkena cambuk,” ucap warga asli Somagede, Banyumas ini, 

Selain sebagai penimbul di Jakarta, Mbak Koying juga memiliki grup ebeg yang bernama Wahyu Turonggo Seto di tempat asalnya. Komunitas itu pernah mendapat penghargaan dari pemerintah Banyumas di era kepemimpinan Bupati Mardjokodari. 

Tak hanya melulu menampilkan atraksi debus ala Banyumas, ebeg juga menyuguhkan kesenian tari. Tarian tersebut menceritakan pasukan berkuda yang akan menghadapi peperangan. Diiringi lagu-lagu dalam ebeg pakem Banyumasan maka menyimbolkan bagaimana perjuangan masyarakat Jawa Tengah era dulu. 

"Dan identitas ini lah yang kami jaga dan menjadi sarana mempererat persaudaraan sebagai sesama warga Banyumas di perantauan," imbuh dia. 

Sementara itu Kabid Kebudayan Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata Kabupaten Banyumas Deskart Sotyo Jatmiko mengungkapkan selama ini menjalin komunikasi baik dengan sejumlah komunitas ebeg di Jakarta. 

“Jika ada kesempatan pentas di TMII, mereka yang kami kabari untuk bisa tampil,” kata dia.

Kegiatan rutin dua kali pentas di TMII selama setahun dimanfaatkan juga sebagai ajang reuni. Sekaligus momen saling berbagi kuliner Banyumas untuk pengobat rindu para perantau. 

"Selain WTK ada pula komunitas lain di Jakarta. Seperti Pasermas atau Persatuan sedulur Banyumas. Kalau komunitas ebeg di Jakarta cukup banyak, jumlahnya sampai 20-an," tutur dia. 

Jatmiko berharap grup kesenian Banyumas di Jakarta bisa tetap lestari. Sebab mereka berperan sebagai duta budaya. Lewat komunitas itu, budaya dan kesenian Banyumas bisa dikenalkan lebih luas dan bisa dinikmati oleh banyak kalangan. []

Baca juga: 

Berita terkait
Ketika Jokowi, Iriana, dan Para Menteri Bermain Kuda Lumping
Presiden Joko Widodo, Ibu Negara Iriana Joko Widodo serta para menteri bermain kuda lumping dalam rangkaian acara "Jam Main Kita" di halaman Istana Merdeka, Jakarta,Jumat.
Ganjar Pranowo Bapak Kuda Lumping Jateng
Ganjar Pranowo dinobatkan sebagai Bapak Kuda Lumping Jateng oleh Paguyuban Hokya Temanggung pada acara Sedekah Turangga Bhumi Phala di Temanggung.
Pemuda Banyumas, Ubah Sampah Plastik Jadi Lukisan
Di tangan Lir Pranowo, 19 tahun, pria asal Gumelar, Banyumas ini, sampah plastik diubah menjadi barang seni.
0
Kementerian Agama Siapkan Pengaturan Hewan Kurban di Tengah Wabah PMK
Menjelang dan pada Iduladha dan tiga hari tasyrik di Iduladha pasti kebutuhan hewan ternak terutama sapi dan kambing itu akan tinggi