Kejaksaan Kawal Realisasi Anggaran Pasca Gempa Lombok Utara

Selain mengawal realisasi anggaran pasca-gempa, Kejaksaan Negeri Mataram menjerat terduga korupsi dana gempa Lombok dengan tiga pasal.
Kajari Mataram I Ketut Sumedana. (Foto: Tagar/ Harianto Nukman)

Mataram, (Tagar 19/9/2018) - Kejaksaan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) mengawal realisasi anggaran rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-gempa untuk wilayah Kabupaten Lombok Utara.

Kajari Mataram I Ketut Sumedana mengatakan, pengawalan sekaligus pengawasan ini dilakukan setelah adanya permintaan langsung dari Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.

"Karena ada permintaan dari Pemkab Lombok Utara, kami akan kawal dan awasi penggunaannya agar berjalan dengan baik dan tepat sasaran. Langkah awalnya, kami akan melaksanakan sosialisasi," kata Sumedana di Mataram, Rabu (19/8).

Sosialisasi yang akan dilaksanakan, jelas dia, bukan hanya di lingkup organisasi perangkat daerah (OPD). Sasaran dari kegiatan pendampingan ini juga akan dilaksanakan sampai di tingkat desa.

"Mulai dari dana pusat ke daerah, dana APBD perubahan, termasuk anggaran desa yang juga mau dialihkan ke dana pemulihan pasca-gempa, semuanya akan masuk dalam kegiatan sosialisasi," ujarnya.

Begitu pula dengan dana bantuan perorangan yang dicairkan pemerintah bagi korban gempa yang rumahnya mengalami kerusakan.

"Uang ini (rehabilitasi rumah pasca-gempa) kan langsung masuk ke rekening perorangan. Itu juga yang akan kami sosialisasikan, agar dananya benar-benar digunakan untuk rehabilitasi rumah, bukan yang lain-lain," ucap Sumedana seperti dikutip Antaranews.

Korupsi Dana Gempa Lombok

Sementara itu terkait tersangka kasus OTT anggota dewan dari Partai Golkar Mataram, Kejari Mataram menyatakan memberlakukan tiga pasal sementara, yakni 12e, 12b dan pasal 11 untuk proses pegembangan penyelidikan terhadap kemungkinan munculnya keterlibatan oknum lain.

Oknum HM disangkakan pasal tentang tindak pemerasan. HM diduga kuat telah memeras Kadisdik Kota Mataram, HS dan oknum kontraktor CT.

Diketahui oknum HM merasa berjasa sebagai Ketua Komisi IV DPRD Kota Mataram dalam memuluskan pengesahan alokasi anggaran bantuan proyek sebesar 4,2 miliar untuk rehabilitasi gedung SD dan SMP terdampak bencana gempa bumi di Kota Mataram yang bersumber dari APBD Perubahan 2018.

Sumedana menampik tentang adanya informasi bahwa dalam kasus pemerasan ini posisi tersangka sebagai orang yang dijebak.

"Ingat, ini kasus pemerasan. Tidak ada jebakan kalau saya lihat, tidak ada. Karena apa, kalau jebakan itu tidak mungkin sampai mau ditangkap dua kali. Penyerahan (uang) ndak mungkin sampai ada dua kali. Catat itu," terang Sumedana mengingatkan.

Menanggapi tiga pasal yang diberlakukan, pakar hukum pidana dari Universitas Mataram, Amiruddin, menilai pemberlakuan tiga pasal tersebut merupakan tindakan yang sesuai.

"Saya kira apa yang dilakukan oleh jaksa itu sudah tepat. Sebagai tindak pidana suap itu ada yang suap aktif dan ada yang suap pasif. Yang suap pasif adalah seorang pegawai negeri yang menerima pemberian tanpa meminta. Kalau yang suap aktif ini, meminta pegawainya, pejabatnya itu yang meminta," jelasnya.

Tinggal sekarang dilihat, lanjut Amiruddin, apakah yang menerima suap itu memaksa atau meminta kepada si pemberi suap sejumlah uang tertentu.

"Kalau itu ada, maka itu sudah tepat dikenakan dengan pasal suap aktif, yaitu memaksa," terang guru besar Fakultas Hukum, Universitas Mataram ini.

Amiruddin juga menilai pemberlakuan Pasal 2 ayat 2 dalam hal tindak pidana korupsi dana bencana.

"Belum cukup bukti yang kuat bagi jaksa kalau menggunakan pasal 2 ayat 2, karena baru berkaitan dengan proses pembahasan di DPR. Hanya saja nanti akan mempengaruhi keputusan," ujarnya.

Di sisi lain, Amiruddin mengapresiasi upaya tim jaksa melakukan OTT dan mendukung kejaksaan mengusut tuntas persoalan tindak pidana korupsi itu sebagai efek jera bagi oknum lainnya. []

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.