Kemungkinan Kabinet Jokowi Diisi Menteri Kubu Prabowo

Peneliti LIPI menyoroti kemungkinan kabinet Jokowi periode kedua diisi oleh menteri dari pihak oposisi, atau kubu Prabowo-Sandiaga.
Ada dua topik pada ratas kali ini, pertama mengenai percepatan penyelesaian masalah pertanahan dan yang kedua persiapan menghadapi Idul Fitri 1440 H/2019 M. (Foto : Instagram/@sekretariat.kabinet)

Jakarta - Peneliti Bidang Perkembangan Politik Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiarti, menyoroti soal konsep pemerintahan kohabitasi, kemungkinan kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode kedua diisi oleh menteri dari pihak oposisi, atau kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. 

"Dalam pemerintahan baru nanti (kohabitasi) bisa saja terjadi, terutama mengingat polarisasi politik saat ini kuat sekali," kata Aisah kepada Tagar, Senin 27 Mei 2019.

"Untuk meredam potensi menguatnya perpecahan, (kohabitasi) ini bisa menjadi jalan tengah dan menghindarkan dari kemungkinan pembelahan yang semakin buruk di level akar rumput," imbuhnya.

Perempuan yang akrab dipanggil Puput itu juga mengatakan, kemungkinan kohabitasi amat mungkin terjadi lantaran mayoritas partai dari kubu pemerintahan dan kubu oposisi, tidak memiliki perbedaan garis ideologi yang mencolok.

Namun begitu, Puput mengingatkan soal kekurangan yang ada dalam konsep pemerintahan kohabitasi. Dia menilai, oposisi bakal kehilangan daya gedornya dalam mengkritisi pemerintah. Sehingga kebijakan justru diambil atas dasar lobi-lobi politik semata.

"Partai yang mengisi koalisi maupun oposisi, tidak mengalami perbedaan garis ideologi yg tajam, dalam artian tidak ada yang ekstrim kiri atau kanan. Sehingga mudah untuk tetiba bergabung dalam satu rumah," ujar dia.

Tapi tentunya hal ini tidak sehat. Bagaimana oposisi bisa menjadi kritis terhadap pemerintahan, jika ia menjadi bagian di dalamnya? Meski dalam kohabitasi, oposisi tidak berarti bergabung dalam koalisi. Situasi ini pada akhirnya akan mengorbankan kepentingan rakyat, karena penentuan kebijakan politik akan didominasi, lagi-lagi oleh 'deal-deal politik' semata.

Aisah juga mengatakan, saat ini dirinya masih sukar menakar partai-partai mana saja dari kubu oposisi yang berpotensi menggabungkan diri ke pemerintahan, meski tanpa berkoalisi. Namun, dirinya menilai bakal ada dua partai yang paling mungkin untuk melakukan itu.

"(Untuk partai-partai masih) susah dijawab, Hal itu tergantung lobi para elite," kata Aisah.

"Dugaan kuat adalah Demokrat dan PAN yang mungkin akan gabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi. Tapi Demokrat terganjal untuk murni masuk 'koalisi' karena sejarahnya dengan PDIP. Sementara PAN sampai saat ini seperti sulit sepenuhnya lepas dari kubu Prabowo-Sandi, karena mungkin terjebak dengan posisi Amien Rais sebagai salah satu tokoh kunci BPN," pungkas Aisah.

Pemilihan Presiden 2019 mempertandingkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal tersebut melebarkan polarisasi tidak hanya di masyarakat, tapi juga di kubu partai-partai politik peserta pemilu, sebagai pengusung kandidat capres-cawapres.

Pola pemilihan serentak yang untuk pertama kalinya dilakukan pada Pilpres dan Pileg 2019 kali ini juga melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru pada peta perpolitikan nasional, salah satunya adalah konsep kabinet pemerintahan kohabitasi.

Kohabitasi sendiri, secara harafiah bisa diartikan sebagai "hidup bersama tanpa ikatan nikah". Dalam pengertian politik pemerintahan, istilah ini sudah sejak lama dikenal di Perancis. Setidaknya sudah tiga kali berlangsung di pemerintahan negara ber-Ibu-Kota Paris tersebut.

Saat Presiden Perancis terpilih melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat, sementara kursi parlemen justru datang dari kekuatan partai atau koalisi partai yang berbeda.

Baca Juga:

Berita terkait