Kedai Saleh, Tempat Ngopi dan Membaca di Bantaeng

Ida, membuka kedai berkonsep outdoor dan taman baca di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Tempat yang tepat untuk melepas penat usai bekerja.
Pemilik Kedai Saleh, Ida, menemani pengunjung yang membaca di lapak bukunya, Senin, 25 November 2019. (Foto : Fitriani Aulia Rizka)

Bantaeng - Sebuah kedai sederhana tampak di taman yang berada tepat di depan kantor DPRD, jalan Andi Mannappiang, Kecamatan Bantaeng Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Kedai yang sepertinya baru saja dibuka. Terlihat gerobak kayu yang masih sangat baru. 

Di balik kaca dan cat kayu yang masih mengkilap, beberapa cup Pop Mie aneka rasa terpampang. Ada juga wajan, piring plastik berwarna-warni tersusun rapi. Meja kecil dengan selembar taplak bermotif kotak-kotak biru.

Taman itu memang sangat teduh. Bias cahaya matahari tak sampai menembus ke tanah. Ada banyak pepohonan besar rindang yang menghalanginya. Berbagai jenis pohon tumbuh hingga menjadikan udara di bawah pohon terasa sejuk. 

Pepohonan di sana jenisnya beragam; glodokan, beringin dan pohon palem. Beberapa kembang kertas beraneka warna juga tampak di sana.

Tempat yang pas untuk bersantai di bawah rindang pohon di sana. Tentu menjadi pilihan terbaik saat sedang letih setelah bekerja. Menikmati udara sejuk serta dedaunan hijau yang memanjakan mata. Taman tersebut juga menjadi pemisah antara deretan gedung kantor dengan jalan poros Makassar dan Bulukumba.

Di sekitar gerobak, seorang perempuan yang memakai rok hitam senada dengan kerudungnya, berlalu lalang. Sesekali ia berdiri dekat gerobak, sesaat kemudian ia mundur lima langkah ke arah trotoar taman, seperti sedang menyusun sesuatu.

Dia, si perempuan muda, berusia kurang lebih 24 tahun yang sedang berdiri. Dia tampak sibuk meletakkan beberapa buku-buku di atas tikar berkarakter kartun yang terhampar di atas trotoar. Laksana seorang pelapak buku yang biasa nangkring di emperan gedung-gedung sebuah kampus.

Setelah berkenalan, rupanya ia adalah mantan wartawan Tribun Bantaeng. Namanya Nur Wahidah Saleh, dipanggil Ida. Perempuan berlesung pipit ini menyelesaikan kontraknya di salah satu media besar itu per Oktober lalu. Ia berasal dari Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Setelah menyelesaikan kontrak kerja, ia memilih untuk menjadi seorang pelaku usaha. Cita-cita yang sejak lama terpendam perlahan mulai terwujud. Setelah nganggur, Ida merogoh tabungannya sebanyak Rp 800.000 untuk memesan sebuah gerobak sederhana dari seorang tukang kayu.

"Gerobaknya sederhana saja, ukurannya tidak terlalu besar yang penting cukup untuk buat kopi," kata Ida kepada Tagar, Senin, 25 November 2019.

Senin itu adalah hari pertama ia memulai bisnisnya. Ia memberi nama kedainya Kedai Saleh. Diambil dari nama almarhum ayahnya, Pak Saleh.

Saya tidak berasal dari gerakan apapun, saya bawa buku biar tidak kesepian di sini.

Di hari-hari pertama ia memperkenalkan usahanya, Ida menawarkan beberapa menu untuk nongkrong di tempatnya. Ada kopi hitam seharga 5000 rupiah per gelas, kopi susu seharga 7.000 rupiah per gelas, pisang dan ubi goreng 1.000 rupiah per biji, songkolo lengkap dengan sarundeng dan cobek tumis 5.000 per porsi.

pengunjungSejumlah pengunjung Kedai Saleh terliaht sangat menikmati suasana yang teduh, Senin, 25 November 2019. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Songkolo adalah makanan tradisional yang terbuat dari beras ketan yang dimasak seperti memasak nasi. Rasanya enak, empuk dan kenyal saat dikunyah. Setelah masak, beras ketan tersebut dicetak berbentuk lingkaran pipih atau sesuai selera kemudian disusun dalam sebuah wadah yang sebelumnya dilapisi daun pisang. 

Alhasil setelah penyajian seporsi songkolo, seketika aroma semerbak daun pisang akan menusuk-nusuk hidung. Wangi sekali.

Songkolo biasanya dinikmati dengan cobek atau lombok tumis yang dibuat dari tumisan cabe rawit, tomat sayur, bawang merah dan bawang putih. Lebih nikmat lagi dengan sarundeng, adonan parutan kelapa goreng yang diberi bumbu-bumbu dan kunyit. Tampilannya menarik dan rasanya sangat nikmat dengan aroma lengkuas yang mendominasi.

Kata Ida, tidak semua menu yang ada di kedainya dibuat sendiri. Beberapa menu adalah titipan untuk dijual dari rekannya, seperti songkolo tersebut. "Saya bisa bikin pisang goreng dan ubi, tapi kalau songkolo itu dititip sama teman. Memang songkolo buatannya enak," ujar Ida

Di Kedai Saleh yang dikelola Ida itu belum nampak kursi maupun meja. Beberapa orang yang ngopi di sana memanfaatkan fasilitas kursi taman yang tersedia di sana.

Kata Ida, ia sudah memesan kursi dan meja untuk pelanggan di kedaina. Namun pesanan itu belum juga selesai. Akhirnya, untuk sementara ia menerapkan konsep lesehan. Bisa duduk di tikar kecil seukuran 2x2 meter yang ia gelar, atau di spot mana saja di sekitar taman itu.

Namun, meskipun duduk melantai di trotoar pun tak seburuk kelihatannya. Puluhan buku berbagai genre berbaris rapi di sana. Bila suntuk atau sedang bosan, pengunjung bisa melirik ke arah buku-buku tersebut, memilih bacaan yang mungkin bisa memperbaiki moodnya.

"Jangan salah, menurut saya pribadi membaca buku yang menyenangkan di bawah pohon rindang akan memberi energi positif bagi tubuh dan otak," terang Ida.

Siang semakin menanjak, panas terik memekik. Tak terasa sudah lebih dua jam duduk dan bercengkerama dengan wirausahawan muda ini. Kopi susu yang disajikan masih tertinggal setengah gelas. Suhunya sudah tidak terlalu panas. Tapi kopi Arabica itu tetap nikmat diseruput sedikit demi sedikit.

songkoloSongkolo, kuliner tradisional lengkap dengan sarundeng dan cobek tomat. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Open Donasi Buku untuk Anak Pelosok Desa

Di hamparan tikar yang terdapat buku-buku itu kini menjadi perhatian. Beberapa buku tentang jurnalis juga terselip di antara bebukuan. Ohya, bukankah Ida pernah juga bergelayut di dunia pemberitaan. Dua judul buku yang menonjol di sudut kanan. Buku Panduan Jurnalis Berperspektif Perempuan dan Anak. Dan buku Jejak Jurnalis Perempuan.

Mengapa ia berinisiatif membawa serta buku-buku koleksiannya ke tempat ia membuka lapak? Apakah ia terlibat dalam suatu gerakan literasi atau semacamnya? "Saya tidak berasal dari gerakan apapun, saya bawa buku biar tidak kesepian di sini," jawab Ida.

Di sisi lain, Ida menyebutkan bahwa semasa ia menjadi jurnalis di kabupaten berjuluk Butta Toa ini, hampir setiap tempat nongkrong yang ia datangi hanya menyediakan kopi dan free WiFi. Memang itu bukan sebuah kesalahan. Toh banyak bacaan menarik di dunia cyber.

Akan tetapi menurut Ida, bukan berarti tidak banyak yang masih suka membuka atau ingin membaca buku-buku dan bukan e-paper. Di antara banyaknya tempat ngopi, ia memilih untuk menghadirkan hal yang kemungkinan masih dicari itu. Karena ia percaya masih ada orang-orang yang haus membaca dengan buku-buku yang secara fisik bisa digenggam.

Di Kedai Saleh, tempat ngopi yang sekaligus bisa untuk membaca itu, Ida juga membuka open donasi buku. Mulai cerita dongeng sampai buku-buku politik, filosofis dan pengetahuan umum lainnya.

"Tiap akhir pekan saya suka jalan-jalan ke area pelosok, membagi-bagikan buku dongeng buat anak-anak di desa. Mereka sangat suka tiap kali dibagikan buku," tutur Ida.

Benar-benar sebuah tempat yang nyaman dan tentunya membawa manfaat bagi pengunjungnya. Ida membuka setiap hari Senin sampai Sabtu. Mulai pukul 8 pagi sampai jam 5 sore. []

Baca Juga:

Berita terkait
Pemuda Leo Bantaeng Rela Puluhan Juta untuk Doraemon
Vando, pemuda berzodiak Leo di Bantaeng rela habis puluhan juta untuk pernak-pernik Doraemon. Rumahnya menjadi spot yang menarik untuk swafoto.
Bakso Mercon di Bantaeng Pedasnya Meledak di Lidah
Bakso mercon Mas Fendi di Bantaeng Sulawesi Selatan sedang viral di media sosial. Dan ternyata benar. Pedasnya meledak di lidah.
Pilu Hati Penjual Nasi Santan Bantaeng
Nasib pedagang nasi santan di Bantaeng, Sulawesi Selatan, tak seperti sepuluh tahun silam. Dagangannya tidak laku dan kerap basi tanpa pembeli.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.