Medan - Sertifikat tanah secara komunal maupun kolektif merupakan salah satu cara mengantisipasi kejadian seperti di Desa Sigapiton, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, tidak terulang.
Sertifikat secara kolektif akan menguatkan kepemilikan masyarakat. Sebaliknya, sertifikat secara individual akan melemahkan masyarakat sendiri.
"Kalau mau bikin sertifikat di Tanah Batak harus kolektif, sertifikat komunal itu menguatkan kepemilikan," kata antropolog Prof Dr Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS) saat diundang menjadi pembicara dalam sebuah diskusi bertema 'Arti dan Fungsi Tanah Bagi Masyakarat Batak' di Rumah Budaya Tonggo, Jalan Suprapto, No 11 Medan, Jumat 4 Oktober 2019.
Menurut BAS, kejadian di Sigapiton mengindikasikan bahwa pemerintah dalam hal ini Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) tidak paham mengenai hukum tata ruang di Tanah Batak. Batak memiliki hukum adat yang mengatur tentang kepemilikan tanah.
Karena itu, agar kejadian seperti itu tidak terulang di Tanah Batak, sebaiknya masyarakat tidak men-sertifikatkan tanahnya secara sendiri-sendiri. Karena dengan begitu, akan ada nilai komersialisasi yang diukur dengan nilai jual objek pajak. Ini membuat posisi tawar kepemilikan tanah semakin lemah dengan adanya pola ganti rugi.
Orang Batak itu begitu cepat merespons budaya dari luar
"Berbeda halnya jika satu kampung itu, satu marga, sepakat membuat sertifikat tanah secara kolektif. Ketika ada pihak lain yang ingin mengklaim kepemilikan, mereka sudah kuat secara hukum dan tidak ada perpecahan di dalamnya," kata BAS.
Konsep kepemilikan seperti ini sebenarnya sudah ada dalam budaya Batak, dibuktikan dengan adanya struktur kerajaan Batak (bius) dan Raja Bius sebagai pemimpin masyakarat. Di sana jelas sistem kepemilikan bahwa tanah satu bius jelas adalah milik semua masyarakat di bius itu. Tidak ada kepemilikan sendiri-sendiri.
Namun, menjadi persoalan itu tidak bisa lagi diterapkan pada masa kini karena era globalisasi yang membuat akar budaya Batak kian terkikis. Sistem itu sangat sulit untuk dikembalikan pada masa sekarang ini.
Kata BAS, cepatnya orang Batak menerima perubahan membuat akar budayanya cepat digeser. "Orang Batak itu begitu cepat merespons budaya dari luar," katanya.
Malah, seperti kata Shohibul Ansyor Siregar, orang Batak di perantauan telah ikut membuat akar budaya Batak tercerabut. Buktinya, kalangan dari pemerintah yang mengklaim Sigapiton, ada juga orang Batak di dalamnya.
"Ironisnya, ketika mereka datang dari perantauan, mereka ingin disambut dengan bangga, bahkan ketika mereka mati kelak, mereka ingin dikubur di tanah leluhurnya," katanya. []